SUDAHKAH KAMU DITIRU?

Ken Angrok Sang Legenda, Teater Keong SMAN 7 Malang, Jatim Art Forum 2016, Surabaya. Dok. Lensa Teater
Lensa Teater - Tawa saya lepas ketika mendapati suatu kelompok dari salah satu universitas yang meniru dengan mirip bentuk tatanan panggung dalam pementasan “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” yang saya sutradarai bersama Teater Pelangi Malang Indonesia. Latar pabrik yang diciptakan bisa diakatakan mirip 85% dari bentuk panggung kami, mulai dari pintu pabrik, warna tembok, ornamen tembok, bahkan memakskan kehadiran tandon kuning dengan mengecat objek yang sebenarnya bukan tandon. Muncul reaksi yang sama saat saya beritahukan itu kepada Kaka, penata artistik saya waktu itu. Kelucuan itu tak berakhir sampai disitu, pada akhirnya kami tahu bahwa ternyata pementasan tersebut dipentaskan untuk tugas mata kuliah. Edan bukan? Untungnya pementasan tersebut hanya meniru bentuk tata panggungnya saja. Secara pola permainan sama sekali jauh berbeda. Saat ada rekan saya yang bertanya, “Ngono iku plagiasi gak sih?”. Dari situ saya mulai bertanya-tanya dan mulai mencari tahu sejauh mana makna dari plagiasi?

Beberapa bulan lalu kasus yang sama juga terjadi pada kelompok teater pelajar Teater Keong, SMNAN 7 Malang. Beberapa karya mereka ditiru oleh Teater Micro dari Tuban. Kasus ini sempat menggemparkan publik Teater Keong karena pementasan “Juragan Golek Mantu” karya Bayu Kresna Murti oleh kelompok Teater Micro Tuban yang memang dipentaskan tanpa seizin pemiliknya. Saya kira kasus ini akan usai setelah pihak Teater Micro meminta maaf, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kasus tersebut diulanginya lagi.

Setelah saya berbicara panjang dengan Bayu Kresna Murti selaku instruktur Teater Keong dan pencetus beberapa konsep pertunjukannya, ternyata cukup banyak karya Mas Bayu yang mereka tiru tanpa seizin empunya. Mungkin hal inilah yang akhirnya membuat sang pemilik merasa gusar pada pihak yang meniru konsepnya. Mas Bayu mengatakan bahwa ia sangat senang jika karyanya dipentaskan kelompok lain asal izin terlebih dahulu. Setidak-tidaknya agar pemilik karya merasa bangga karena karyanya sudah melalangbuana dan terakui oleh publik.

Tidak bisa dipungkiri bahwa prestasi Teater Keong yang menggunung telah berhasil meng-influence dan bahkan “meracuni” dunia festival teater pelajar di Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya sangat simple, para pemenang festival adalah acuan kualitas bagi para peserta di ajang festival selanjutnya. Tidaklah perlu kita heran apabila konsep dan bentuk teater SMA belakangan ini menjadi bentuk-bentuk yang stereotype. Bahkan dalam ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tahun 2014 di Semarang beberapa konsep dari Teater Keong dibawakan oleh para peserta dari berbagai provinsi di Indonesia. Lucunya, Teater Keong juga merupakan peserta festival ini dan lagi-lagi para peserta yang membawakan konsep-konsep dari Teater Keong ini bertindak biasa saja pada pemilik konsep yang ditirukannya.

Ada satu kasus serupa yang lagi-lagi datang dari Teater Keong. Pementasan naskah “Sampah” dipentaskan ulang oleh kelompok Teater Hitam Putih Universitas Negeri Malang tanpa seizin pemiliknya. Pada sesi sarasehan yang punya naskahpun akhirnya angkat bicara dan menegur kelompok tersebut. Akhir dari kasus ini adalah permohonan maaf dari kelompok Teater Hitam Putih.

Dengan berbagai kasus tersebut, saya pun heran sambil dipaksa menelan pil pahit pertanyaan, “Susahkah menciptakan pertunjukan apik dengan tidak meniru karya orang lain? Kalau memang susah, mengapa kita harus malu untuk meminta izin pada sang pemilik karya? Sesusah apa berproses teater dengan benar-benar kreatif? Kalau memang susah, untuk apa masih memilih teater sebagai wadah berekspresi? Untuk apa masih berpegang teguh dengan pernyataan proses itu lebih penting daripada pentasnya, kalau toh dalam berproses masih menyepelekan prosesnya? Edan! Absurd!

Arok Dedes, Teater Micro SMKN1 Tuban

Pil-pil pahit itu harus saya kunyah dan saya telan sendiri. Setidaknya sebagai obat dalam proses berteater saya. Tak betah dengan rasa pahit di mulut, saya memutuskan untuk mencari “permen” sebagai penghilang rasa pahit dan penenang hati. Suatu waktu saya akhirnya berlabuh di Warung Sari dan bertemu dengan lelaki penunggu Warung Sari, Mas Yosa. Dengan pengetahuan dan pengalaman seabrek, pertanyaan dan keluhan saya perihal plagiasi dan izin pun dibalasnya dengan pertanyaan, “Apakah kamu merasa dirugikan kalau memang itu berbentuk plagiasi? Adakah hak cipta yang sah dan telah diakui bahwa konsep itu adalah milik Bayu? Terus, yok opo nasibe Arifin C. Noer sing naskahe wes dipentasno nang endi-endi dengan tanpa izin?”

Jelaslah saya terdiam dan berfikir. Pertanyaan-pertanyaan itu seakan-akan sudah menjawab segala kegelisahan saya. “Kalau memang itu kasus plagiasi, harusnya ada hak cipta yang sah dan telah tercatat di lembaganya, dan kalau memang itu kasus plagiasi ada kerugian materiil yang dirasakan oleh Teater Keong,” lanjutnya.

Lalu Mas Yosa memberikan tiga istilah baru tentang hal penciptaan. Istilah itu adalah Homage, Apropriasi, dan Parodi. Tentu saja saya langsung bertanya, ”opo iku?”.

Homage itu adalah penciptaan karya yang bersifat mengagungkan seorang seniman. Misal, aku pengagum Picaso terus aku menciptakan lukisan yang mirip dengan lukisan Picaso dan itu disengaja. Apropriasi itu mengambil idiom beberapa karya seniman lalu digabungnya ke dalam suatu karya baru. Kalau Parodi itu karya milik seseorang diambil lalu diplesetkan ke dalam bentuk karikatural atau sejenisnya yang bersifat komedial.” Jelas Mas Yosa.

Ken Angrok Sang Legenda, Teater Keong
Arok Dedes, Teater Micro

Dari tiga istilah itulah mulut yang terasa pahit ini seakan-akan dijejali manis permen. Terjawab sudah. Tak lama obrolan kami yang mulai seru berakhir karena Warung Sari segera tutup. Sebagai pelanggan yang taat, tentulah kami harus segera pergi ke tujuan selanjutnya dan saya memutuskan untuk pulang.

Sampai di rumah, berlanjutlah proses berfikir saya tentang homage, apropiasi, dan parodi. Saya tanyakan semuanya pada Google yang maha tahu dan YouTube yang maha mengerti—bagi para pembaca silahkan mencari infonya sendiri. Ketiga istilah ini memang sering terdengar di khalayak perupa dan menjadi sebuah kewajaran di antaranya. Dengan ketiga istilah tersebut tak perlu kita menakutkan sebuah proses penciptaan jika memang itu sebuah kekaguman berlebih pada karya seseorang. Toh, tak ada orisisnalitas dalam dunia ini. Hanya saja, jika ingin menciptakan sebuah karya dengan bentuk homage, apropiasi, dan parodi setidaknya meminta izin pada sang empunya karya. Saya rasa kemajuan dunia teknologi dan komunikasi telah memudahkan hal itu. Mencantumkan ataupun meyebutkan namanya dalam poster atau semacamnya juga sebuah bentuk apresiasi tersendiri untuk sang pemilik karya. Buang rasa malu karena masih memilih bentuk karya dari orang lain, toh itu juga bagian dari proses belajar kita. Janganlah menjadi pengagum rahasia yang ternyata malah menikamnya dari belakang.

Sekelebat muncul pernyataan setelah saya usai dengan polemik ini,  berbanggalah kita jika karya kita telah dihomage, diapropriasi, dan/atau diparodikan oleh suatu kelompok, karena itu adalah sebuah keberhasilan konsep yang berarti telah diakui meski itu hanya oleh satu kelompok. Lalu, sudahkah kamu ditiru?”


M. H. Fadli
Muhammad Hafidh Fadli, akrab dipanggil “Tepeng”. Email : hafidhbiting@gmail.com

You Might Also Like

0 comments