METRONOME #3: BIKIN TONTONAN TEATER ITU “KAYAK GINI LHO REK!”

Oleh: Moehammad Sinwan


Lensa Teater - Di Malang, komunitas teater itu banyak banget. Terutama komunitas-komunitas teater yang tumbuh di kalangan kampus dan sekolah-sekolah. Dan tentunya pementasan-pementasan teater di malang itu juga sering banget. Namun mencari pementasan teater yang cukup berkualitas dan bisa dinikmati saat menontonnya, sulit banget.
Itulah ironisnya.
Lantas, kalau begitu apa gunanya pentas-pentas teater digelar oleh banyak kelompok teater, jika persoalan kualitas dan kelayakan sebagai tontonan menjadi hal yang sulit diharapkan?
Alangkah sayang sekali jika pentas-pentas teater tetap saja hanya menjadi sekedar ajang ekspresi diri, tanpa mampu memberikan rasa kenikmatan dan kepuasan bagi para penontonnya. Apalagi kemampuan untuk menawarkan muatan isi dan kualitas artistik kepada khalayak yang menontonnya. Sungguh alangkah naif sekali jika kelompok-kelompok teater tetap saja hanya dijadikan ajang sekedar kumpul-kumpul untuk mencari identitas diri, dan kurang menggarap peningkatan kualitas diri bagi para personilnya.
Jagat perteateran di Malang memang makin hari makin ramai dengan gelaran pentas-pentas baik yang diberi tajuk “pentas studi” maupun pentas yang “bukan studi” lagi. Tapi ya itu, keramaian yang diciptakan masih sebatas keramaian yang ‘berisik’, sebagaimana berisiknya suara-suara ombak dipinggir lautan, yang terus-menerus berisik, namun tak pernah menjadi “gaung” dalam kehidupan.
Nah, pada tanggal 10 – 12 Januari 2019 yang baru lalu, sebuah helatan seni pertunjukan yang diberi tajuk Metronome #3 telah digelar. Kapasitas gedung yang sebenarnya terbatas hanya untuk sekitar 260 orang penonton itu, terpaksa harus disulap agar bisa menampung kurang lebih 320 orang penonton setiap malamnya. Total tiket yang keluar 995 tiket, dan itu belum termasuk beberapa penonton yang hadir dengan undangan/atau tanpa tiket. So, sekitar 1000 orang penonton lebih, untuk 3 malam telah berhasil dihadirkan dalam pentas kolaborasi musik, nyanyian, tari dan teater itu.
Tak semua pertunjukan teater di Malang yang mampu menyedot penonton sebanyak itu. Dan kondisi berjubelnya penonton yang memenuhi gedung pementasan, tak hanya terjadi pada event Metronome #3 ini. Hal itu sudah terjadi sejak program pentas yang dinamai Metronome ini berlangsung sejak seri pertama (meskipun, capaian penonton paling banyak memang di Metronome #3 ini).
Kenapa bisa begitu?
Logikanya sederhana sekali. Sesuatu yang bagus pasti akan diminati oleh banyak orang. Pentas teater yang berkualitas, pastilah akan mampu menghadirkan banyak penggemar. Berarti, pentas Metronome #3 itu bagus dan berkualitas?
Pastilah, iya!
Pentas seni pertunjukan yang berdurasi hampir 1 jam setengah itu, telah dikemas dengan apik, rapi, dan menarik. Pertunjukan yang berisi sajian-sajian musik, nyanyian, tari dan dua karya teater itu, bisa dibilang berlangsung sangat lancar dan sukses, serta memiliki kualitas yang cukup spektakuler.
Empat nomor pertunjukan yang berlangsung secara berangkai, dengan kehadiran dua orang MC sebagai penyambung benang merah (atau pengisi jeda saat pergantian nomor pertunjukan harus dilakukan), telah mampu membuat seluruh penonton yang hadir takluk dan terpukau, bahkan saat pementasan telah usai pun, tak ada seorang penonton pun yang beranjak dari tempat duduknya untuk meninggalkan tempat pertunjukan itu. Sampai-sampai saat sang sutradara selesai memperkenalkan satu per satu para pemain dan tim kru pendukung pertunjukan itu, para penonton masih enggan untuk beranjak.
Ini sungguh keadaan yang jarang bisa kita temui, kecuali pada beberapa pertunjukan lain yang juga pernah terjadi, dengan kualitas dan kaliber yang lebih atau sepadan.

•••
Keberhasilan dan kesuksesan perhelatan sebuah pertunjukan itu salah satu tolok ukurnya adalah dari sisi penonton. Bukan saja mengenai banyaknya penonton yang berhasil dihadirkan, namun juga tentang bagaimana kualitas interaksi komunikatif antara pertunjukannya dengan para penontonnya; energi komunikasi yang bisa terasakan saat pertunjukan sedang berjalan; serta aura kepuasan penonton saat pertunjukan selesai.
Metronome #3, telah mencapai semua sisi-sisi itu. Meskipun memang belum bisa dikatakan sebagai pencapaian secara puncak atau optimal banget, namun secara keseluruhan dan keutuhan, metronome #3 bisa dibilang sebagai salah satu momentum helatan seni pertunjukan yang berhasil dengan gemilang menghadirkan suguhan pentas yang “bagus” di kota Malang. Kehadirannya juga bisa dikatakan bisa mengisi ‘kekosongan’ akan pertunjukan yang berkualitas di Malang, untuk saat ini.


Sebuah rangkaian pertunjukan yang dibangun oleh empat nomor pertunjukan itu dikomandani oleh Bayu Kresna Murti sebagai sutradara. “Paradise Song (sebuah opening)”  merupakan nomor pembuka untuk menyambut kehadiran para penonton. Karya musik yang didesain semi-orkestra ini, merupakan perpaduan musik modern dengan gamelan. Bentuk sajian ini dipilih sebagai ekspresi yang diharapkan bisa mewakili perasaan siswa PPST SMPN 4 Malang yang menganggap Kelas Seni adalah surga (paradise) bagi mereka. Maka keriangan dan kebahagiaan mereka dalam menjalani dan menghayati proses pembelajaran seni-budaya sehari-hari, diejawantahkan dalam “euforia” kemeriahan dan kerancakan sajian musik dan nyanyi ini. Dalam garapan ini, komposisi dan perpaduan musik-nyanyi dikerjakan dengan apik oleh Cahyo Kartiko, yang dalam helatan ini didapuk sebagai penata musik dan conductor.
Tari Papat Lebur Dadi Sewu”, yang merupakan kumpulan dari 4 garapan tari terbaik yang pernah dilahirkan oleh PPST SMPN 4 Malang, menjadi tampilan kedua yang berhasil menambah daya pikat pergelaran metronome #3, yang cukup mendapat ‘applause’ dari seluruh penonton ini. Gerakan-gerakan yang cukup rancak, dengan musik kolaboratif (pentatonik dan diatonik) yang dinamis dan penuh hentakan yang menggugah gairah rasa estetika ini merupakan hasil dari tangan dingin seorang Tri Ida Rochana, salah seorang koreografer PPST SMPN 4 Malang.
Kemudian dua tampilan teater yang berjudul “Bebana Wewadi” dan “Buto Mudun Gunung” menjadi pembangun puncak kemenarikan dari event yang sangat memikat ini.
Bebana Wewadi” adalah pertunjukan drama komedi dengan kisah yang diadaptasi dari dongeng Denmark yang berjudul Baju Baru Raja. Drama yang menceritakan kepongahan seorang “pembesar” ini digarap dengan begitu dinamis, dengan setting panggung yang dipadu dengan musik, dan dimainkan secara atraktif  oleh para pemain yang sekaligus sebagai pemusik dan penata sett secara progresif dan unik.
Karya ini pada tahun 2016 berhasil meraih Juara 1 dalam ajang perlombaan antar sekolah PPST se-Jawa Timur yang biasa disebut ASP (Apresiasi Seni Pelajar) yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
Sementara itu, drama “Buto Mudun Gunung” benar-benar menjadi puncak dari 4 sajian dalam helatan ini. Gaya garapan yang berangkat dari penemuan konsep dari drama “Ken Angrok Sang Legenda” itu, ternyata menunjukkan bahwa temuan-temuan kreativitas pada visual-teatralnya dapat digunakan dalam produk-produk cerita lainnya.
Dengan menggunakan kotak/kubus-kubus yang didesain sedemikian rupa, eksplorasi visual yang dapat dihadirkan oleh sang sutradara benar-benar mampu menimbulkan kekaguman yang “gila”.
Bahkan, dalam drama “Buto Mudun Gunung” daya akrobatiknya jauh lebih ‘menggigit’ dan ‘mendebarkan’ ketika teknis eksplorasi permainan setting ini digunakan ketimbang dalam drama “Ken Angrok Sang legenda”.
Penggambaran tokoh Buto, yang diwujudkan dengan beberapa tokoh Buto yang kecil-kecil, lalu tokoh timun emas, yang juga diinterpretasikan dengan beberapa tokoh Timun Emas, serta munculnya tokoh “Mas Bro” yang malah digambarkan sebagai mahkluk yang besar, menakutkan, adalah salah satu contoh kreativitas dari seorang Bayu Kresna Murti yang memiliki imajinasi liar dan multi presentasi.
•••
Terlepas dari semua kelebihan-kelebihan dan barangkali juga adanya kekurangan-kekurangan di sana-sini, yang jelas ada beberapa hal yang perlu kita cermati sebagai bahan pelajaran kita semua, dalam membuat pertunjukan teater.
Jika diperhatikan dengan cermat, mulai dari bagaimana bagian depan gedung ditata dan diatur, bagaimana cara penyambutan penonton, serta bagaimana ruang gedung yang tidak terlalu besar itu disulap sebagai  venue sebuah helatan seni pertunjukan, menunjukkan bahwa tim penyelenggara pertunjukan ini telah benar-benar bekerja dengan ‘rijit’, detail dan professional.
Sebuah panggung yang ditata dengan sedemikian rupa itu, membuat para penonton yang masuk langsung terkondisi oleh suasana gedung pertunjukan yang terasa pekat. Di bagian belakang panggung, tertata berbagai alat musik dengan penuh tapi rapi, di pelataran panggung hanya terlihat lantai yang tertutup sejenis bahan tertentu berwarna hitam, sementara di sekeliling batas panggung terlihat berbagai property unik dan menarik juga tertata dalam komposisi yang teratur.
Ketika lampu gedung tiba-tiba dinyalakan dengan ‘mendadak’ sempat menimbulkan kejutan pada para penonton. Tak lama sejumlah anak-anak remaja seusia SMP pun terlihat memasuki area panggung. Mereka menempati tempat masing-masing dengan tertib tapi penuh keyakinan diri. Tak lama, sebuah alunan musik yang ritmis, harmonis, dan kadang penuh hentakan, meluncur menyapa seluruh penonton yang telah memenuhi tempat duduk yang ditata secara bertingkat.


Aksi panggung pun terus mengalir, dengan alunan musik yang penuh nuansa etnik, nyanyian, tarian, dan terus mengalir hingga dipuncaki dengan dua pertunjukan teater yang enerjik dan cukup memukau. Karya pentas teater dengan pendekatan permainan yang karikatural, penggarapan alur yang progresif-dinamik, dengan sentuhan-sentuhan ilustrasi musik yang akrobatik dan penuh ritmis, serta dilengkapi dengan koreografi-koreografi sebagai benang merah (penyambung) adegan-adegan yang lebih dominan pada gerak-gerak dan visualisasi peristiwa tersaji dengan begitu memikatnya.
Eksplorasi bentuk yang memadukan gaya akrobatik property setting dengan alat musik yang dimainkan oleh para aktor yang sekaligus sebagai pemain musik adalah sebuah kekuatan khas yang dimilikinya. Permainan-permainan setting yang begitu unik dalam eksplorasi pergerakan permainan para aktornya (sebagaimana dalam pentas ”Buto Mudun Gunung” dan dalam karya teaternya “Ken Angrok Sang legenda”) telah memberikan kesan yang mendalam pada diri para penontonnya, bahwa Metronome #3 ini adalah sebuah sajian pertunjukan yang menghibur, menginspirasi dan memberikan banyak tawaran estetika dalam berkesenian.
Itulah beberapa hal yang sangat perlu kita pegang teguh sebagai para pelaku pertunjukan, bahwa bikin sebuah pementasan itu, tak cukup dengan sekedar berangkat dengan ‘semangat menampilkan’ atau semangat ‘tampil’. Apalagi jika motivasi berpentasnya juga masih saja sebagai “niatan belajar”.
Belajar kog ‘ditampilkan’?!
Hehh…■■







Tegalgondo, 15-1-2019








Penulis adalah: Pendiri, Pemimpin Umum & Sutradara Teater IDEōT
Dokumentasi Foto oleh: M. Sadheli
Sanggar Teater IDEōT: PERUM IKIP Tegalgondo Asri Blok 2F No.07 Tegalgondo, Malang
Email: ideotteater@gmail.com/teaterideot@gmail.com
Blog: teaterideotmlg.blogspot.com/ideotpress.blogspot.com
Facebook: Ideot Teater

You Might Also Like

1 comments