MENGURAI HIERARKI & IKLIM BERKARYA GENERASI MILENIAL DI KOTA MALANG*
- 12:56:00 PM
- By Lensa Teater
- 1 Comments
Lensa Teater - Sebelum memulai pada suatu pembicaraan yang
mencerminkan judul tulisan, perlu saya jabarkan terlebih dahulu, bahwa tulisan
yang hendak saya hadirkan mungkin analisisnya masih parsial, dangkal cum mbulet, karena didasarkan oleh
pengalaman pribadi yang hanya beberapa tahun berorganisasi dan bergiat pada
bidang kreatif. Perlu diketahui juga, dalam jangka beberapa tahun yang belum
seberapa itu, secara pribadi penulis juga mengalami tahap transisi perkembangan
pikiran dan jati diri fase sebagai anak muda, sehingga kiranya apa yang
terejawantahkan melalui tulisan ini masihlah berupa reremahan mozaik, bukan
suatu hasil akhir kesimpulan yang menentukan nasib situasi seseorang atau
kelompok seniman.
Mulanya, ada sebuah kesan mendalam yang
terbawa hingga saat ini, terutama ketika saya cukup intens bersinggungan dengan
kegiatan berkarya baik dalam medium kepenulisan maupun seni pertunjukan di kota
Malang, kesan itu adalah berupa perasaan insecure
saat menghajati karya sendiri. Saya tidak tahu, apakah perasaan insecure (dalam term yang lebih sederhana disebut ketidakamanan diri disebabkan
oleh perasaan inferior) itu adalah sebuah gejala yang hanya saya rasakan
seorang diri, ataukah juga bagian dari problem generasi yang memicu fenomena bunuh
diri karakter dalam tajuk representasi zaman.
Belakangan ketika saya sudah berjarak dari
kota Malang dan segala pesta dan euforia di dalamnya, saya kembali merefleksi
melalui ingatan atas forum diskusi dan ruang pertunjukan yang pernah saya
hadiri, interaksi dan persinggungan yang terukir baik secara kontak personal,
opini terbuka di kolom komentar Facebook
hingga ketergabungan saya sebagai silent
reader di beberapa grup Whatsapp
yang berlabel aktivitas kesenian dan kreativitas di kota Malang.
Rupa-rupanya setangkapan kesan tersebut dapat
ditelusuri dari beberapa prediktor sederhana, seperti pola relasi dan
penelusurdan dari mana datangnya krisis-krisis itu datang. Saya mencoba mengamati,
pola relasi yang tersimulasi oleh event-event kolaborasi lintas generasi di
berbagai kegiatan berlatar seni, sastra dan budaya. Adapun relasi yang terlihat
itu barangkali tidak ada hubungannya dengan seluk beluk dapur kreatif, tapi
menjadi suatu faktor yang begitu signifikan untuk mengonstruksi mental
produktivitas generasi saya, yakni generasi milenial yang berkarya di kota
Malang.
Mendapatkan Pengakuan dari
Generasi Sebelumnya
Saya secara pribadi beberapa kali mendengar
bagaimana pekerja seni pertunjukan dulunya, hidup dalam suatu pola yang begitu
hierarkis, identik dengan senioritas iklim orde baru yang represif, sehingga
situasi tersebut mengharuskan lahirnya militansi dan bersedia bersusah payah
menuju titik eksistensi mahakarya, yang kerap kali dipertaruhkan juga dengan
nyawa. Militansi itu membentuk suatu standar pengakuan sebagai simbol yang
berkaitan dengan cerminan harga diri. Entah benar atau hanya mitos belaka,
bahwa format relasi dan pewarisan gagasan akhirnya harus dikonfirmasi oleh
suatu standar yang dianut pada generasi pendahulu, dan materi pewarisan mau
tidak mau terdistribusi melalui lanskap hierarki yang mungkin kental dengan
nuansa feodal.
Di lain waktu, pernah juga saya mendengar
dari perspektif yang lebih heroik, pada bidang musik misalnya, bahwa justru di kota
Malang adalah rahim para singa pemberontak yang
berenang ke permukaan untuk menunjukkan suara gahar sebagai sikap
merespon keterbatasan dan ketertindasan oleh suatu periode kekuasaan. Tak
heran, produk-produk karya yang dihasilkan begitu mengesankan dan lagi-lagi menjadi
suatu standar yang musti diraih oleh generasi-generasi sesudahnya. Hingga
mekanisme mendapatkan pengakuan itu menetapkan tolak ukur pembanding yang
begitu tinggi dan hanya menyisakan krisis identitas tak berkesudahan.
Anggaplah memang generasi pembaru belum
memenuhi ekspektasi generasi sebelumnya, maka betapa kedaulatan berkarya itu
masih jauh dari wacana ekosistem suportif yang hendak diwujudkan di kemudian
hari. Sungguh saya menyadari, betapa blurnya
wacana pola relasi antar generasi yang kemudian diwariskan di jaman kini,
terutama tentang bagaimana mekanisme pengakuan sebuah karya ditentukan oleh
standar tunggal dan belum bisa beranjak dari penilaian generasi pendahulu. Hal
ini tentu perlu diungkap lebih jauh sebagai proses konfirmasi melalui teorema analisis
yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, sehingga dapat menjelaskan fenoma krisis
identitas pada penggagas karya pada generasi saat ini.
Menelusuri Bentuk Krisis
Identitas Masa Kini
Saya tak hendak menghadirkan sebuah skup
wacana baru di dalam tulisan ini, tetapi asumsi saya pada paragraf sebelumnya
mengantarkan pada satu hal yang ingin saya bicarakan: yaitu bentuk-bentuk
krisis yang muncul dan kerap diperbandingkan. Saya kembali terpental saat
menghadiri perhelatan forum-forum yang membingkai ruang persinggungan antar
jenis kelompok dan generasi yang bervariasi.
Pada diskusi pentas teater misalnya, beberapa
motif interaksi yang muncul seringkali berbentuk evaluasi, komentar, masukan
dan bahkan mungkin cercaan oleh generasi yang lebih senior atas karya yang baru
saja disajikan. Di luar penilaian objektif terhadap sebuah karya yang
disajikan, proses evaluasi dari sosok
yang sudah diakui oleh suatu generasi tersebut, membawa kultur turun temurun
yang kemudian diadopsi sebagai cara penghakiman massal. Sering kali respon
terhadap suatu karya hanya mengekspresikan kekecewaan dan ungkapan tidak puas
dari sebuah standar ekspektasi, tanpa memberikan keseimbangan wacana bagi para
pembelajar. Mungkin apa-apa yang saya contohkan sangat kontekstual, tidak
terjadi di semua forum yang ada, tapi persoalan krisis yang disebabkan oleh
pola relasional ini dapat dikategorikan sebagai problem kultural yang bersifat
turun temurun, kemudian sadar tidak sadar membentuk perilaku destruktif pada
format relasi yang berulang: penciptaan ruang diskursus yang jauh dari kesan
egaliter dan mendukung anomali yang tidak evokatif.
Entah dilakukan secara sadar atau tidak
sadar, interaksi dan proses saling silang informasi dalam balutan cercaan itu
mungkin sudah tidak sesuai dengan hukum-hukum dimensi generasi milenial.
Alih-alih mengibarkan bendera militansi, respon generasi milenial mungkin
justru menampakkan mekanisme defensif dengan menghindari resistensi. Kini tak
jarang kita jumpai betapa generasi milenial punya problem serius mengenai
komitmen terhadap suatu keterlibatan. Oleh sebab demikian, wacana mengenai
krisis yang hadir dan muncul dalam suatu generasi itu perlu dilihat dengan
seksama dan dipahami kelahirannya agar dapat memproduksi wahana komunikasi dan
respon yang relevan, agar semakin tidak tercipta jurang yang terlalu menganga
dalam pola relasi dan interaksi antar generasi.
Penutup
Barangkali hal ihwal itulah yang menjadi
komposisi (dari sekian banyak lainnya yang ada) iklim berkarya saat ini, yakni
berada dalam ruang dan waktu yang beku oleh ketidakberdayaan mengurai
konflik-konflik batin di sekitar kita. Adapun urgensi yang perlu dibangun seyogyanya
dapat menumbuhkan arena yang lebih supportif untuk memupuk gairah berkarya pada
suasana kesetaraan. Ini adalah gejala yang kompleks terjadi mungkin di semua
lini kehidupan, namun perlu kita sadari bahwa medium persoalan membangun ketahanan
mental ini berada di antara dua irisan situasi: antara tradisi dan kegagapan
terhadap akses yang serba cepat dan tidak terbatas. Fokus yang perlu
dielaborasi adalah bagaimana menciptakan sebuah keberanian dan kesadaran untuk
bersedia mengurai krisis yang terjadi pada diri sendiri, dan di saat yang
bersamaan tetap harus memupuk rasa hormat dan attitude yang baik pada generasi-generasi pendahulu.
Saya menyadari betapa abstraknya apa yang
saya bicarakan barusan, mungkin jauh dari simulasi kerja praktis di atas
panggung-panggung akrobat dan tidak ada sangkut pautnya di balik proses-proses
latihan yang melelahkan. Keabstrakan ini adalah bagian dari suatu pendekatan untuk
menghadirkan sudut pandang bahwa kegiatan berkarya bukan hanya sekedar
memproduksi suatu bentuk hiburan, tapi menjadi bagian yang turut andil
menentukan referensi zaman. Semoga menemani Anda yang sedang bersantai di sore
hari bersama kopi atau teh hangat.
*Mutia Husna
Avezahra
1 comments
Ahoii, ngerikkk
ReplyDeleteSpesifik sekali