Lensa Teater - Setelah hampir sekian lama belum kita temukan pertunjukan
teater di Malang yang mengangkat naskah klasik, Teater Hampa Indonesia menyajikan
pentas produksi mereka yang mengangkat naskah Oidipus Sang Raja. Pertunjukan digelar
selama dua malam berturut-turut pada Selasa s/d Rabu (04-05/12/2018) di gedung Sasana
Budaya UM.
Kabar tersebut menjadi semacam angin segar bagi para penikmat dan pelaku
seni teater di Malang. Setidaknya pertunjukan tersebut menggugah pro dan kontra
di kalangan pelaku teater. Mengingat naskah Oidipus Sang Raja termasuk dalam
kategori karya besar drama tragedi klasik yang pernah ada.
Naskah Oidipus Sang Raja pertama kali dipentaskan pada 429 SM. Ditulis oleh
Sophokles, penulis Yunani kuno yang
telah menulis sebanyak 123 drama. Naskah tersebut kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa indonesia oleh WS. Rendra dan diterbitkan dalam bentuk buku dengan
judul Oidipus Sang Raja. Dalam review buku tersebut disebutkan, hanya 7
dramanya yang selamat dengan utuh. Sophokles adalah penulis kisah tragedi terbesar
kedua dari 3 orang dalam kategori tersebut di Yunani Kuno, dua penulis lainnya
adalah Aeskhilus dan Euripides.
Maka tak mengherankan bila kemudian selalu ada kecenderugan untuk menimbang
siapa dan dengan kapasitas yang bagaimana sehingga berani menjatuhkan pilihan
pada naskah yang telah dikenal sebagai karya besar semacam itu. Sikap semacam
itu juga harus dihadapi oleh sang sutradara, Khawarizmi Aslam Riadi. Pilihannya
untuk mengangkat naskah tersebut sebagai media edukasi dalam proses berteater
juga menghadapi sikap demikian. Namun ia bersikukuh pada prinsipnya, Show must
go on, dengan segala pro dan kontranya.
Pertunjukan yang digelar pada selasa malam (04/12/2018) terkendala hujan
yang turun sejak sore hari dengan itensitas yang deras. Pertunjukan sempat ditunda
hingga kurang lebih satu jam. Pada malam pertama pertunjukan tersebut hadir
sekitar 130-an penonton. Sepanjang pertunjukan berlangsung hujan turun disertai
gelegar petir. Pada saat-saat tertentu, suara petir itu menambah efek dramatis
pada adegan yang berlangung. Di lain kesempatan gemuruh petir malam itu justru
menutup vokal para pemain. Usai pertunjukan pun tak banyak diskusi yang
terjalin dalam forum sarasehan.
Pada malam kedua pentas tersebut jumlah penonton yang hadir lebih banyak. Berkisar
antara 300-an penonton yang menempati tempat duduk yang disedikan. Ada beberapa
perubahan yang diakukan dalam pentas kedua. Terutama dalam segi tata cahaya dan
dan keaktoran.
Ada sebuah pertanyaan yang sempat menyita perhatian penonton dalam sesi
sarasehan malam kedua. Rifky Arnold, alumni Teater SISI UNMUH Medan yang sedang
merantau ke Malang, memberikan tanggapan terhdap pilihan sutradara yang
menghadirkan lokalitas daerah dalam pertunjukan tersebut. Tiga dialek daerah
khas indonesia, tokoh Oidipus dengan dialek Batak, Melayu pada tokoh Orang
Qarinta, dan Madura pada tokoh Gembala. ”Di Thebes, ada dialek Batak?”
Bagi sang sutradara, membaca Oidipus bagi generasi maupun kehidupan saat
ini terasa seolah menikmati sebuah mimpi, alam imajinasi. Segala peristiwa, mitologi,
dan kehidupan yang dikisahkan dalam naskah tersebut menjadi sesuatu yang brgitu
asing dan hampir-hampir tak terjangkau. Maka pendekatan pemahaman yang dilakukan
adalah pendektan mimpi, alam imajinasi, yang di dalamnya bisa terjadi banyak
hal yang bahkan tak masuk akal dan saling tumpang tindih.
Kehadiran dialek daerah tersebut juga mendapat perhatian dua penonton
lainnya. Arga Nur Isnaini, mahasiswi jurusan Sastra Inggris UM angkatan 2016,
yang hadir pada malam kedua memberikan apresiasinya terhadap pertunjukan yang
telah ditonton. “Menurutku sih bisa memanfaatkan stage dengan baik. Pikirku kan
kalau jaman-jaman Oidipus itu kan settingnya yang susah. Tapi ternyata di luar
ekspektasi. Tapi bagus jadinya.” Terang Arga. “Trus yang mbak-mbak itu logatnya
logat Malaysia ya? Trus mas-masnya itu logatnya kayak Madura. Oke, di kota Thebes
tapi rasa Madura,” lanjutnya.
Apresiasi senada juga disampaikan oleh Irma Patriana, salah satu anggota Teater
Maestro, “Yang paling menarik kemarin logat, Mas. Dari hal yang sangat sastra gitu
terus gimana caranya penonton bisa tertarik, akhirnya bisa masuk ke dalam
cerita, akhirnya akhirnya dibawakan dengan kearifan lokal indonesia. Itu yang
menarik.” Bagi mahasiswi jurusan Sastra Inggris UM angkatan 2015 ini, salah
satu keberhasilan sutradara adalah dengan menghadirkan kearifan lokal yang bisa
mendekatkan penonton dengan kisah yang ada dalam naskah. Sehingga penonton
tidak merasa asing dengan peristiwa yang dihadirkan dalam pertunjukan tersebut.
Liputan oleh : Hasan Bendrat
1 comments
Keren
ReplyDelete