Sanggar Bahana Antasari UIN Antasari Banjarmasin meraih Penyaji Terbaik STIGMA 5 Malang serta 4 nominasi lainnya |
Pengantar
Sebelum pernyataan
hasil evaluasi sajian monolog peserta Festival Monolog Mahasiswa Nasional (STIGMA)
5 yang diselenggarakan oleh UKM Teater Hampa Indonesia Universitas Negeri
Malang sebagai tuan rumah pada tanggal 1-8 April 2018, izinkan terlebih dahulu
saya menceritakan secara singkat sejarah monolog berdasarkan pengalaman dan catatan
yang telah ada sebelumnya.
Dalam sejarahnya
monolog berawal dari Soliloque tokoh yang terdapat di dalam naskah drama. Soliloque adalah istilah yang berasal dari bahasa
Yunani, yaitu penggambaran
seorang tokoh yang menceritakan isi hatinya agar didengar oleh penonton. Konon menurut
para ahli teater dunia dan Indonesia, soliloque inilah yang kemudian menjadi akar atau
ibu yang melahirkan istilah Mono Drama
dalam teater atau lebih sering dikenal dengan istilah Monolog. Soliloque biasanya digunakan oleh tokoh-tokoh
teater atau dramawan
yang menulis naskah―yang dianggap sebagai naskah-naskah besar sepanjang zaman―seperti
naskah Sophochles, Euripides,
Aristhopanes, William Shakespeare, Gothe, Jean Paul Sartre, Albert Camus, W.S. Rendra,
Arifin C Noer, Putu Wijaya, Nano Riantiarno dan masih banyak
penulis besar lainnya lagi.
Rata-rata dalam naskah yang penggambaran watak serta
karater tokohnya yang kuat, soliloque
ini menjadi ciri dari lakon tersebut. Pada bagian soliloque ini pulalah penonton bisa melihat
kualitas seorang aktor dalam menghidupkan watak tokohnya. Saya mengutip pernyataan yang ditulis oleh
seniman teater indonesia,
Nano Riantiarno,
dalam
pengantar buku Sphinx Triple X yang
mengatakan;
Tradisi
‘monodrama’ Yunani klasik itu, kemudian dilanjutkan oleh Wiliam Shakespeare
dalam banyak karya dramanya. Tapi Shakespeare menyebutnya sebagai solilog. Atau
soliloque.
Itulah adegan ketika seorang pelakon mengungkapkan fikiran dan perasaannya,
sendirian, tanpa kehadiran pelakon lain. Sebagaimana mono drama dalam karya
Aeschylus, soliloque juga masih merupakan bagian dari
sebuah drama panjang (Riantiarno, xiv; 2004).
Dalam naskah klasik barat soliloque ini panjang-panjang. Bahkan disebutnya
sudah bukan soliloque
lagi, melainkan sudah taraf Monolog, Monodrama, Melodrama, One Man Play, One Man Show, Teater Solo dll. Namun,
dalam uraian singkat ini kita batasi pembahasannya pada topik monolog.
Monolog
Sebagai suatu genre
dalam kesenian teater saat ini monolog tentu saja sudah mengalami perkemmbangan
yang signifikan. Baik dari sajian dalam bentuk pertunjukan maupun dari segi
aliran sebagai keilmuan. Sehingga wajar jika perkembangan monolog tersebut
mengalami banyak perkembangan bentuk seperti teater yang juga terbagi dalam
teater realis yang memuat teater realisme konvensional, realis epik dan realis
sugestif. Begitu juga dengan teater non realis yang memuat kotemporer,
eksperimental, tradisional, absurd, dadais, surealis, postrealis dll.
Bila diartikan dari
bahasa Inggris monologue berarti
bicara sendiri. Kata monolog sendiri telah diserap dalam bahasa Indonesia yang
juga diartikan sebagai pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri atau
sorang pelaku tunggal dalam sandiwara yang membawakan percakapan seorang diri.
Mengutip catatan Alterman dalam Creating
your own monologue mengatakan; A long
monologue or monodrama is a one-person play. Monodramas can be a powerful form
of theater (Alterman, 2005: 4).
Monolog adalah
cerita yang berupa perenungan terhadap peristiwa yang telah terjadi. Dalam
pertunjukan monolog, seorang aktor yang bercerita atau berperan secara langsung
kepada penonton, dan mengekspresikan perasaan batin tokoh yang terdapat di
dalam naskah sebagai wujud demonstrasi akting secara psikologi, fisiologi dan
sosiologi. Kata kunci satu aktor dan satu tokoh yang bercerita adalah esensi
dari monolog. Hal ini seharusnya menjadi pegangan jika semua bersepakat, karena
menurut Lanvord Wilson dalam Shengold catatan bukunya The Actor's Book Of Contemporary Stage Monologues mengatakan bahwa
monolog It's almost a
one-act play, (Shengold, 1987: 324). Begitu juga menurut Tina Howe dalam shengold mengatakan; A monologue has to do with revealing things
that the character has been unable to reveal before. So it's a very precious
moment (Shengold, 1987: 331).
Menyapa penonton
bahkan juga masih bisa diberlakukan dalam monolog. Satu dasar yang memberanikan
saya menyatakan hal tersebut adalah adanya seorang pewarta dalam naskah
Oidipus, yang ditulis oleh Sopochles, yang bercerita kepada masyarakat atas
peristiwa tragedi besar yang melanda kerajaan Thebes. Sang Aktor mampu
memperlihatkan kembali kejadian yang ia lihat untuk dilihat bersama-sama oleh
penonton.
Berbeda dengan Mono
Play, yang merupakan perkembangan dari monolog, sebab Si Aktor bercerita tetapi
tidak lagi mengaktifkan penonton dengan kata, “Saudara-saudara,” sebagai ruang
kesadaran. Melainkan dengan pentas seorang diri. Sang aktor mewujudkan tokoh
selain tokoh utama yang ia mainkan. Misalnya tokoh A adalah tokoh dasar yang
diperankannya. Maka untuk menceritakan tokoh B, C, dan D maka Sang aktor
berubah menjadi tokoh tersebut. Tentu saja perubahan ini total dengan segala
perangkat dari masing-masing tokoh yang akan diwujudkan.
Sedangkan istilah One Man Show adalah istilah yang
menampung pementasan yang bisa mewadahi apa yang terjadi di dalam monolog
seperti bercerita, juga teknik yang ada pada mono play sebagai bentuk pengayaan
dan penguasaan teknik yang dimiliki oleh seorang aktor. Secara tidak langsung
dalam One Man Show aktor harus
menguasai akting, dancing dan singing. Karena One Man Show merupakan perkawinan monolog dengan mono play. Dan One Man Show menjadi kekuatan seorang
aktor untuk melakukan teater solo.
Bila mencermati
hasil dari pementasan peserta Festival Monolog
Mahasiswa Nasional (STIGMA) 5, maka tampak bahawa para aktor telah
melakukan suatu aksi yang disebut dengan Mono Play. Sebab yang tampak, dari
semua aktor yang ikut lomba, rata-rata memainkan lebih dari satu tokoh. Meskipun
tokoh yang diwujudkan belum menyentuh pada wilayah karakter dan watak. Aktor yang
berlomba baru sampai pada wilayah teknis, tubuh plastis dan ekshibisionis.
Pembahasan dan Evaluasi
Setelah menonton 28
video peserta yang dikirimkan untuk mengikuti event STIGMA 5 ini, saya ucapkan
salut! Otomatis saya bangga melihat antusias peserta yang ingin ikut dalam
event bergengsi ini. Bahwa ternyata begitu banyak tim yang berminat untuk
mengikuti event ini. Namun berdasarkan penilaian panitia hanya 28 video yang
lolos untuk masuk dalam kategori kurasi dari 28 provinsi yang ada di Nusantara,
kecuali wilayah Papua yang belum turut serta. Dari 28 video tersebut, ternyata
masih diseleksi lagi oleh tim juri hingga menghasilkan 16 besar peserta yang
lolos kurasi. Mereka diharapkan untuk hadir dan menyajikan karyanya dihadapan
dewan juri di Universitas Negeri Malang.
Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan saat menonton video kurasi satu persatu kemudian menonton sajian
pertunjukan secara langsung, tentu saja banyak evaluasi yang perlu saya
sampaikan berkaitan dengan kategori Monolog itu sendiri. Bahkan saya menemukan
beberapa pementasan yang lepas dari kategori monolog yang sudah dijelaskan pada
bab sebelumnya. Misalkan adanya grup teater yang melibatkan tokoh kedua dalam
pementasannya, meskipun tokoh kedua tersebut hadir di dalam gelap.
Selain itu, untuk
mengikuti festival monolog yang bertaraf nasional seperti STIGMA 5 ini, perlu
rasanya saya menghimbau kepada peserta yang terlibat untuk lebih
sungguh-sungguh dalam menggarap sebuah pertunjukan. Karena dalam beberapa
sajian yang saya lihat, saya masih menyaksikan adanya pertunjukan yang asal
pentas dan asal bisa berakhir. Belum banyak sajian yang utuh dan tuntas
sehingga mampu memberikan kesan yang mendalam kepada penontonnya.
Rata-rata
pertunjukan yang disajikan para peserta tampak tanpa memperhitungkan wilayah
teknis. Sementara yang paling riskan dalam pementasan―apalagi dalam event lomba
seperti ini―ialah wilayah teknis itu sendiri. Wilayah teknis mau tidak mau
menjadi hal yang penting untuk diperhitungkan karena wilayah teknis inilah yang
menemani dan membantu aktor dalam menyampaikan pesan-pesannya pada saat
pementasan. Baru setelah penguasaan teknis berhasil, disempurnakan dengan
perasaan, atau wilayah rasa. Sehingga jika wilayah teknis dan rasa bisa kawin
dalam pementasan, maka bisa dipastikan pertunjukan akan menjadi utuh dan tuntas,
meskipun hanya dimainkan oleh seorang aktor di atas panggung.
Mengapa saya
mengatakan pentingnya penyikapan teknis, karena secara keseluruhan saya melihat
bahwa tim yang terlibat dalam pementasan di STIGMA 5 ini masih belum detail menyikapinya.
Bahkan masih ada yang ala kadarnya. Misalnya dari wilayah tatanan artistik
secara keseluruhan masih banyak peserta yang belum bisa menggarap kesinambungan
antara tata busana, tata panggung, tata cahaya, tata rias dan tata musik
menjadi komposisi yang selaras dan harmonis. Tatanan yang terlihat dalam
mendukung karakter dan permainan aktor ini tentu saja perlu diperhatikan.
Jika konsepnya
ingin menabrak tatanan teknis, maka seharusnya juga diperhitungkan agar semua
yang terlihat, terdengar, dan terasa bisa ditangkap sebagai bagian dari konsep
yang disengaja dihadirkan. Bukan malah sebaliknya, yang tertangkap adalah
sebuah mis-teknis atau kesalahan teknis. Saya juga menyadari bahwa menonton
video saat kurasi memang berbeda ketika menonton langsung pementasan dari para
peserta yang lolos seleksi.
Setidaknya
pertunjukan yang disajikan peserta sudah terlihat perubahannya. Baik yang
positif maupun negatif. Ada beberapa peserta yang mengubah pertunjukan dari
hasil kurasi menjadi lebih baik, ada juga yang justru menjadi lebih buruk dari
pada yang ada di video. Beberapa catatan yang paling fatal dalam STIGMA 5 ini
antara lain:
Teater Terjal, UMG Yogyakarta; Prita Istri Kita
Gimik yang
mengawali pertunjukan memang menarik, tetapi ketika lampu menyala, tampak bahwa
Teater Terjal dengan penuh percaya diri telah merubah bentuk pertunjukannya
dari video kurasi yang dikirim. Sangat disayangkan, secara keaktoran sebenarnya
punya potensi, hanya saja belum tampak ada pengolahan perangkat keaktoran
dengan baik. Bahkan yang mengherankan aktor hanya pamer teknik pada perubahan
tokoh yang terkadang belum cukup nyambung. Irama dialog selalu sama dan emosi
selalu lepas.
Sutradara tampak
terlalu ekstream dalam mengubah konsep yang sudah ada dan perlu perhitungan
lagi dalam menafsir naskah ini.
Tata cahaya yang
tampak belum bisa menciptakan suasana. Tata panggung yang terlalu minimalis
saya rasa juga suatu keberanian sebab aktor belum mampu menciptakan imaji
secara latar peristiwa dan tempat. Tata suara yang dihadirkan baru sebatas
tempelan. Rias dan kostum belum menawarkan apa-apa dalam pembangungan watak
tokoh. Begitu juga dengan keharmonisan budaya yang belum tersentuh secara
maksimal.
UKM Batra, Univ. Riau; Wanci
Sebagai gimik awal,
tata suara yang menghadirkan suara kereta lewat dengan lampu yang tiba-tiba
merah dan blackout memang terasa janggal. Sebab yang terasa bahwa adegan awal
ini hanya gimik. Memang tidak masalah jika akhirnya menjadi tempelan. Sebab
adegan selanjutnya terdengar suara musik dangdut yang cukup memikat, karena
musik ini dekat dengan rakyat Indonesia. Tetapi sayang Sang aktor tampak belum
begitu fasih dalam menghidupkan suasana musik dangdut sebagai gebrakan awal
pementasan ini. Alasannya tentu saja jelas, sebab aktor terbebani oleh evaluasi
dua juri yang gaya aktingnya mirip dengan Mbak Ruth (Uthe) saat memerankan
naskah ini.
Tata panggung yang
dihadirkan terlalu baru. Bahkan sejarah ruang dan waktu belum terbaca.
Sentuhan-sentuhan kecil yang membuat tempat itu terlihat kotor dibutuhkan dalam
naskah ini, agar menambah daya dramatik.
Secara kostum
memang sudah mewakili sebagai orang yang lama hidup di jalan, orang stres.
Tetapi sandal yang dikenakan tampak terlalu bersih, jelas sekali sendal jepit
itu juga kehilangan sejarahnya. Tata rias yang diperlihatkan sudah bagus. Hanya
saja ekspresi aktor terlalu sering ditutupi oleh rambut, hingga penonton
kesulitan untuk melihat mata sebagai jendela hati seorang aktor.
Penyutradaraan
tampak fokus pada penguasaan teknik bermain, belum detail. Mengolah rasa, irama
dialog dan tangga dramatik. Keharmonisan budaya salah satunya diwakili oleh
musik dangdut, itupun akhirnya terlihat menjadi tempelan saja. Sebenarnya aktor
sudah memiliki modal yang cukup, hanya saja secara olahan rasa dan irama belum
terwadahi dengan baik. Sehingga pada beberapa momen seringkali monoton.
UKM Teater Yupa, Univ. Mulawarman, Samarinda; Prita Istri Kita
Tata kostum yang
dihadirkan belum mencerminkan identifikasi tokoh. Penataan panggung yang
dilakukan sudah memberikan imaji pada ilusi realitas yang coba dihadirkan,
meskipun belum detil. Sedangkan tata cahaya sebenarnya sudah sesuai fungsi.
Tetapi sayang di beberapa momen belum mampu menyinari ekspresi aktor. Apalagi
saat berada di dekat kusen jendela. Tentu saja perlu perhitungan. Yang menjadi
pertanyaan adalah lampu hijau yang mencuri fokus, seharusnya diperhitungkan
lagi.
Keharmonisan budaya
belum tergarap dengan maksimal. Tata suara yang terkadang terkesan berlebihan,
bahkan seperti konser sendiri. Sutradara tampak belum jeli dalam mengatur
keseluruhan atribut pementasan. Adegan memasak saya sambut positif, meskipun
adegan itu belum selesai dengan baik. Aktor secara modal sudah bagus, tapi
dalam berdialog masih monoton. Tubuhnya belum hidup sesuai karakter, tampak
malah seperti remaja yang sedang berakting. Irama monoton, bahkan tidak tampak
dalam berakting. Celakanya ketika di bagian akhir aktor berlari menembus
dinding. Padahal dinding realis sugestif secara ruang sudah dibangun. Begitu
juga dalam menghadrikan mime tokoh Mas Beni yang terasa belum konsisten.
UKM Teater GABI ’91, Univ. Sriwijaya, Palembang; Kenanga(n)
Musik yang membuka
pertunjukan menyiratkan bahwa budaya pop tampil dalam karya ini. Setelah lampu
menyala, memang benar, tata panggung bahkan mewujudkan dinding seperti ruang
dalam realitas. Adanya ruang kerja dan ruang klinik yang hal ini dipisah oleh
tata cahaya. Meskipun imaji ruang ini
pada akhirnya dihancurkan sendiri oleh Sang aktor. Yang mengherankan, adanya
boks di depan tentu saja membuat ruang menjadi janggal. Begitu juga dengan
mesin tik, padahal HP sudah android? Makin janggal.
Tata rias yang
dihadirkan baru sekedar cantik, belum masuk pada penggambaran watak tokoh.
Kostum pada bagian awal menunjukkan kostum rumahan. Kemudian, penggunaan kostum
dengan warna hitam, tentu saja kurang pas bila dibenturkan dengan warna
dinding.
Sutradara kurang
detail dalam mengemas. Sepertinya analisis tokoh, ruang dan waktu perlu
dipikirkan kembali. Begitu juga dengan pengemasan tangga dramatik dan irama
tragik yang dialami tokoh perlu diolah. Secara keseluruhan, modal aktor sangat
minim. Tentu saja latihan yang bisa saya sarankan.
UKMF Seni Fasotik, Univ. Mulawarman, Samarinda; Oportunis
Gimik aktor yang
mengumandangkan adzan kemudian dIiringi musik pop yang menjadi themsong memang menarik, hanya saja tata
suaranya tidak berimbang. Bagian manakah yang ingin ditekankan, suara adzan
atau musik? Sebab keduanya saling bertabrakan dan membuat tidak fokus. Hal ini
perlu penataan agar terjalin harmoni yang selaras.
Tata panggung yang
dihadirkan sudah memberi identifikasi ruang masjid dan ruang rumah, hanya saja
pada bagian setting rumah dindingnya terlalu baru, lukisan-lukisan terlalu
baru. Jelas fokus sesuatu yang baru ini tidak seimbang dengan atribut yang ada
di dalam ruang tersebut.
Tata kostum memang
sudah mewakili saat di masjid. Namun pada saat di rumah, belum mewakili
karakter, yang tampak adalah baru baju keseharian. Seharusnya realitas panggung
dan realitas kehidupan sudah semestinya dibedakan, itulah gunanya penataan.
Sedangkan tata rias
tidak menawarkan apa-apa. Riasan hanya sekedar menghindar dari biasnya cahaya
lampu. Tata cahaya terlalu cerewet. Sutradara tampak lebih fokus dalam
menggarap aktor sementara garapan yang lain kurang detil, sehingga garapan ini
terlalu banyak cita-cita.
Keharmonisan budaya,
belum tergarap maksimal. Aktor diawal sudah santai, tapi semakin berlanjutnya adegan dengan banyaknya
tokoh yang dihadirkan, aktor seperti kehilangan dirinya, bahkan tokoh-tokoh
yang dihadirkan menjadi bias, begitu juga dengan rasa, kosong. Yang tampak
aktor hanya sibuk berubah-rubah tokoh, tanpa memperhitungkan rasa dari
masing-masing tokoh. Terlalu banyak ketegangan juga dalam berakting, yang
membuat fatal ketika rambut yang dipotong dalam penggambaran adegan kemudian dipungut
oleh aktor. Sebagai tambahan yang menjadi pertanyaan, apakah sudah membaca
seluruh bukuh Marxis, apakah yang membedakan ajaran komunis dan sosialis. Dari
pentas ini ideologi itu menjadi samar.
UKM Teater Tiyang Alit Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya; Prita Istri Kita
Penghadiran kata
Jancuk di bagian awal tampak aneh dan terasa terlalu berlebihan, sebab tidak
mempunyai motivasi yang jelas. Tata rias belum memberikan tawaran karakter,
busana hanya ditandai kerudung sebagai identitas, belum memberi tawaran
apa-apa. Penataan cahaya baru sekedar menerangi, belum memberi suasana pada
pertunjukan. Tata panggung minimalis yang dihadirkan belum sadar perspektif dalam
penempatan segala properti.
Keharmonisan budaya
belum tergarap. Sutradara belum selesai dalam menafsir naskah. Banyak detail
yang belum diperhatikan dalam penggarapan, baik itu bloking aktor maupun dalam
pengarahan aktor. Aktor belum mewujudkan karakter tokoh, irama monolog monoton,
emosi kosong, bahkan ketika menyampaikan kata-kata selalu menghadap penonton, perasaan
tokoh belum bisa dinikmati. Karya ini masih banyak kekurangan dan butuh
pengolahan lagi.
SPaSI IMS KMFIB Univ. Hasanuddin, Makassar; Robohnya Surau Kami
Dari awal pertunjukan
sudah mencoba mengajak penonton untuk fokus. Misalnya ucapan “Selamat Menyaksikan”
yang tidak tenang, sinopsis yang dipuisikan dan ketika lampu menyinari
panggung, tampak kubah besar yang jelas menenggelamkan aktor. Jelas tata
panggung belum seimbang. Tiba-tiba aktor mengucap “Allahu Akbar”, kemudian
menangis sehingga artikulasi tidak jelas, sebab aktor terlalu larut dengan
tangisnya. Dialog aktor bisa dinikmati ketika berbicara biasa, tapi ketika
diaktingkan malah banyak yang lepas.
Suara musik yang terlalu
cerewet. Aktor terjebak terlalu banyak memainkan karakter. Fokus hilang, bahkan
irama dan emosi seringkali lepas. Sutradara belum begitu detail dalam
pengemasan. Akting tertawa terlalu dibuat-buat, menghadirkan saat di neraka
juga terasa aneh. Aktor masih terlalu lemah dalam menyugesti penonton.
Tata rias dan
kostum belum memberi penawaran yang berarti, masih terlalu biasa. Sebab tidak
memberikan penawaran untuk mewujudkan kedalaman karakter tokoh. Tata cahaya
banyak yang tiba-tiba. Keharmonisan budaya belum tertata.
UKM Teater Hijrah, Univ. Hamka Jakarta; Perempuan di Titik Nol
Jika ada teknis
yang mencoba membunuh aktor, maka kelompok ini masuk dalam kategori itu. Entah
kenapa tata cahaya terlalu cerewet dan selalu terlambat menyinari aktor. Bahkan
penataan lampu banyak yang tidak tepat dalam menyinari. Di satu sisi saya juga
menyayangkan aktor yang tidak sadar cahaya.
Tata panggung yang
flet, kotak-kotak persegi panjang terpampang membagi titik segi tiga, dengan
ketinggian yang sama. Belum lagi penggunaan LCD yang tidak mampu memberikan
gambaran apa-apa sebab gambar banyak yang tidak jelas. Untuk poin videonya jauh
lebih bagus dari pada pementasannya, terutama visual. Untungnya penataan musik
membantu dalam sentuhan keharmonisan budaya, itupun sedikit, saat Si aktor
masuk adegan menjadi pelacur.
Tata busana sudah
simbolis dan menjadi poin penting karena perangkat busana digunakan dalam berakting.
Sedang tata rias yang belum detail menciptakan karakter tokoh. Sutradara belum
detail dalam mengemas teknis. Seharusya tidak usah kebanyakan blackout, berganti-ganti
lampu jika kenyataannya saat lomba cahaya menjadi mengganggu. Aktor perlu
memiliki kesadaran, terutama dalam menyikapi cahaya. Berbicara cepat juga
berbahaya, sebab banyak rasa yang lepas.
Sanggar Bahana Antasari, UIN Antasari, Banjarmasin; Bukan Teka-Teki
Gimik seharusnya
dipilih, apakah tiba-tiba gantung diri atau berbicara pada penonton? Sebab pada
adegan akhir sebenarnya sudah sangat manis ditutup dengan adegan bunuh diri.
Secara tidak langsung alur yang diambil berjalan mundur dan menceritakan latar
belakang kenapa Si tokoh memilih bunuh diri.
Tata panggung yang
dihadirkan sudah bagus sebab petunjuk dalam kuratorial tampaknya direnungkan.
Bahkan ruang kamar mandi menjadi spektakel tersendiri. Tata musik terlalu
cerewet, tapi tampak ada usaha untuk menciptakan suasana. Tata cahaya
seharusnya memilih adegan blackout sebagai spektakel, tetapi jangan terlalu
sering hingga terlihat monoton. Tata rias dan kostum masih terlalu biasa, sebab
dari rias belum menawaran air muka tokoh, kostumpun masih biasa, belum total
dalam memilih warna. Keharmonisan budaya juga tampak belum diolah dengan baik.
Sutradara sudah
berupaya menghadirkan pengadeganan dengan baik, irama permainan juga meimiliki
tangga dramatik, hanya saja perasaan aktor yang belum tampak. Aktor kadang
terlalu rileks namun pada beberapa momen justru terasa kaku. Padahal akting
saat tidur tubuh seharusnya tidak kaku. Tapi ketegangan dari tubuh aktor masih terlihat.
Vokal aktor melemah pada beberapa momen. Bagian yang mengganjal bagi penonton
adalah rasa yang belum diolah dengan baik. Padahal ada respon terhadap foto
orang tua saat akan bunuh diri. Sayangnya perasaan ini belum digarap dengan
kuat.
Lentera BEMJ Bahasa Inggris FBS Univ. Negeri Makassar; Dapur
Musik kerusuhan
yang dipajang di awal pertunjukan sayangnya hanya sebagai tempelan. Sebab musik
itu hanya muncul pada awal itu saja, selebihnya banyak momen keheningan dalam
pertunjukan ini. Tata panggung belum begitu kuat memberikan identifikasi ruang
sebagai dapur, sebab meja yang digunakan adalah meja yang bisa ditandai bukan
mejan dapur, malah meja yang bisa ditemukan di kantor-kantor. Tampak ruang
dapur belum total.
Tata cahayanya
monoton, belum ada penawaran dalam permainan suasana, baru sebatas menyinari.
Tata rias dan kostum juga demikian, belum memberikan identitas penokohan.
Untungnya dalam dialek
aktor masih menempel ciri khas Sulawesi Selatan atau Makasar, sehingga irama
dalam pengucapan si aktor tampak lebih leluasa. Meskipun pada beberapa momen
banyak artikulasi yang tidak jelas. Dari kalimat-kalimat aktor ini keharmonisan
budaya bisa dirasakan.
Sutradara belum detail
mengolah ruang, waktu dan aktor. Sebab aktor masih terlalu lemah dalam
berakting, yang menjadi nilai tawar adalah ketulusan aktor yang berakting tanpa
tendisi atau pamer skill. Ia tulus dan ikhlas lahir batin begitu saja di atas panggung,
hanya saja perangkat keaktorannya yang belum terolah dengan baik.
Teater Sisi, UNMUH Sumatera Utara, Medan; Robohnya Surau Kami
Masih saja adegan
di awal yang sebenarnya menjadi tempelan dipertahankan. Hal ini sudah dibahas
dalam kurasi. Kemudian aktor keluar melakukan silent voice yang aktif tubuh,
yang kemudian pada beberapa momen terlihat kehilangan motivasi. Tata rias dan
busana sebenarnya sudah menarik, hanya saja sang aktor belum kuat menghidupkannya,
sehingga jarak aktor dan busananya belum menyatu, begitu juga dengan rias. Tata
cahaya terkadang terlambat menyinari aktor, tata suara masih belum sesuai
dengan pengadeganan, rasanya kurang menciptakan suasana yang diinginkan.
Pada bagian aktor yang
memerankan Haji Saleh, kostum menjadi flet
karena menyesuaikan warna setting. Tata cahaya pada adegan ini juga belum
membantu. Keharmonisan budaya belum bisa dirasakan. Sutradara masih fokus pada bagian
visual, sedang esensi belum diwujudkan dalam keutuhan pementasan, apalagi detail.
Akting aktor banyak
yang terlalu berlebihan. Sebab pada beberapa momen terputus-putus, tidak
konsisten. Menjelang akhir pentas energi aktor terasa mulai menurun, sebab di
awal terlalu diforsir. Power yang bagus bila tidak ditata dengan baik justru
tidak akan berguna. Irama monoton, artikulasi diakhir kalimat sering hilang.
Dan rasa dalam permainan tokoh terasa hampa.
Teater Orok Nonceng, Univ. Udayana, Denpasar, Bali; Babi
Dari evaluasi kurasi sampai
pementasan tampak yang belum mengalami perubahan yang signifikan adalah pada
wilayah keaktoran. Entah mengapa ketika berkata-kata Sang aktor tidak bisa
memainkan irama saat berdialog dengan tokoh profesor yang diciptakan. Iramanya
terasa monoton. Padahal vokal sudah mapan, tapi kenapa tidak dimainkan? Sutradara
belum terlihat mengolahnya, baik dalam tafsir naskah, maupun mewujudkannya
dalam adegan. Sebab tangga dramatik pementasan ini begitu datar. Tata panggung
minimalis tapi tidak terolah dengan baik. Tata cahaya juga tidak membantu dalam
perwujudan suasana. Begitu juga tata rias dan kostum tampak belum penuh
pertimbangan, yang terasa baru asal pakai. Tata suara bahkan hanya menjadi
tempelan. Keharmonisan budaya juga belum bisa dirasakan sebagaimana mestinya.
Peristiwa belum bisa dirasakan pada pementasan ini.
Teater Pelangi Malang Indonesia, Univ. Negeri Malang; Cita-Cita
Pada saat melakukan
kurasi, pementasan ini menjadi salah satu yang diharapkan dalam keharmonisan
budaya. Sebab rebana menjadi poin yang menarik sebagai kemasan pertunjukan.
Hanya saja pada saat perlombaan dimulai tampak perubahan sangat drastis yang dilakukan
oleh sutradara. Tampak begitu kuat poin yang diangkat adalah efek dari diusir
orang tua, Si anak menjadi salah satu pengguna, dan pengedar narkoba. Sayang penataan
panggung kurang maksimal. Tata rias dan busana juga belum detail. Tata cahaya
pada beberapa momen menjadi tempelan yang tiba-tiba, seperti adanya warna pink?
Akting aktor juga
berlebihan bahkan seperti demonstrasi kepalsuan yang dibuat-buat, seperti
tertawa, marah dan hampir akting aktor tidak bisa menyentuh perasaan. Terlalu
banyak ketegangan urat-urat yang dipamerkan, tampak rileks dalam akting samar.
Sebenarnya sederhana mengapa saya mengatakan hal ini, sebab yang saya lihat
aktor tidak nyaman dengan apa yang ia lakukan. Dominasi sutradara yang terlalu
besar bisa dirasakan dalam pementasan ini.
Tata musik yang
terkadang terlalu horor juga memberikan tanda tanya, mengapa pementasan ini
menjadi horor? Fatalnya lagi ketika kiriman paket datang, secara otomatis pementasan
ini menghadirkan tokoh kedua selain aktor utama. Meskipun tidak tampak, benda
yang diterima aktor berwujud jas almamater. Hal ini memutus imaji dari esensi
monolog itu sendiri.
Diksi Teater, Univ. Pakuan, Bogor; Demokrasi
Patahan adegan yang
dilakukan aktor setelah akting pura-pura berak tampak sebagai sindiran dari
demokrasi itu sendiri, hanya saja ini menjadi jebakan. Sebab Sang aktor yang
keluar masuk, tokohnya menjadi samar. Keharmonisan budaya juga belum bisa
dirasakan maksimal dalam pementasan ini. Ada dialek daerah yang dimainkan aktor
dalam pergantian tokoh, tapi sayang hanya menjadi tempelan. Sebab tidak diiringi dengan
perasaan.
Tata cahaya masih
sebatas menyinari, belum tampak eksplorasi dalam penciptaan suasana. Tata
panggung minimalis yang multifungsi sebenarnya menarik, hanya saja keberadaan bendera
mengapa hanya tempelan, bahkan hanya menjadi background. Sayang spektakel di
akhir yang menjadi tata panggung tidak terwujud secara maksimal. Tata rias dan
kostum belum total jika ingin menghadirkan sosok anak Punk. Tata musik juga belum optimal membantu aktor dalam penciptaan
dramatik. Sutradara bahkan belum menentukan titik permainan dan titik dramatik
dalam penggarapan sebab aktor selalu kembali ketengah saat melontarkan cerita.
Aktor terlalu rileks tidak bagus, terlalu kaku juga tidak bagus, justru yang
menjadi tantangan adalah kewajaran, sehingga yang menontonpun nyaman. Yang
paling berbahaya ialah tidak adanya rasa dalam pementasan ini, semua hanya
terlontar begitu saja. hanya sebatas hafalan.
GSSTF, Univ. Padjadjaran, Sumedang; Dua Cinta
Dari segi visual
yang tampak terutama ialah tata panggung, sebenarnya sudah bagus, ada permainan
warna dan kombinasinya. Hanya saja identitas ruang tersebut masih tanda tanya.
Sebab yang terasa masih pentas di studio foto. Padahal sudah dibantu permainan
siklorama dengan menghadirkan background besar berlatar senja. Tapi tempat
apakah ini, kuburan, taman, atau apa? Itu yang belum tampak. Tata cahaya juga
statis, sebab tidak ada gradasi yang membantu suasana yang tampak kuat, padahal
menghadirkan kehidupan di atas panggung.
Tata rias dan
kostum terasa sudah bagus, tapi belum memenuhi karakter tokoh, hanya sebatas
cantik saja tentu belum cukup sebagai penggambaran air muka tokoh. Sebab jalan
pikiran makeuper dan jalan pikiran tokoh tentu saja berbeda. Padahal dari
dialog tokoh sudah jelas bahwa secara tidak langsung Si tokoh adalah orang yang
berpikir dan sedang menyembunyikan konflik batin. Kemirisan wajah yang dipoles
makeup cantik ini yang belum tampak.
Tata suara sudah
bagus, rapi dan sesuai dengan emosi adegan, hanya saja kurang sentuhan
keharmonisan budaya. Seandainya ada musik yang memberi identifikasi kedaerahan
maka lengkaplah adegan setiap disentuh tata suara pementasan ini. Sutradara
kurang menyentuh rasa dalam kemasan pengadeganan. Secara tidak langsung detail
butuh sentuhan. Perangkat keaktoran yang dimiliki aktor sudah bagus. Tapi pada beberapa
permainan masih monoton, terutama soal wicara. Padahal ada peristiwa dialog
dengan tokoh bayangan. Permainan menjadi terkunci, sebaba tokoh bayangan
diciptakan hanya duduk. Emosi permainan tidak nampak. Justru yang tampak adalah
terkesan pamer teknik karena mendapat sambutan tawa dari penonton. Akting
akhirnya tipuan teknik, sebab perasaan tokoh tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Yang tampak adalah ego aktor yang ingin tampak hebat dalam akting
dihadapan penonton. Narsis dalam permainan aktor. Berbeda dengan kemunculan
aktor di adegan akhir, memukau dan bagus. Tapi sayang, transisi menuju perubahan
karakter di bagian akhir tidak terlihat pada adegan sebelumnya. Permainan ini
butuh pengolahan rasa yang lebih kuat lagi.
Aktor adalah kata kunci dalam pementasan monolog.
Tantangannya sangat besar sebab dengan sendirian harus menghidupkan banyak hal.
Itulah sebabnya mereka yang berani bermain monolog adalah manusia-manusia
spesial. Apalagi monolog yang dipentaskan bisa memberikan pembelajaran serta
tuntunan yang baik pada penontonnya. Tuntunan tersebut bisa tersimpan di dalam
diri penonton berkat adanya pukauan akting para aktor yang membekas, seperti
saat kita membicarakan film yang kita sukai, teater yang kita sukai dan para
aktor yang kita sukai. Dalam memerankan tokoh, seharusnya yang menjadi target
ialah orang-orang membicarakan pentas dan tokoh yang kita mainkan. Tapi dalam
pementasan yang saya tonton kali ini, memang tampaknya belum terlihat.
Selanjutnya yang menjadi
penting sebagai catatan penting atas sajian peserta STIGMA 5 ini adalah
kurangnnya peserta yang memasukkan unsur budaya lokalnya dalam karya mereka.
Sehingga tidak tampak ciri kedaerahan yang diangkat dalam pentas. Hal ini
seharunya menjadi pertimbangan bagi seluruh tim, bahwa budaya lokal tersebut
tidak hanya pada dialek. Oleh sebab itu ciri budaya lokal hendaklah tergarap
dengan baik dan indentifikasi kedaerahan bisa terbaca. Ada banyak media
pembantu dalam pementasan teater yang bisa memasukkan budaya lokalitas.
Bahkan yang lebih ngeri lagi, beberapa peserta malah
sibuk untuk ngontemporer, dan
bermain-main dengan simbol yang justru malah menjebak pada kebingungan itu
sendiri. Sebab yang terlihat akhirnya adalah demonstrasi visual, bukan lagi
demonstrasi akting yang melibatkan psikologi, fisiologi dan sosiologi tokoh.
Karena hampir semua naskah monolog yang dipentaskan, sesungguhnya menampilkan
tiga kebutuhan teater tersebut seperti Psikologi, Fisiologi dan Sosiologi untuk
lebih mudah kita menyebutnya 3D (tiga dimensi tokoh).
Catatan yang telah disampaikan di atas, segalanya sangat
bergantung pada tim sebagai kerja kolektif, dan kerja sutradara yang merajut
adegan maupun mengemasnya dalam bentuk yang diinginkan, secara tidak langsung,
panca indra sang sutradara diharapkan bisa mewakili penonton untuk mengukur
aktor yang akan dipertontonkan di hadapan khalayak. Karena sutradara yang akan
menentukan dan menafsirkan dan menata segala yang ada di atas panggung dengan
tim kerjanya. Oleh sebab itu evaluasi ini diharapkan bisa menjadi perhatian tim
secara bersama terutama sutradara yang menjadi jendral dalam mengambil segala
kebijakan dan keputusan. Harmonisasi budaya lokalitas juga sebagai pengingat
kepada kita semua, jangan sampai, “semut diseberang pulau tampak, tapi gajah di
pelupuk mata tak tampak”. Saya harap jangan berhenti untuk bereksplorasi kepada
seluruh tim pementasan monolog stigma lima Malang.
Simpulan
Berdasarkan dari pemaparan singkat yang telah disampaikan
di atas maka bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep STIGMA 5 kali ini adalah
bagaimana monolog bisa menjadi tuntunan buat penonton tanpa menghilangkan
lokalitas yang ada pada wilayah para penyaji. Para penyaji juga perlu menggarap
kembali segala kebutuhan teknisnya, bahkan menyiasati segala kendala-kendala
yang ada.
Tema yang dibuat panitia kali ini secara tidak langsung
mengembalikan seni kepada masyarakat, sebab di dalam kesenian ada yang disebut
seni untuk seni dan seni untuk rakyat. Seni untuk seni adalah senjata para
kapitalis untuk menjauhakan seniman dengan rakyatnya, sementara seni untuk
rakyat sudah jelas yang memuat tiga dharma yaitu, seni itu adalah senjata untuk
memperhalus budi pekerti karena ia memuat tatanan, tuntunan dan tontonan. Saya
harap semua peserta yang sudah berlomba tetap berlapang dada baik yang kalah
maupun yang menang, karena pada akhirnya proseslah yang menentukan. Yang
terpenting sebagai insan seni ialah kembali memikirkan dramaturgi sandiwaranya
Indonesia tersebut dengan konsep Tri Dharma Teater Nusantara yaitu Tatanan,
Tuntunan dan Tontonan. Juga mengemas 5W 1H yaitu; Wicara, Wirama, Wiraga,
Wirupa, Wirasa dan Harmony. Semoga jayalah selalu teater Indonesia, salam
budaya.
Sumber Bacaan
Alterman, Glenn, 2005. Creating your own monologue, Published by Allworth Press, 10 East
23rd Street, New York, NY 10010.
Abdullah, T Imron, 2000. (Editor Nur Sahid),
Interkulturalisme dalam Teater, Yayasan Untuk Indonesa; Yogyakarta.
Roznowzki, Rob. 2013. Inner
Monologue In Acting, By Palgrave Macmillan® In The United States— A
Division Of St. Martin’s Press LLC, 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010.
Riantiarno, Nano, Bakdi, Soemanto. Sphinx Triple X, Antologi Monolog Anti
Budaya Korupsi, Jomboran, Sidoarum.
Shengold, Nina. 1987. The
Actor's Book Of Contemporary Stage Monologues, A Smith And Krausinc Book. Penguin Books,
40 West 23RD Street. New York, New York 10010. U.S.A.
Roci Marciano, Juri STIGMA 5. Aktor, Sutradara, Pelatih, dan Penulis, MC, Pekerja
Seni. Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni pertunjukan ISI Jogjakarata.
Dosen STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya.
0 comments