Dohir Herlianto, Pegiat Teater di Malang, Pernah Jadi Saingan Sule saat Audisi di RCTI

Pada malam Minggu (24/9) yang dingin, penulis berbincang dengan Sindu sambil ngopi di trotoar di depan TKBJ (Taman Krida Budaya Jawa Timur) di Jalan Soekarno-Hatta. Saat itu Sindu baru saja menonton pertunjukan ludruk di TKBJ. Di antara seruputan kopi yang hangat, banyak kisah mengular dari mulut Sindu kepada koran ini.
Dia mengaku mencintai seni itu murni datang dari dalam jiwanya. Mungkin ada pengaruh dari kakek dan ayahnya yang juga  sama-sama pegiat kesenian. Kakeknya seorang produser ludruk, sedangkan ayahnya pimpinan grup glipang,yaitu kelompok ludruk kecil-kecilan yang sering tampil di kampung di daerah Probolinggo.
Dalam lingkungan keluarganya yang pegiat seni itu, pria yang akrab disapa Mas Sindu itu mengaku sebenarnya dilarang ikut bergelut dalam dunia kesenian. Sebab, seni ludruk yang saat itu berkembang jauh dari nilai-nilai agama. Maka oleh ayahnya, Sumarto, Sindu akhirnya dipondokkan di Ponpes (Pondok Pesantren) Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Namun, justru di sinilah dia menemukan dunia seni yang sangat dia cintai. Ponpes Nurul Jadid baginya adalah titik awal kecintaan Sindu terhadap kesenian. Secara diam-diam, pria kelahiran 19 April 1972 itu mengikuti kegiatan seni teater di SMA yang ada  di ponpesnya. Ketika itu Sindu tanpa canggung bergabung dalam komunitas teater Ababil yang ada di SMA Nurul Jadid.
Mencuri waktu baginya menjadi modal utama menggeluti dunia teater. Suatu hari dia pernah tepergok satpam ponpes saat latihan menari sendirian di sawah yang ada di luar ponpes itu. ”Saya dikira berlatih ilmu hitam, sehingga saya ditegur,” kenang anak dari pasangan Sumarto dan Marhalil tersebut.
Setelah lulus SMA 1993, dia memilih Kota Malang sebagai tempat berlabuh untuk meneruskan pendidikannya. Bapak tiga anak itu memilih Jurusan Sastra Inggris Uniga (Universitas Gajayana) Malang untuk menempuh gelar sarjana. Begitu masuk kuliah, dia langsung memilih bergabung dengan komunitas Teater Nisbi di Uniga.
Di masa kuliahnya, Sindu mengaku juga sering ke luar kota mengikuti acara teater. Namun baginya,  Malang sebuah kota yang berbeda. Sebagai barometer seni pertunjukan, Kota Malang selalu dia rindukan.
Mulai saat itu, pria dengan logat Madura ini sering tampil dalam berbagai ajang kesenian. Dulu bersama kelompok teaternya, Nisbi, dia meraih Juara I Dagelan se-Jawa Timur di Indosiar pada 1997 silam. Kemudian dia menjadi perwakilan dalam audisi HAM (Humor Ala Mahasiswa) di RCTI pada 1998. ”Sule belum terkenal dulu waktu sama kami audisi di RCTI,” katanya sambil tertawa.
Selain tampil di Indosiar dan RCTI, dia juga mengikuti audisi di API (Akademi Pelawak Indonesia) di TPI tahun 90-an. Selain itu, dia juga pernah memerankan Mat Bolot dalam film Rentenir Cinta di TVRI Surabaya pada 1993.
Selain itu, dia membawa Kelompok Teater dan Sastra Unggulan dari seleksi SMP di Kota Malang dalam Apresiasi Seni tingkat SMP se-Jatim, Mei 2016. Juga mengantarkan SMA 10 Kota Malang Juara I Monolog Nasional dalam FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional) September 2016. Tidak hanya itu,  Sindu juga sukses mengantarkan SMAN 7 Kota Malang Juara 1 Monolog Nasional dalam FLS2N 2015. Lalu membawa SMAN 3 Kota Malang Juara II Lomba Puisi di Mataram, 2015 lalu.
Sindu pun berkomitmen untuk mengajari dan mendidik pemuda pegiat seni. ”Karena teater itu mampu mencerdaskan,” ujar seniman yang tinggal di Perum Uniga Joyogrand, Merjosari, Kecamatan Lowokwaru itu.
Sekarang, dosen Unitri (Universitas Tribuana Tunggadewi) Malang ini menjadi praktisi seni teater. Dia termasuk salah satu kurator dan pembina siswa wakil Disdik (Dinas Pendidikan) Kota Malang untuk event provinsi maupun nasional. Sejumlah sekolah di Kota Malang yang dilatihnya menyabet banyak medali dari perlombaan puisi, seni tari, dan seni teater.  (*/c2/lid)
Sumber: Radar Malang/Fajrus Shiddiq

You Might Also Like

0 comments