![]() |
Ken Angrok Sang Legenda, Teater Keong SMAN 7 Malang, Jatim Art Forum 2016, Surabaya. Dok. Lensa Teater |
Beberapa
bulan lalu kasus yang sama juga terjadi pada kelompok teater pelajar Teater
Keong, SMNAN 7 Malang. Beberapa karya mereka ditiru oleh Teater Micro dari
Tuban. Kasus ini sempat menggemparkan publik Teater Keong karena pementasan
“Juragan Golek Mantu” karya Bayu Kresna Murti oleh kelompok Teater Micro Tuban
yang memang dipentaskan tanpa seizin pemiliknya. Saya kira kasus ini akan usai
setelah pihak Teater Micro meminta maaf, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kasus tersebut diulanginya lagi.
Setelah
saya berbicara panjang dengan Bayu Kresna Murti selaku instruktur Teater Keong
dan pencetus beberapa konsep pertunjukannya, ternyata cukup banyak karya Mas Bayu
yang mereka tiru tanpa seizin empunya. Mungkin hal inilah yang akhirnya membuat
sang pemilik merasa gusar pada pihak yang meniru konsepnya. Mas Bayu mengatakan
bahwa ia sangat senang jika karyanya dipentaskan kelompok lain asal izin
terlebih dahulu. Setidak-tidaknya agar pemilik karya merasa bangga karena
karyanya sudah melalangbuana dan terakui oleh publik.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa prestasi Teater Keong yang menggunung telah berhasil meng-influence dan bahkan “meracuni” dunia
festival teater pelajar di Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya sangat simple, para pemenang festival adalah
acuan kualitas bagi para peserta di ajang festival selanjutnya. Tidaklah perlu
kita heran apabila konsep dan bentuk teater SMA belakangan ini menjadi
bentuk-bentuk yang stereotype. Bahkan
dalam ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tahun 2014 di Semarang
beberapa konsep dari Teater Keong dibawakan oleh para peserta dari berbagai
provinsi di Indonesia. Lucunya, Teater Keong juga merupakan peserta festival
ini dan lagi-lagi para peserta yang membawakan konsep-konsep dari Teater Keong
ini bertindak biasa saja pada pemilik konsep yang ditirukannya.
Ada satu
kasus serupa yang lagi-lagi datang dari Teater Keong. Pementasan naskah
“Sampah” dipentaskan ulang oleh kelompok Teater Hitam Putih Universitas Negeri
Malang tanpa seizin pemiliknya. Pada sesi sarasehan yang punya naskahpun
akhirnya angkat bicara dan menegur kelompok tersebut. Akhir dari kasus ini
adalah permohonan maaf dari kelompok Teater Hitam Putih.
Dengan
berbagai kasus tersebut, saya pun heran sambil dipaksa menelan pil pahit
pertanyaan, “Susahkah menciptakan
pertunjukan apik dengan tidak meniru karya orang lain? Kalau memang susah,
mengapa kita harus malu untuk meminta izin pada sang pemilik karya? Sesusah apa
berproses teater dengan benar-benar kreatif? Kalau memang susah, untuk apa
masih memilih teater sebagai wadah berekspresi? Untuk apa masih berpegang teguh
dengan pernyataan proses itu lebih penting daripada pentasnya, kalau toh dalam
berproses masih menyepelekan prosesnya? Edan! Absurd!”
![]() |
Arok Dedes, Teater Micro SMKN1 Tuban |
Pil-pil
pahit itu harus saya kunyah dan saya telan sendiri. Setidaknya sebagai obat
dalam proses berteater saya. Tak betah dengan rasa pahit di mulut, saya
memutuskan untuk mencari “permen” sebagai penghilang rasa pahit dan penenang
hati. Suatu waktu saya akhirnya berlabuh di Warung Sari dan bertemu dengan
lelaki penunggu Warung Sari, Mas Yosa. Dengan pengetahuan dan pengalaman seabrek, pertanyaan dan keluhan saya
perihal plagiasi dan izin pun dibalasnya dengan pertanyaan, “Apakah kamu merasa
dirugikan kalau memang itu berbentuk plagiasi? Adakah hak cipta yang sah dan
telah diakui bahwa konsep itu adalah milik Bayu? Terus, yok opo nasibe Arifin C. Noer sing naskahe wes dipentasno nang
endi-endi dengan tanpa izin?”
Jelaslah
saya terdiam dan berfikir. Pertanyaan-pertanyaan itu seakan-akan sudah menjawab
segala kegelisahan saya. “Kalau memang itu kasus plagiasi, harusnya ada hak
cipta yang sah dan telah tercatat di lembaganya, dan kalau memang itu kasus
plagiasi ada kerugian materiil yang dirasakan oleh Teater Keong,” lanjutnya.
Lalu Mas
Yosa memberikan tiga istilah baru tentang hal penciptaan. Istilah itu adalah Homage,
Apropriasi,
dan Parodi.
Tentu saja saya langsung bertanya, ”opo
iku?”.
“Homage itu adalah penciptaan karya yang
bersifat mengagungkan seorang seniman. Misal, aku pengagum Picaso terus aku
menciptakan lukisan yang mirip dengan lukisan Picaso dan itu disengaja. Apropriasi itu mengambil idiom beberapa karya
seniman lalu digabungnya ke dalam suatu karya baru. Kalau Parodi itu karya milik seseorang diambil lalu diplesetkan ke dalam
bentuk karikatural atau sejenisnya yang bersifat komedial.” Jelas Mas Yosa.
Dari tiga istilah itulah mulut yang terasa pahit ini seakan-akan dijejali manis permen. Terjawab sudah. Tak lama obrolan kami yang mulai seru berakhir karena Warung Sari segera tutup. Sebagai pelanggan yang taat, tentulah kami harus segera pergi ke tujuan selanjutnya dan saya memutuskan untuk pulang.
Sampai di rumah,
berlanjutlah proses berfikir saya tentang homage, apropiasi, dan parodi.
Saya tanyakan semuanya pada Google yang maha tahu dan YouTube yang maha
mengerti—bagi para pembaca silahkan mencari infonya sendiri. Ketiga istilah ini
memang sering terdengar di khalayak perupa dan menjadi sebuah kewajaran di
antaranya. Dengan ketiga istilah tersebut tak perlu kita menakutkan sebuah
proses penciptaan jika memang itu sebuah kekaguman berlebih pada karya
seseorang. Toh, tak ada orisisnalitas dalam dunia ini. Hanya saja, jika ingin
menciptakan sebuah karya dengan bentuk homage, apropiasi, dan parodi
setidaknya meminta izin pada sang empunya karya. Saya rasa kemajuan dunia
teknologi dan komunikasi telah memudahkan hal itu. Mencantumkan ataupun
meyebutkan namanya dalam poster atau semacamnya juga sebuah bentuk apresiasi
tersendiri untuk sang pemilik karya. Buang rasa malu karena masih memilih
bentuk karya dari orang lain, toh itu juga bagian dari proses belajar kita.
Janganlah menjadi pengagum rahasia yang ternyata malah menikamnya dari
belakang.
Sekelebat muncul
pernyataan setelah saya usai dengan polemik ini, “berbanggalah
kita jika karya kita telah dihomage, diapropriasi, dan/atau diparodikan oleh
suatu kelompok, karena itu adalah sebuah keberhasilan konsep yang berarti telah
diakui meski itu hanya oleh satu kelompok. Lalu, sudahkah kamu ditiru?”
M. H.
Fadli
Muhammad
Hafidh Fadli, akrab dipanggil “Tepeng”. Email : hafidhbiting@gmail.com
0 comments