![]() |
Lekboss saat mendirect dalam salah satu Shooting Film Pendek Produksi P4TK (2018) |
Oleh: MOEHAMMAD SINWAN
Lensa Teater - “Jangan belajar berteater, kalau tak mau belajar filsafat!”
Pernyataan itu adalah salah satu hal yang disampaikan ketika seseorang hendak
berteater di Teater IDEōT. Pernyataan tersebut mungkin oleh sebagian orang
dianggap terlalu mengada-ada, atau terlalu merumitkan hal atau ‘kehidupan’.
Namun bagi teater IDEōT itu merupakan hal yang ‘lumrah’, bahkan menjadi suatu
hal yang dapat digunakan untuk menghadapi kehidupan yang makin ‘rumit’ dan
makin diwarnai oleh ‘ketakpastian’ dan ‘ketak-konsistenan’ ini.
Bagi sebagian orang, filsafat dianggap sesuatu yang tidak praktis,
bahkan tak berkaitan (atau tak dibutuhkan) oleh hal-hal yang teknis. Jika
anggapan itu dianggap sebagai pilihan sikap hidupnya, ya itu sah-sah saja.
Namun menganggap hidup ini hanya urusan teknis, dan filsafat dianggap urusan
yang “rumit” dan “merumitkan”, sesungguhnyalah itu persepsi yang sempit dan “cekak”.
Dalam hidup ini tak semuanya berhenti pada hal-hal yang teknis
semata. Antara hal yang teknis dan prinsipil tak mungkin bisa ‘terpisahkan’
dalam keterkaitan. Dalam hal teknis, pasti mengandung prinsip-prinsip yang
melatarbelakanginya, kenapa tekniknya harus begitu. So, sebuah prinsip tentang
‘sesuatu’ akan melahirkan hal teknis mengenai ‘sesuatu’. Atau sebaliknya, suatu
teknis tentang hal tertentu tak akan pernah terlahir tanpa adanya prinsip yang
melatarbelakanginya.
Maka, seseorang yang hanya berkutat pada masalah teknis, dia akan
berputar-putar pada persoalan ‘permukaan’. Tak menyentuh pada esensi, dan
kurang memiliki ‘ruang nuansa’ yang penuh dinamika. Pemikiran sempit, pandangan
yang ‘cekak’ dan sikap yang kurang ‘fleksibel’ akan mewarnai orang-orang
yang dalam hidupnya hanya berhenti pada urusan teknis.
![]() |
Lekboss dalam Workshop 33th Teater IDEoT, Bersama Tony Broer (2017) |
“Sudahlah, hidup itu tidak usah dirumitkan. Hidup ini sendiri sudah
rumit. Kita sederhanakan saja. Jangan terlalu banyak berfilsafat. Yang
praktis-praktis sajalah. Hidup itu urusan teknis, bukan urusan filsafat.”
Jika ada sebagian dari kita memiliki pandangan seperti itu, (sekali
lagi) itu memang boleh saja. Karena setiap manusia memang berhak memilih dalam
koridor apa saja, termasuk mempunyai pandangan, pemikiran dan sikap yang ‘apa
pun’ dan ‘bagaimana pun’. Namun, kalau kita ingin memiliki cakrawala yang luas,
mempunyai jangkauan hidup dengan daya tumbuh yang panjang, serta memiliki
kreativitas dan dinamika hidup yang tidak gampang ‘stagnan’, seyogyanya kita
juga harus mengisi ‘ruang-ruang’ kehidupan diri kita dengan hal-hal yang
prinsipil, esensial, dan juga filosofis.
Kenapa ‘orang Timur’ (termasuk Indonesia) dianggap memiliki
peradaban dan budaya yang ‘agung’, sebab dalam kehidupan orang Timur banyak
dilandasi prinsip-prinsip hidup yang filosofis. Kenapa ada karya-karya yang
dianggap sebagai ‘karya besar’ dan ‘adi luhung’, sebab didalamnya banyak
terkandung hal-hal yang bermakna dan penuh filosofi kehidupan.
Teknik (atau hal teknis) itu ‘wadah’, media, cara, atau (istilah
sekarang) disebut hal yang menyangkut “chasing”, sedangkan filsafat (hal
yang filosofis) itu adalah ‘ruh’-nya, isi, atau esensinya (hakikatnya).
‘Ruh’ tanpa ‘wadah’ tak akan ‘berbentuk’. Dan wadah atau bentuk
tanpa ‘ruh’ maka dia tak ‘hidup’ atau ‘tak berkehidupan’. Dan dalam hal ini,
filsafat (atau hal-hal yang filosofis) adalah sumber energi bagi aspek ‘ruh’
yang akan menjadi ‘sesuatu’ atau seseorang itu akan berkembang, berkekuatan,
dan berkualitas.
■■■
Begitu jugalah dengan urusan kesenian (yang salah satunya adalah
teater). Bagaimana seni itu dibentuk, atau bagaimana bentuk teater itu
dihadirkan, itu memang urusan teknis. Tetapi, bagaimana kekuatan estetis dari
karya seni/teater itu ter-representasikan,
terpancarkan, atau tertangkap oleh penikmatnya, sungguh itu adalah urusan yang
bersangkut-paut pada aspek nilai-nilai yang dikandungnya, dan itu sangat
berkaitan dengan kandungan filosofi kehidupan yang mewarnainya.
Berteater tanpa belajar berfilsafat,
maka seseorang itu akan mengalami ‘kekeringan’ batin, kemiskinan kreatifitas,
dan kesempitan pandangan dan sikap. Berkarya teater tanpa diprasarati oleh
kualitas filosofis, maka karya yang akan lahir pun hanya akan menjadi karya
seni berkapasitas “souvenir”.
Itulah kenapa, pernyataan di atas
menjadi salah satu ‘kredo’ yang ditanamkan dalam setiap person yang belajar di
Teater IDEōT. Dan kredo ini, pada akhirnya menjadi salah satu pemicu bagi
setiap ‘pembelajar’ atau anggota untuk mulai mempelajari hidup, mempelajari
kehidupannya sendiri, mempelajari kenyataan sosial, mempelajari alam semesta,
dan untuk melatih dirinya baik dalam keilmuan berteater maupun keilmuan hidup
secara lebih luas.
Dan spirit hidup yang dimunculkan oleh
kredo tersebut lahirlah prinsip-prinsip hidup berteater secara kolektif maupun
secara individual (personal), antara lain:
Teater
bukanlah tempat untuk mencari kesenangan semata, namun “Teater” adalah tempat
untuk menciptakan kebahagiaan bersama;
Berteater
adalah salah satu cara untuk menjadi berguna.
Berteater
itu “bikin hidup, lebih hidup”.
Lebih
baik “tak berteater” tapi kita tetap bisa menjadi ‘manusia’, dari pada kita
gagal menjadi manusia gara-gara karena kita telah “berteater”.
Syarat
menjadi seorang ‘aktor’ itu adalah JUJUR, TULUS, dan IKHLAS, sebab dengan tiga hal itulah maka kita akan
memperoleh ‘totalitas’ dalam menjalankan peran
kita sebagai seorang aktor.
Hiduplah
‘mengalir’ tapi jangan ‘ngglinding’, sebab mengalir itu selaras dengan hokum
alam, sementara ngglinding itu adalah kondisi yang tak berada dalam
‘keberaturan’ dan ‘keteraturan’ alam.
Itulah sebagian dari
prinsip-prinsip hidup yang terlahir dari sebuah penghayatan filosofis dari
kehidupan yang dijalani dalam proses berteater orang-orang Teater IDEōT. Dan tentunya, secara masing-masing person,
baik yang masih tetap berada dalam ‘pergulatan’ berteaternya, maupun yang sudah
mengalami ‘migrasi’ ke ‘alam’ aktivitas berteaternya, pastilah mereka itu
memiliki perkembangan dan pertumbuhan prinsip filosofis sendiri-sendiri.
Sebuah karya sastra saja, (semisal saja novel), kualitas sebuah
novel bukanlah sebatas seberapa banyak dan seberapa bagus kata-kata itu
dirangkai dalam keindahan bahasa yang bagus, namun kebesaran sebuah karya
sastra sangat ditentukan sedalam apa kekuatan isi yang dikandungnya; setajam
apa filosofi-filosofi kehidupan yang diusungnya, serta sejauh mana karya itu
mampu memberikan nutrisi batin dalam kehidupannya.
Bahkan, dalam hal agama (religi), Tuhan dalam memberikan nasihat,
pengajaran, dan tuntunan, tak melulu dalam bentuk tutorial teknis, namun ada
banyak hal yang berupa prinsip-prinsip perilaku dan kehidupan, dan sebagian
lagi memang langsung berbentuk teknis, baik yang langsung berupa firman-Nya,
maupun yang berupa tuntunan perilaku para nabi yang diutusnya.
Oleh sebab itu, marilah kita, para pelaku teater, untuk tak hanya
berhenti belajar, berbuat, dan berkarya sebatas persoalan teknis. Namun,
marilah kita selalu melengkapi, menyempurnakan dan meningkatkan kualitas
kompetensi kita maupun kualitas hidup kita pada hal-hal yang lebis esensial.
Belajar filsafat, mematangkan prinsip, dan meluaskan wawasan kehidupan adalah
jalan yang meski kita tempuh juga.
Sebab, ‘ruh’ itu tak lekang oleh waktu, bahkan tak pernah
mati, sementara ‘teknis’ itu sangat terikat oleh “saat” dan konteksnya. Kenapa
kita makin hari hanya makin disibukkan oleh hal teknis, dan ‘nihil’ soal hal
yang lebih prinsipil dan esensial. Akibatnya, makin hari, pentas-pentas teater
kita makin “jauh api dari panggang”.
Dan tak jarang, jika sarasehan-sarasehan pun dilakukan, yang
dimaksudkan sebagai ajang apresiasi dan saling belajar demi peningkatan
kualitas karya-karya di masa mendatang, yang terjadi adalah sarasehan yang
makin kering dari pembahasan, pertanyaan-pertanyaan pun makin teknis dan kurang
urgent untuk sebuah pembelajaran bersama.
Pertanyaan paling akhir yang masih perlu kita camkan bersama,
adalah “Apakah kita akan tetap enjoy berkutat pada hal-hal teknis yang
‘membosankan’ seperti selama ini?” dan pentas-pentas kita makin tak mengandung
“gizi” bagi dahaga berseni kita?” Atau “apakah kita sedang akan membuktikan
sebuah sinyalemen yang sudah mulai disinyalir oleh sebagian orang (khalayak)
bahwa perteateran kita sedang benar-benar terancam “darurat teater”?
Gimana?
Gimana?
Gimana?
Jawabnya ada pada perilaku berteater kita!
Tegalgondo, 30 Oktober 2018
Sanggar Teater IDEōT: PERUM IKIP Tegalgondo Asri Blok 2F No.07
Tegalgondo, Malang
Email : ideotteater@gmail.com /
teaterideot@gmail.com Twiter : @teaterideot
Blog : teaterideotmlg.blogspot.com
/ ideotpress.blogspot.com FB :
Ideot Teater
0 comments