Membaca Kerumitan Persoalan DKM: ANTARA HARAPAN DAN HIRUK-PIKUK KEPENTINGAN(?)

LENSA TEATER - Problem Dewan Kesenian Malang (DKM) ternyata sampai sekarang belum tertuntaskan. Malah semakin “gonjang-ganjing” dan penuh kehiruk-pikukan. Berbagai pendapat, pandangan, bahkan banyak kepentingan makin seru saling bergesekan bahkan kadang terasa bertabrakan.
Makin hari, makin dapat terpetakan adanya pihak-pihak dan kubu-kubu dengan berbagai pendapat dan pandangan masing-masing.
Upaya-upaya penyelesaian dan pencarian solusi dari berbagai pihak secara tarik-ulur memang sedang (dan terus) terupayakan, namun kalau kita mau jujur, benarkah kita sedang mencari solusi atau jalan penyelesaian yang terbaik untuk kepentingan bersama? Benarkah kita (para pihak yang terkait atau setidaknya merasa terkait dalam persoalan DKM ini), sedang hendak melakukan sebuah ‘penyelamatan’ Dewan Kesenian Malang? Apakah segala upaya yang sudah berpanjang-panjang ini tidak ditunggangi oleh kepentingan kita masing-masing (baik personal maupun primordial)?
Dibutuhkan kehendak baik yang benar-benar fair, jujur, dan benar dalam problema DKM yang sedang terjadi ini. Dan diperlukan juga pandangan dan sikap yang “tidak salah kaprah” mengenai lembaga yang sering kita sebut sebagai ‘Rumah Seniman’ ini.
Dewan Kesenian adalah wadah otonom seniman di luar struktur pemerintah daerah, namun keberadaannya tak lepas dari keterkaitan kepala daerah. Keberadaannya merupakan partner pemerintah daerah dalam menumbuhkembangkan penciptaan karya seni kreatif dalam arti dan makna seluas-luasnya. Yang sebagian tugas dan wewenangnya adalah mewadahi kegiatan-kegiatan pergelaran, serta meningkatkan wawasan, pengetahuan, kreativitas, dan keterampilan para seniman melalui penyelenggaran berbagai kegiatan seperti seminar, diskusi, lomba, festival, pertemuan-pertemuan, workshop, penelitian, penerbitan, dan lain sebagainya; serta mewakili para seniman dalam memperjuangkan kepentingan seniman  (Instruksi Mendagri: No. 5A tahun 1993). Jadi keberadaan kelembagaan Dewan Kesenian itu independen, bukan di bawah naungan Disbudpar atau lembaga dinas lainnya, namun secara operasional tidaklah lepas dari keterkaitan dan tanggung jawab pemerintah daerah, dan sebagai salah satu institusi yang secara bersama-sama dan setara harus melakukan sinergitas dengan lembaga-lembaga lain, baik lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan (termasuk dengan Disbudpar).
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) harus disahkan oleh Kepala Daerah. SK Kepengurusan juga harus disahkan oleh Kepala Daerah. Dan lembaga ini pun harus bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sehingga konsekuensi dari keterkaitan seperti itu, mengenai pemenuhan sarana/prasana dan anggaran bagi lembaga ini adalah tanggung jawab pemerintah daerah.
Sebagai partner dari pemerintah daerah, lembaga ini pun secara esensinya berbeda dengan komunitas-komunitas sanggar, lembaga-lembaga struktural kepemerintahan (seperti dinas pariwisata), maupun dengan event organizer. Secara pokok peran lembaga ini adalah untuk memberi masukan berupa penyusunan program tahunan bagi kegiatan pembinaan dan pengembangan kesenian yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan sebagai fasilitator bagi upaya-upaya pembinaan, pengembangan, pelesetarian dan perlindungan seni-budaya.
Faktor kesalahkaprahan dalam memandang dan menyikapi keberadaan dan posisi DKM, baik oleh internal pengurus DKM itu sendiri, maupun oleh pihak eksternal lembaga ini adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan gonjang-ganjing DKM menjadi berpanjang-panjang dan ‘merumit’.
Menyimak pernyataan Sekjend DKM di Radar Malang (Minggu, 28 Feb. 2016), yang pernah mengatakan bahwa atas nama lembaga DKM merasa kecewa dan kapok karena telah megusulkan anggaran dana sebesar 2,2 miliar untuk kegiatan pelestarian seni budaya, namun tidak mendapat tanggapan atau tindak lanjut dari disbudpar. Sementara dalam media on-line Times Indonesia, Malang (Minggu, 28-2-2016) pihak Disbudpar juga pernah melemparkan statemen bahwa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang menganggap Dewan Kesenian Malang kurang berkualitas. Pasalnya pihak Disbudpar pernah meminta DKM untuk mempertunjukkan pentas seni pada acara Malang Night Market, namun Disbudpar merasa penampilan yang disuguhkan oleh DKM kurang maksimal, dan kejadian tersebut sering terjadi. Oleh sebab itu Disbudpar lebih sering menggunakan penyelenggara acara dari sanggar lain binaan Disbudpar sendiri.
Dari dua statemen di atas, jelaslah bahwa telah terjadi ‘kesalahkaprahan’ yang cukup fatal terhadap keberadaan dan fungsi DKM dalam konteks dan fungsinya sebagai lembaga partner pemerintah daerah yang otonom (independen). Pihak pengurus DKM (dalam hal ini Sekjen DKM) telah menganggap dan memposisikan DKM sebagai lembaga di bawah Disbudpar. Sementara pihak Disbudpar sendiri, telah mendudukkan DKM sebagaimana sanggar-sanggar atau event-organizer.
Mengenai kesalahkaprahan dua pandangan di atas juga makin diperkuat oleh apa yang telah terjadi pada pertemuan antara pihak Disbudpar dan DKM (yang kebetulan dihadiri pula oleh pihak MCF dan beberapa pelaku seni-budaya). Dalam pertemuan yang terjadi di Kantor Disbudpar tersebut, yang dimaksudkan untuk pertemuan klarifikasi atas kesimpang-siuran yang terjadi, sempat terbahas bahwa antara DKM dan MCF diminta agar bisa bersinergi dengan baik, sebab baik DKM maupun MCF dianggap sama-sama memerlukan Disbudpar, sehingga diharapkan akan bisa dilakukan sharing program-progran yang dimiliki Disbudpar.
Sungguh, ketika DKM disikapi seperti itu (nota bene: akan mendapatkan sharing program, sebab dianggap salah satu lembaga di bawah naungan Disbudpar), adalah pandangan yang kurang tepat. Dan bahwa DKM dianggap sama seperti sanggar atau EO semacam itu, adalah sebuah anggapan yang ‘salah kaprah’.
Namun, sayangnya pandangan-pandangan tersebut juga masih menjadi permasalahan yang debatable di kalangan para seniman, masyarakat seni, maupun pihak-pihak terkait lainnya.
Kalau kita telisik lebih jauh, sebetulnya kesalahkaprahan ini sudah terjadi sejak lama. Sehingga kekacauan dan kerumitan permasalahan saat ini tak lain juga merupakan dampak dari kesalahan pandangan dan penyikapan mengenai keberadaan DKM. Bahwa kondisi DKM yang penuh problematika; yang selalu menjadi tarik-menarik oleh berbagai kepentingan; yang tidak jelas aturan mainnya; dan tidak jelas pula arah dan fungsi keberadaannya; telah terjadi sejak lama dalam sejarah perjalanannya.
Kepindahan DKM dari gedung asalnya (sekarang gedung kesenian Gajayana) ke lokasi yang sekarang (pasar burung splendeed) itu saja meninggalkan berbagai ketidakjelasan. Status tanah dari lokasi gedung DKM sekarang ini, ternyata juga menyimpan ketidakpastian, sehingga menimbulkan berbagai kendala bagi upaya pengembangan dan pembangunannya.
Persoalan-persoalan ketidakjelasan mengenai kepengurusan; ketidakjelasan SK Kepengurusan dari Walikota; lepasnya jatah Anggaran dari APBD Pemkot Malang sejak beberapa periode kepengurusan, tidak jelasnya AD/ART yang sah untuk saat ini; serta makin banyaknya sikap-sikap ‘setengah anti-pati’ terhadap keberadaan DKM; sikap pesimis dan skeptis, munculnya primordialisme dan kubu-kubu dalam menyikapi “kondisi DKM” yang makin berstatus “quo vadis” ini;  adalah persoalan-persoalan yang menambah suhu hiruk-pikuk dari gonjang-ganjing DKM menjadi makin menaik, serta membuat eksistensi DKM makin “kelap-kelip”.
Ternyata karut-marut persoalan tidak cukup berhenti sampai di situ. Pada perkembangan-nya, berbagai perbedaan pandangan dan perdebatan (baik dalam obrolan-obrolan biasa hingga pada tataran sosial media), serta tarik-menarik pendapat dan kepentingan makin menajam. Akibatnya, segala upaya yang sebenarnya kadang masih “ada” menjadi kurang mempunyai energi dan kekuatan untuk dijalankan. Sampai-sampai niatan untuk melakukan “Musyawarah Luar Biasa” yang sempat sudah terbentuk kepanitiaannya, kandas di tengah jalan, tak jelas juntrungnya.
Kalau kenyataan sudah seperti itu, apakah kita akan terus-menerus saling berpegang pada anggapan kebenaran masing-masing? Sehingga nuansa dan iklim berkesenian di kota yang konon dirasa sebagai kota penuh ‘ke-khas-an’ seni-budaya ini, akan menjadi semakin primodial dan tercerai-berai di tengah kesemarakan iklim berseni-budaya yang sebenarnya sedang tumbuh.
Tak bisakah kita benar-benar memulai untuk duduk bersama, berbicara bersama, dengan semangat mencari solusi secara bersama demi kepentingan ‘bersama’ pula, dan bukan untuk kepentingan sendiri-sendiri, yang tersembunyi?
Ironisnya lagi, rasa-rasanya kemelut “ketidakjelasan” Dewan Kesenian (yang) Malang ini, makin hari makin “tidak saja memanas”, namun sudah mendekati suhu derajat yang memuncak. Akan tetapi sikap-sikap “saling terbuka”, untuk benar-benar bisa duduk bersama, dan dengan niatan yang benar-benar “nihil” dari kepentingan-kepentingan primordial maupun individual, belum nampak bisa terbaca. Setiap orang menjadi saling curiga. Setiap kubu menjadi saling memasang ‘kuda-kuda’. Ah, entahlah…, kadang akan sangat menjadi bisa dimaklumi, ketika makin banyak pihak-pihak yang menjadi tidak begitu tertarik lagi berbicara tentang DKM, Dewan Kesenian Malang (yang masih saja bernasib “malang” ini).

Moehammad Sinwan
(Tegalgondo, 22 September 2016)
Terbit di Malang Post
Penulis adalah Pendiri, Pemimpin Umum & Sutradara Teater IDEōT








You Might Also Like

0 comments