Lensa teater - Baiklah
kalau bulan november diperingati sebagai hari pahlawan tak jadi masalah, pun
dengan usaha menghafalkan sederet nama-nama pahlawan yang jamak diketahui dan
diajarkan dalam pelajaran Sejarah maupun pelajaran Pendidikan Moral Pancasila
(PMP). Bahwa public opinion menganggap
pahlawan yaitu mereka-mereka itu yang di pusaranya terdapat simbol warna merah
putih, atau yang dikebumikan di komplek Taman Makam Pahlawan (TMP) yang pada
hari-hari tertentu ramai diziarahi rombongan. No problem. Tapi mengapa kita terkadang sibuk, ribut dan berdebat
untuk memberi gelar pahlawan kepada seseorang? Sudahlah, pahlawan itu paradoks.
Perwatakan
kita sebagai bangsa timur, sebagaimana yang disampaikan oleh Catherine Van
Moppes dalam novel sejarahnya yang berjudul “Emilie Jawa 1904” bahwa bangsa
timur jauh (maksudnya Indonesia) selalu menghormati tamunya (siapapun) yang
datang, mereka memiliki adat yang kuat dan perwatakan selalu menghormati orang
lain, selalu menyajikan rijstaffel (hidangan nasi dilengkapi dengan aneka
rempah-rempah yang eksotis) kepada pendatang kulit putih, termasuk kepada para
tamu yang datang dari negeri kincir angin yang kelak menjadikan tanahnya
sebagai koloni baru. Para penjajah tersebut semakin lama semakin kerasan dengan
daerah tropis kita ini, mengapa? Karena kita punya rempah-rempah. Tak berhenti
di situ saja dalam bisnis rempah-rempah, bahkan eksploitasi besar-besaran dalam
rekayasa cultuurstelsel. Perbudakan.
Iya, tentu dengan cara “main mata” antara pihak kolonial dengan priyayi jawa
waktu itu. Banyak raja-raja kecil daerah yang memanfaatkan jabatan dan pamornya
untuk memuluskan praktik esek-esek hasil
bumi kita.
Siapa
sebenarnya pahlawan kita itu? Sudahlah, mereka yang disebut dan digelari
pahlawan adalah orang-orang yang pernah bersitegang dan berjibaku dengan para
tamu yang datang ke tanah air kita. Namun saya tidak yakin bahwa mereka
(awalnya) melawan dengan mengatasnamakan demi bangsa dan negara atau nasionalisme,
tidak. Mereka memusuhi kehadiran rombongan bangsa lain yang mengusik, mencengkeram
dan memonopoli perdagangan hasil bumi kita. Skak matt! Ternyata kita kalah
berdagang, kemudian setelah gurita bisnis penjajah sudah established di negeri yang kata Mahmoud Syaltouth adalah serpihan
surga, mereka membangun sistem pemerintahan daerah jajahan (koloni). Para
pribumi dengan komando raja-raja kecil dan priyayi mengadakan pemberontakan, loh..pemberontak itu kemudian
kita sebut sebagai pahlawan, menurut kaum penjajah, pribumi yang melawan itu
adalah kelompok pemberontak, sedangkan menurut kita pribumi yang melawan itu adalah
pahlawan. Ditindas, dijajah, kemudian bangkit dan melawan. Pertanyaannya apakah
benar kita dijajah? Atau hanya sekedar kita kalah bersaing? Dalam beberapa
aspek dan kepentingan.
Mengenai
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang kemudian kita mensubya-subya dan menokoh-nokohkan
para raja atau sultannya, bukankah mereka juga telah menggulingkan
kerajaan-kerajaan jawa melayu di masa lalu? Ada sebuah disertasi kajian
filologi yang ditulis oleh Dr. Mujizah (Universitas Indonesia) yang berjudul
Iluminasi Surat-surat Melayu di Abad 18 dan 19, disertasi tersebut berisi surat
menyurat antara raja-raja nusantara dengan kompeni Belanda, mereka (baik
raja-raja nusantara maupun kompeni Belanda) memakai teks Pegon (arab) berbahasa
melayu. Bukankah sebelum adanya kerajaan Islam kita memiliki sejarah panjang
kerajaan-kerajaan nusantara yang memakai budaya teks sesuai bahasa daerahnya.
Sekarang kita sudah kehilangan muatan lokal dan khazanah budaya lokal kita.
Selamat, kita akan melupakan sejarah kehidupan nenek moyang kita.
Kabar
rekomendasi dari partai beringin Golkar beberapa waktu lalu terkait rekomendasi
pemberian gelar pahlawan kepada Jenderal Besar H.M Soeharto sempat menyita
perhatian publik, publik pun terbelah menjadi dua, ada yang setuju maupun
tidak. Bagi yang merasa pernah disejahterakan oleh The Smiling General langsung mengamini rekomendasi
tersebut, tetapi bagi para pejuang HAM dan para korban keculasan politik buldoser
orde baru sekuat tenaga menolak gagasan dari partai yang pernah tak jujur
tersebut. Ya, partai yang pernah berbohong dengan mengatakan bahwa mereka
bukanlah partai, melainkan golongan. Sekber Golkar. Selamat berebut gelar (pahlawan).
Baiklah
mari kita tutup berbagai gunjingan di atas dengan menelan pil pahit berupa
kebingungan dan keputusasaan kaum muda dalam lipatan sejarah, mungkin kita
kehilangan patron dan tonggak dalam pengambilan sikap perjuangan. Sehingga
banyak sekali penyelewengan akan kabar masa lalu. Karena di Indonesia kita
dikecohkan oleh praktik penyampaian kata berita dan cerita, dua kata yang
dibedakan hanya dengan ber dan cer. Sedangkan praktiknya sering
disamakan. Sehingga seringkali berita fakta diselewengkan hanya menjadi cerita,
begitu pula sebaliknya. Berbeda dengan kata news
dan story. Itu masalah kita!
10
November 2016.
Oleh : Fathul H. Panatapraja, Menaruh minat pada sastra, seni
dan filsafat. Tinggal di Malang.Bisa berkorespondensi di panatapraja@gmail.com,
Fathul Panata Praja, fathul_panatapraja.
0 comments