Lensa Teater - Tak semua seniman berkesempatan membuat sebuah pertunjukan di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, yang populer disebut Taman Ismail Marzuki (TIM). Namun, di antara ratusan seniman teater Malang Raya, Elyda Kartika Rara Tiwi berhasil memukau para penonton di panggung, yang berlokasi di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat itu.
NURLAYLA RATRI
Penampilan Elyda Kartika Rara Tiwi sehari-hari layaknya guru kebanyakan, anggun dalam balutan seragam. Tapi di luar jam kerja, perempuan yang memiliki nama pena Elyda K. Rara itu lebih sering mengenakan kaus longgar dan celana komprang. Sebab, pakaian yang longgar memungkinan perempuan kelahiran 16 Januari 1991 itu leluasa saat mengeksplorasi gerak tubuhnya saat berlatih teater.
Seperti saat Jawa Pos Radar Malang mengunjungi rumahnya di Jalan Klampok, Gang Anggrek No 2, Singosari, Kabupaten Malang. Elyda dan suaminya menyulap halaman rumahnya menjadi studio alam Kamateatra Art Space. Elyda tampak santai meski berpeluh setelah latihan dasar gerak dan meditasi, beberapa waktu lalu.
Saat ditanya mengenai keberhasilannya membuat pertunjukan di Taman Ismail Marzuki, dengan santun Elyda mengungkapkan bahwa keberhasilan tersebut bukan atas dirinya sendiri, tapi juga pengaruh kerja tim yang kuat. ”Untukpentas kedua di TIM, 3 Desember 2016 lalu, itu saya tidak berperan sebagai aktor. Tetapi sebagai pemimpin produksi dan penulis naskah berjudul Ilusi Pasi,” ujar putri dari pasangan Renok Ladri Is Sugiarto dan Anisatul Rofidah tersebut.
Naskah Ilusi Pasi sendiri mengisahkan tentang kegelisahan manusia. Penggarapan naskah tersebut berdasar pada kesenian rakyat, yaitu ludruk, yang dia eksplorasi dengan sejumlah teknik bergerak dan berdialog.
Pertunjukan yang sangat komunikatif itu juga diwarnai beragam teknik gerak ekstrem, seperti meloncat dari ketinggian 2,5 meter, membanting tubuh, dan lain-lainnya. ”Ilusi Pasi itu awalnya dari mimpi suami saya (Anwari) selama tiga hari berturut-turut. Gambaran dalam mimpi itu yang saya tuangkan ke dalam bentuk naskah,” jelasnya.
Sulung dari tiga bersaudara itu menceritakan bahwa awalnya kesempatan mentas tersebut sebenarnya undangan untuk suaminya, Anwari, yang juga seniman teater dari Padepokan Seni Madura. Namun, yang membuat naskah dan pemimpin produksinya adalah Elyda.
Karya tersebut dipentaskan di Festival Teater Jakarta 2016, sebuah festival tahunan yang menghadirkan berbagai kelompok teater terkemuka dari seluruh Indonesia.
”Sangat membahagiakan, alih-alih membanggakan karena berkesempatan sebagai tamu penampil di acara yang sangat besar sekelas Festival Teater Jakarta,” tutur guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Lawang tersebut.
Salah satu yang membuat Elyda sangat bersyukur adalah kesempatan mendapat banyak teman dan rekan komunitas berkesenian. Dia juga memperoleh banyak pengalaman selama menyiapkan pertunjukan tersebut. Selain itu, dia juga bisa bertemu tokoh teater dan seniman nasional serta bertukar wawasan dengan mereka. Sehingga dia mengaku mendapat banyak inspirasi.
”Di Indonesia, salah satu yang mendukung berkembangnya sebuah kelompok seni adalah relasi dan jaringan. Hal itu pula yang membuat saya berkesempatan pentas pertama di TIM pada 2015 lalu,” terang alumnus Universitas Negeri Malang (UM) tersebut.
Elyda mengisahkan pada Januari 2015, dia berangkat ke Jakarta dalam rangka nonton pentas dance theaterMahabharata dari Hiroshi Koike Bridge Project di Teater Salihara. Di salah satu kesempatan, alumnus SMAN 1 Lawang itu bertemu dengan salah satu pembina Teater Komunitas Bambang Ismantoro dari Teater Mandiri.
Mereka ngobrol di TIM, tepatnya di tempat ngopi di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. ”Dari situlah, saya dikenalkan dengan beberapa pengurus acara di Teater Kecil TIM,” tutur perempuan yang tengah hamil muda tersebut.
Obrolan hangat dan gayeng pun berlanjut serius. Elyda diberi penawaran untuk bisa pentas di TIM, dalam agenda pentas yang diagendakan tanggal 9 setiap bulan. ”Yang melegakan, saya diberi kesempatan memilih terserah bulan apa. Akhirnya saya pilih bulan April. Lalu saya mengajak teman-teman Teater Komunitas untuk boyongan ke Jakarta,” urai alumnus SMP Negeri 2 Singosari tersebut.
Dengan sistem urunan dan saling bantu untuk ongkos pulang pergi, berangkatlah Elyda dan timnya yang berjumlah 10 orang ke Jakarta untuk mementaskan teater berjudul Kekenceng yang bertepatan dengan acara Tribute to Alex Komang di Teater Kecil.
”Modal ke Jakarta, tentu sangatlah besar. Sampai waktu itu saya pinjam uang ke koperasi sekolah untuk dana talangan ongkos beberapa teman. Namun, selama seminggu di sana, kami mendapat banyak pengalaman fantastis,” paparnya.
Setelah pentas, mereka sempat mengobrol dan dikomentari beberapa seniman Jakarta yang menonton. Selain itu, juga sempat diberi tiket gratis untuk menonton dua pertunjukan di Komunitas Salihara.
Perempuan yang bulan ini genap berusia 26 tahun itu mengaku memilih teater karena membuatnya bahagia dan sehat. ”Saya tertarik dengan seni teater sejak kecil, saat melihat bapak menyutradarai pementasan untuk pentas 17 Agustus di desa kami,” kenangnya.
Mengapa alasan membuat sehat dipilihnya? Elyda menerangkan bahwa dirinya selama ini menderita sakit gastritis akut. Yakni kondisi lapisan lambung mengalami iritasi, peradangan, atau pengikisan. Saat sakitnya kambuh, otomatis Elyda mesti istirahat total, kadang juga di ranjang rumah sakit. ”Tubuh saya memang tidak selalu sehat. Tapitetap sering saya gunakan berlatih dengan energi dan stimulus positif bahwa sejumlah gerakan akan mengeluarkan energi yang meredakan sakit tersebut,” jelasnya.
Sebagai seniman teater, Elyda setidaknya sudah 16 kali mentas. Baik sebagai aktor, sutradara, penulis naskah, atau gabungannya. Beberapa di antaranya pertunjukan monolog Prodo Immitatio bersama Komunitas Seni Ranggawarsita, pentas Menunggu Godot, drama musikal Asmaraloka van Rotterdam, teater-sinema Suara Hati Angraini, teater gerak Caligula bersama kelompok Ruang Karakter, dan lain-lainnya.
Elyda juga merupakan salah satu pendiri Komunitas Seni Ranggawarsita dan Teater Komunitas. Saat ini dia juga aktif sebagai pembina Teater Gema SMA Negeri 1 Lawang sejak 2010 lalu dan beberapa kali pula memboyong gelar juara tingkat lokal hingga regional.
Selain aktif berteater, Elyda juga dikenal sebagai penulis sastra. Setidaknya sudah ada 15 buku, baik proyek personal maupun antologi yang diterbitkan. Di antaranya antologi cerpen dan puisi berjudul Syair Kematian Cinta, antologi naskah Drama Gita Siwaratri, Sulfatara: Pelangi Sastra Malang dalam Puisi, termasuk buku berjudulAmarah: Antologi Cerpen dan Puisi Lembaga Bhinneka yang diterbitkan salah satu penerbit besar di Indonesia.
Sebagai guru, Elyda dikenal akrab dengan murid-muridnya. Dia juga menjadi salah satu guru yang mengembangkan Sekolah Literasi di SMAN 1 Lawang.
Bagi para guru yang ingin membuat para muridnya mampu menulis cerpen, teknik dari Elyda ini boleh ditiru. Sebelum meminta mereka menulis cerpen, awalnya dia meminta mereka meditasi sekitar 20 menit. Setelah meditasi selesai, barulah mereka diminta menulis cerpen.
”Saat meditasi, tubuh dan pikiran akan terasa rileks dan fresh. Sehingga mereka bakal lebih mudah mengarang cerita. Ini teknik di teater yang saya terapkan di kelas,” tuturnya. (*/c2/lid) Radar Malang 8 Januari 2016
3 comments
sip sip sip sip lanjutkan kakak admin :D
ReplyDeletesip sip sip sip lanjutkan kakak admin :D
ReplyDeleteDek Ririn apa kabar?
ReplyDelete