DEMI BERITA DOSA BESAR YANG TERSEBAR


Membaca Dua Pementasan dalam Satu Panggung Yosa Batu

Oleh: Fathul H. Panatapraja*

Lensa Teater - Malam jumat wage, tanggal 14 malam 15 maret 2019. Di depan gedung Sasana Budaya terlihat para pemuda menyemut. Mereka sedang menunggu sebuah kedatangan sesuatu. Yakni terbukanya pintu gedung Sasana Budaya.
Menjelang pukul delapan, pintu gedung dibuka. Saat masuk ke dalam, terlihat suasana hening. Sekeliling tembok gedung dilumuri warna hitam oleh geber yang legam. Suasana panggung masih sunyi, hanya tampak sorot lampu berwarna merah yang menolak tua. Agak menjorok di tengah ada satu nampan berisi gundukan kembang setaman, kemenyan, dan perangkat sesaji. Entah untuk siapa.
Psikologi penonton ditahan sebentar. Mungkin supaya merasakan upaya mistik yang ingin dihadirkan. Lima menit kemudian terdengar suara pembukaan acara dengan menyebut nama-nama para aktor.
Pentas pun digelar.
Para pemain memasuki panggung, satu tokoh terlihat dominan dengan membawa cemeti, enam orang di belakangnya terlihat sebagai bawahan, pekerja, orang-orang yang tak merdeka. Tiba-tiba dari mulut orang-orang yang tak merdeka itu terdengar gemuruh suara shalawat yang serempak:
"Thala'al badru alaina min syaril yatil wada'i"
Saya takut salah dengar. Saya dengarkan baik-baik.Saya senantiasa mendengarkan lagi dengan saksama. Ternyata benar, mereka salah melafalkan shalawat. Atau mereka melafalkan shalawat yang "berbeda"? Shalawat yang salah atau mungkin "berbeda" itu dilakukan berulang kali.
Saya bingung, apa yang hendak disampaikan sebenarnya. Apakah sengaja memlesetkan teks shalawat, atau para aktor tidak hafal, atau itu memang merupakan ide dari sutradara.
Adapun teks yang benar adalah "Thala'al badru 'alaina min tsaniyyatil wada'i".
Perlu diketahui shalawat Tala 'al-Badru' Alaina ini adalah shalawat sakral yang mengandung historisitas panjang. Shalawat ini merupakan nasyid yang disenandungkan oleh kaum Anshar untuk nabi Muhammad saat menyambut kedatangan beliau di Yatsrib (sekarang Madinah) pada tahun 622 M. Shalawat ini telah berusia lebih dari 1400 tahun dan disebut-sebut sebagai salah satu peninggalan kebudayaan Islam yang tertua. Meskipun shalawat boleh dipakai dalam situasi, kondisi dan suasana apa pun. Namun jika dirubah dengan teks yang menyimpang jauh maka akan lahir makna baru. Sekarang saya bertanya apa makna dari lafadz min syaril yatil?
Setelah berkali-kali melafalkan shalawat yang "berbeda" tersebut. Enam orang pekerja, yang terdiri dari empat laki-laki dan dua perempuan saling menumpahkan perasaan mereka mengenai kerja paksa dan tanam paksa yang menyiksa. Sesekali mereka memekikkan kata merdeka, namun seperti tertahan karena tekanan sang tuan, Sakera.
Sangat disayangkan dengan properti dan panggung yang sangat mendukung tidak diimbangi oleh pencapaian para aktor, terutama para pekerja paksa. Terlebih dua perempuan pekerja paksa hanya terlihat semacam pelengkap saja. Pengaturan duduk berada di belakang, namun tidak menghidupkan ruang mereka sendiri. Sehingga kesan yang muncul, mereka berdua seperti bayang-bayang para pekerja laki-laki.
Dengan memainkan cemetinya, Sakera berteriak-teriak meminta disediakan arak.
Para pekerja paksa memukul-mukul keranjang.
Sakera dengan bahasa maduranya yang tak jelas seakan nggremeng karepe dewe itu terus meminta disediakan arak.
Sakera beberapa kali memanggil dan berdialog dengan Samijo, salah seorang pekerja paksa. Di situlah Sakera memberikan pandangannya tentang Kultur Stelsel dan posisi dia yang terpaksa menjadi mandor untuk mengawasi para pekerja paksa.
Setelah Sakera memberikan pandangannya tentang Kultur Stelsel, para pekerja paksa berteriak-teriak menuntut kemerdekaan.
***

"Ra rera ra rera.. Ra rera ra reraa..
Ra rera ra rera... Ra rera rareraa.."
Mereka berdendang sambil minum arak bersama-sama.
Sambil minum arak mereka ndleming sambil ngerap dan menyanyikan lagu "aku loro ati".
"Marlena, Marlena..." Sakera berteriak-teriak, sambil mengenang istrinya yang telah berzina dengan selingkuhannya. Umpatan liar ia tumpahkan kepada Brodin, pasangan selingkuh Marlena.
Sakera mengakhiri umpatannya dengan gelegar cemetinya yang dimainkannya berkali-kali.
"Thala'al badru alaina min syaril yatil wada'i"
Shalawat "berbeda" itu dilafalkan lagi oleh para pekerja, persis seperti ketika pembukaan pentas. Diulang sekitar tiga kali. Kemudian mereka secara bersama-sama mengakhiri pentas Kultur Stelsel dengan meninggalkan panggung.
***

Hening. Seorang perempuan berpakaian serba putih masuk. Menyeret pelan sebuah kursi putih. Sunyi. Kesan mencekam segera hinggap. Sampailah ia tepat di tengah panggung. Membelakangi enam keranjang yang ditumpuk secara artistik. Lampu merah muda menyinari tubuh perempuan putih. Seperti bunga turi yang segar. Disilaukan sapuan warna matahari senja.
Tiba-tiba ia berbalik badan, menghadap penonton, dan menyanyikan lagu "Nego Cincai" nya Buka Lapak. Penonton saling berbisik, kasak kusuk, cekikikan. Tapi saya malah merasa ambyar. Korat-karit melihat seorang aktor berusia 19 tahun itu mengisi peran nenek berbaju merah yang sering mewarnai layar teve kita, sembari beriklan Buka Lapak. Entah, mungkin sutradara menghendaki sebuah kesan berbeda untuk mengaduk perasaan para penonton.
Suara kicau burung bersahutan tipis-tipis. Perempuan itu meneriakkan nama Sumilah. Kemudian secara liris ia menarasikan tragedi Sumilah. Dengan musik pengiring yang mengalun mistis.
Perlahan-lahan minyak wangi dihembuskan secara semerbak di seluruh ruangan. Membuat suasana semakin "bergidik".
"Serahkan diri ke batang rebah. Maka berhentilah Sumilah..."
Musik pun berhenti. Namun ia tetap berdendang dengan suaranya yang melengking.
Suara seruling muncul. Perempuan itu mengingatkan nama Samijo serta Sumilah yang malang. Oleh kabar dosa besar yang tersebar di mulut desa.
Semakin lama terasa ada keberjarakan antara si perempuan aktor dengan penonton. Karena ia seperti membaca puisi. Naskah Balada Sumilah seperti tidak diberikan waktu untuk menyapa penonton dengan bahasa lain yang lebih mendekatkan diri penonton kepada cerita. Aktor terlihat seperti orang merapal mantra yang tak perlu ada keterlibatan pendengar di luar dirinya.
Ia menyelesaikan narasi Samijo-Sumilah, meskipun kurang memperlihatkan ke "Samijo" an nya. Terlalu Sumilah. Sosok Samijo kurang digarap untuk dihadirkan.
Ia berjalan menuju tengah panggung. Membelakangi penonton. Kemudian secara perlahan melepas ikat rambut. Mencoba mengurainya, dengan ditarik ke depan bahu. Tiba-tiba seketika ia membalik badan. Wajah merahnya tertutup oleh gerai rambut hitam yang menjulur sampai ke bawah dada. Para penonton berbisik merinding.
Ia berteriak, "Samijo... Samijo... Samijo..."
Begitulah Balada Sumilah diakhiri.
***
Saya kira para penonton merasakan bahwa pada malam itu kita semua sedang kehilangan sesuatu, yakni Yosa Batu.


Bentara Budaya Solo, 16 Maret 2019
Foto: Novia Anggaraini (Warta UM)







*Menaruh minat pada sastra, seni dan filsafat. Tinggal di Malang. Bisa berkorespondensi di panatapraja@gmail.com, Fathul Panata Praja, fathul_panatapraja

You Might Also Like

1 comments

  1. Yah, bisa jadi senafas dengan pembukaan pd catatan pribadi saya tentang pertunjukan ini: "Mungkin kali ini "penyihir visual" itu lupa merapal mantra." hehehehe

    ReplyDelete