AKTING: USAHA MEMBUATMU PERCAYA


Lensa Teater - Menjadi seorang aktor sama seperti menjadi manusia “normal” di atas panggung. Apa susahnya menjadi manusia normal? Sudahkah kita normal dalam berlaku keseharian? Kalau sudah, bagaimana mengaplikasikannya di atas panggung? Ini menjadi pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh masing-masing individu. Kita bisa marah ketika orang lain menyakiti. Kita bisa bahagia ketika diberi hadiah. Kita bisa sedih ketika ada seseorang yang meninggal. Itu semua bisa dengan mudah kita lakukan dan rasakan di dunia nyata. Namun, bisakah kita membawanya ke atas panggung? Inilah yang menjadi permasalahan yang penyelesaiannya nampak begitu rumit.

Akting bukanlah berpura-pura. Akting adalah membuat orang lain percaya. Bisakah kita membuat orang lain percaya dengan semua kepura-puraan kita? Saya rasa tidak mungkin. Kejujuran dituntut penuh dalam berakting di atas panggung.

Kenneth L. Stilson pernah mengatakan sebuah kerja primer seorang aktor menurut Charles Mcgaw yaitu acting is believing.

“an actor must believe to make his audience believe.”

Bagaimana kita bisa membuat percaya seseorang ketika kita tidak percaya dengan apa yang kita lakukan? Kita berteriak keras, tertawa terbahak-bahak, menangis sekencang-kencangnya. Akan tetapi, yang ditangkap oleh penonton hanyalah kepura-puraan manusia yang sekadar mencari perhatian. Stigma bahwa akting hanyalah kebohongan yang dipertontonkan telah berkembang luas dan umum sehingga ketika kita berbohong pun orang lain bisa menyebut kita berakting.

Akting berasal dari kata act yang berarti laku atau tindakan dan tidak ada sangkut pautnya dengan kepura-puraan. Inilah yang menjadi masalah bahwa bukan hanya penonton, tapi pekerja teater itu sendiri yang terus mereproduksi makna akting sebagai kebohongan.

Lalu bagaimana cara kita untuk bertindak jujur di atas panggung? Seperti apa bentuk kejujuran tersebut? Bisakah kita membuat penonton percaya kepada tokoh fiksi yang memainkan pedang dari kayu dan diterangi oleh cahaya lampu? Yang bisa membuatnya benar-benar nyata dan hidup adalah aktor! Saya yakin tidak sesederhana air mata yang jatuh ketika berakting menangis atau suara yang keras ketika marah. Lebih dari itu, akting memiliki kompleksitas yang sangat rumit.

Mengacu dari ucapan Mcgaw, kita dituntut untuk menggali pengetahuan yang mendalam tentang akting. Mcgaw sangat mengagumi Stanislavski dan menjadikannya sebagai acuan. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena sampai sekarang diskusi mengenai sistem latihan Stanislavski masih relevan untuk dibahas. Sampai sekarang pun metode bapak teater dunia tersebut terus dikembangkan, tidak hanya di panggung, namun juga di jagat perfilman.

Menurut Stanislavski, ada tiga instrumen yang harus dipahami oleh seorang manusia yang ingin belajar menjadi aktor, yaitu, aku-diri, aku-aktor, aku-karakter. Ketiganya saling berkaitan dan merupakan struktur dasar penggalian alamiah dalam akting. Tanpa harus menyangkut banyak tentang kerja Stanislavski, saya akan mengaitkan tiga instrumen tersebut dengan apa yang saya alami ketika menjadi aktor.

Sebagai aku-diri, aktor harus memahami dirinya secara penuh. Hal-hal itu seperti bentuk tubuh yang dimiliki, gemuk, kurus, atau sedang, selentur apa tubuh kita, seperti apa suara kita, sekeras apa kita mengucapkan kalimat, bisakah kita meniru suara orang lain, atau bahkan sampai ke pertanyaan “Makanan apa yang menjadi favorit? Warna baju apa yang paling kita sukai? Pasangan seperti apa yang ideal?” dan masih banyak lagi pertanyaan tentang “diri” pribadi individu. Lacan pernah mengatakan bahwa bagaimana bisa kita memahami dunia yang lebih kompleks tanpa kita memahami diri? Hal inilah yang juga menjadi perbincangan para psikoanalisis dari Freud sampai sekarang, yaitu pertanyaan tentang ego (aku).

Memahami ego tidak saja dengan menginstrospeksi diri kita, namun juga melalui orang lain. Seperti apa orang lain berlaku pada kita, sedikit banyak memberi gambaran tentang siapa “aku” kita. Memahami diri kita juga berarti memahami segala kekurangan dan kelebihan, apa yang kita punya dan tidak punya, apa yang sama dan tidak sama dengan orang lain. Lalu setelah kita mengumpulkan hal-hal tersebut, cobalah menganalisis mengapa “aku” seperti ini, apa yang melatarbelakangi setiap tindakan dan perilaku kita, dan apa yang mendasari setiap selera kita. Walau setiap pencarian terhadap ego tak akan pernah memuaskan, tapi hal itu bisa menjadi pengantar untuk memahami sesuatu yang lebih luas.

Memahami diri bukanlah pekerjaan yang sia-sia, lebih-lebih untuk menjadi seorang aktor. Tanyalah pada diri Anda, “Mengapa saya harus menjadi aktor? Apa yang dituju dalam teater? Apa yang membuat saya bisa bertahan di teater?” Jawaban Anda akan menjadi motivasi dalam belajar akting.

Setelah penuh pergulatan dengan aku-diri, kita akan naik pada tingkatan yang lain yaitu aku-aktor. Setiap aktor harus menyadari bahwa dirinya seorang aktor.Hal tersebut tidak sesederhana mengatakan bahwa “aku aktor karena aku berakting di atas panggung”. Kesadaran ini lebih ke arah tanggung jawab sebagai seorang aktor. Beratus-ratus kali pun pentas, kesadaran ini tidak boleh lepas, terlebih kendor. Sudah cukupkah Anda melatih kemampuan vokal? Sudah cukupkah Anda melatih organ-organ tubuh? Sudah cukupkah Anda menonton sebuah pertunjukan? Sebagai seorang aktor, kita harus tegas menjawab “tidak akan pernah cukup”. Ketika kita mencukupkan semuanya, itulah titik di mana kita menaruh aku-aktor di perapian, dan membakarnya hingga tersisa abu berterbangan.

Bagaimana bisa cukup jika tuntutan menjadi seorang aktor sangatlah banyak, dan tiada habisnya? Bukan tanpa sebab, Meryl Streep bisa meraih nominasi oscar terbanyak jika di setiap waktunya dia melatih diri secara disiplin dan keras. Dia harus les bahasa, menguasai lebih dari dua puluh aksen dalam berbahasa Inggris. Dia harus belajar menyanyi dan menari, mengubah bentuk tubuhnya, merias dirinya untuk menjadi orang lain. Bagi seseorang yang berdedikasi dalam akting, kesadaran aku-aktor tidak boleh dibunuh hanya karena sudah menuntaskan beberapa pertunjukan, tapi terus belajar, dan belajar karena aku-aktor adalah proses dalam meraih sesuatu yang paling esensial dari manusia, terlebih dalam akting.

Beberapa tokoh teater membuat metode aktor 24 jam, yang berarti kita harus berlatih terus menerus dalam 24 jam. Apakah artinya kita harus latihan olah tubuh, penjiwaan, vokal seharian penuh? Tidak! Bukan itu maksudnya, tidak sedangkal itu. Aktor 24 jam adalah sebuah kesadaran diri sebagai aktor dalam kehidupan sehari-hari seperti berkomunikasi dengan menggunakan suara perut, mengamati tindak laku orang lain, menonton pertunjukan, makan makanan yang sehat dan tidak membuat suara hilang, olahraga, membaca buku, belajar segala hal dan istirahat yang cukup. Aktor 24 jam adalah metode bagaimana kita menyadari setiap apa yang kita lakukan demi meningkatkan kemampuan dalam berakting.
Latihan rutin itu sangat penting, bukan untuk sebuah pertunjukan melainkan untuk mengembalikan kesadaran sebagai aktor. Saya akan membedakan training (latihan) dengan rehearsal. Training adalah latihan rutin yang kita lakukan bukan untuk pementasan, sementara rehearsal adalah latihan dalam proses menuju pertunjukan. Keduanya sangat penting, walau terkadang menjadi problematik karena masih banyak aktor yang latihan hanya jika mereka pentas. Kerja seorang aktor tidak bisa secara instan, setiap pribadi yang memahami aku-dirinya harus tahu bagaimana menjalankan aku-aktornya. Dalam tataran aku-aktor, pemahaman training sangat perlu untuk dibahas dan dipisahkan dengan proses rehearsal.

Di dalam training, aktor melatih seluruh kemampuannya seperti berlatih vokal, mengolah tubuh, mengolah emosi, dan meditasi. Banyak sekali metode dalam melatih itu semua, dan semua metode itu benar jika bertujuan untuk mendukung sebuah kemampuan akting tanpa merusak kesehatan jasmani dan rohani kita. Aktor berlatih vokal untuk menciptakan sebuah bunyi yang jelas dalam berdialog. Aktor melatih tubuhnya untuk bisa tetap rileks dan mengoordinasikan organ-organ tubuhnya secara maksimal. Aktor melakukan meditasi untuk membuatnya tenang dan melatih inner-energy dalam tubuhnya. Aktor mengolah emosi untuk bisa lentur dalam memanggil emosinya di atas panggung. Banyak sekali yang perlu dilatih untuk menjadi seorang aktor. Tapi saya akan membahas tentang pengolahan tubuh yang nantinya akan berkaitan tentang daya pikiran, juga penjiwaan.

Saya tidak ingin menciptakan sebuah metode baru dalam mengolah tubuh, semuanya sudah ada walaupun lintas disiplin. Saya memilih silat dan yoga sebagai metode yang sampai sekarang paling komprehensif dalam melatih keaktoran. Mengapa silat? Apakah kita melatih silat hanya untuk adegan perkelahian? Silat tidak sekadar latihan untuk berkelahi karena menurut saya silat adalah metode bagaimana membuat tubuh kita cerdas. Dari silat kita melatih refleks dalam tubuh kita. Silat melatih bagaimana kita bisa bertindak cepat tanpa berpikir (yang terlalu lama). Silat membuat kita tahu bagaimana melatih otot dan tulang. Silat adalah usaha mengetahui batasan dalam tubuh kita dan bagaimana meningkatkannya. Korelasinya dalam berakting adalah untuk melatih bagaimana kita merespons teman main, merespons panggung, dan merespons adegan tanpa pemrosesan dari pikiran yang terlalu lama. Refleks adalah alasan penting mengapa aktor harus berlatih silat atau beladiri yang lain.

Lalu kenapa yoga? Apa fungsinya bagi keaktoran? Di dalam, berakting kita harus menyatukan tiga unsur utama dalam kehidupan, yaitu tubuh, pikiran dan penjiwaan. Yoga adalah salah satu metode yang melatih itu semua. Saya sering menyebut yoga sebagai “meditasi yang aktif”. saya menyebutnya seperti itu karena yoga adalah bentuk penenangan diri dengan melakukan gerakan-gerakan yang membuat kita berdebar, dan terkadang kesakitan. Seorang yogi bernama Dylan pernah mengatakan “Pain is weakness leaving the body… yoga is a tool to be free the body of pain to free the mind.”

Di dalam yoga kita belajar bagaimana sebuah kesakitan dapat mengatasi kesakitan itu sendiri. Kelenturan dan ketenangan adalah kunci utama dalam yoga.Yoga melatih tubuh kita agar lentur dengan cara yang kadang membuat kita sakit karena kontraksi otot. Tapi, setelah semakin lentur, kita tidak lagi merasakan rasa sakit tersebut. Contohnya adalah melatih split yang ada dalam formasi yoga, latihan split tidak bisa secara instan, dan harus bertahap serta diperlukan rutinitas. Awal melatih split selangkangan akan kesakitan, kaki kesemutan tapi setelah melalui proses latihan yang efektif, kita bisa melakukan split tanpa merasakan kesakitan. Yoga mengajarkan tubuh kita pada batas dan bagaimana kita mengatasinya. Bagaimana kita menekan otot-otot kita yang kaku agar tetap rileks. Di dalam acro-yoga, terdapat beberapa formasi-formasi tubuh yang menuntut keseimbangan penuh. Yoga melatih keseimbangan tersebut. Bagaimana kita berada dalam formasi yang menegangkan, tapi jiwa kita tetap tenang, pikiran kita tidak takut, dan otot kita tidak kaku. Korelasinya untuk teater adalah bagaimana tubuh kita bisa beroperasi penuh dalam berakting di atas panggung dan bagaimana kita bisa tetap tenang dalam kondisi dan situasi yang sulit. Bagaimana tubuh kita, suara kita tetap rileks walaupun kemarahan berapi-api. Hal tersebut tidak mudah. Yoga adalah salah satu jalannya.

Sampai juga pembahasan kita pada aku-karakter yang secara langsung berkaitan dengan rehearsal seorang aktor. Tahapan ini adalah tahapan di mana aktor sedang berada dalam proses pementasan sehingga latihan-latihan yang dilakukan bertujuan untuk mencapai karakter tokohnya sedetil mungkin. Seperti apa tubuh karakter, suara karakter, cara berjalannya, cara memandangnya, bahkan senyumnya. Akan tetapi, semua hal tersebut hanya menghasilkan kerja yang sia-sia jika tidak berangkat dari kedalaman hidup sang karakter. Semua yang keluar harus berasal dari dalam, seperti halnya di kehidupan nyata, kita harus menciptakan motif dari impresi menuju ekspresi.

Penyakit yang sering melanda aktor datang ketika dia sudah menghapalkan naskah sementara jadwal pentas masih lama. Kemampuan menghapal cepat memang salah satu tuntutan untuk menjadi aktor yang andal, tapi itu bukanlah titik di mana aktor berhenti berproses dan membaca naskah. Kata-kata masih tersimpan di ingatan, belum sampai ke tubuh dan penjiwaan. Di dalam sebuah karakter ada tiga dimensi yang membentuknya, yaitu pikiran, tubuh, dan penjiwaan. Dan goal seorang aktor adalah ketika ia bisa menyatukan ketiganya seperti apa yang disebut oleh Stanislavski sebagai psychophysical union. Tanpa ketiga dimensi tersebut penonton akan sulit memercayai karakter yang diciptakan aktor, alih-alih aktor juga belum percaya dengan apa yang dia ciptakan.

Apa yang diinginkan karakter? Apa yang ingin dia lakukan untuk meraihnya? Ini adalah pertanyaan dasar yang harus dijawab seorang aktor dalam observasi karakternya. Semua hal itu terdapat pada given circumtances (situasi terberi) dalam naskah. Ketika kamu tahu apa yang kamu inginkan dan tahu bagaimana mendapatkannya, di sanalah akan hadir sebuah pertunjukan yang jujur. Dan proses pencarian aku-diri, aku-aktor, akan sangat membantu dalam pencarian aku-karakter. Sutradara sebagai penonton pertama harus dibuat percaya, bahwa sebuah karakter telah lahir. Jika sutradara sebagai orang yang selalu mendampingi selama rehearsal saja tidak percaya dengan apa yang diperankan aktor, jangan harap penonton yang lain akan percaya padamu.

Ketiga hal tersebut (aku-diri, aku-aktor, aku-karakter) merupakan struktur yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, satu bagian menentukan bagian yang lainnya. Tulisan ini menjadi pengantar untuk sebuah hutan rimba raya yang banyak jalan keluar, namun banyak jalan yang menyesatkan. Aktor, akting dan teater ialah kejujuran dari setiap manusia untuk mengungkapkan keindahan. Jangan rusak ia dengan kepura-puraan!

Jogjakarta, 8 Juni 2018

Muhammad Lutfi

You Might Also Like

0 comments