
Saya dan
beberapa teman saya satu kampus berencana menonton sebuah pementasan drama yang
diadakan di gedung E6, Laboratorium Drama Fakultas Sastra UM pada sebuah sore
sekitar pukul 15.00 dengan lakon “Operasi” hasil saduran cerpen Putu Wijaya
dengan judul yang sama. Saya dan teman-teman saya baru tahu kalau ternyata
pentas itu adalah pentas yang dilakukan oleh mahasiswa minor drama jurusan
Sastra Indonesia UM angkatan 2014 dalam mata kuliah pemeranan. Kebetulannya
adalah saya dan dua teman saya adalah mantan mahasiswa minor drama setahun
lalu. Akhirnya kami cukup antusias dengan pementasan ini, terbukti dengan rela
membayar tiket seharga lima ribu rupiah. Waktu menunjukkan pukul 15.20 WIB kami
pun dipersilahkan untuk masuk ke dalam gedung. Seperti biasanya laboratorium
drama dibuat misterius dengan digelapkan saat penonton masuk. Kami memilih
posisi tempat yang pas menurut kami. Sepuluh menit kemudian musik mengalun,
meski ada beberapa bagian yang tidak pas tapi saya masih memakluminya karena
ini adalah kelas pemeranan, maka yang akan saya garis bawahi adalah kualitas
keaktoran mereka. Perlahan kemudian lampu masuk, set penggung mulai tampak,
beberapa pertanyaan mulai mengitari kepala saya lagi, saya coba hapuskan
pertanyaan-pertanyaan itu, kembali lagi karena ini adalah kelas pemeranan. Saya
amati aktor-aktor yang tablo, saya melihat beberapa aktor yang gerak dan
ekspresinya terlihat tanggung. Beberapa detik kemudian seorang aktor tiba-tiba
bersin dan pertunjukanpun dimulai. Untuk sebuah awalan, saya sudah merasakan
ketidakmenarikan drama ini. Babak pertama menurut saya tidak menyampaikan
apa-apa, makna apa yang ingin disampaikan tidak berhasil saya dan beberapa
penoton tangkap. Babak pertama ini saya hanya melihat klise-klise peristiwa
yang teradi ‘seperti’ di ruang tunggu dokter. Tidak ada kemenarikan pada babak
ini, maaf karena saya gatal ingin mengutarakan hal-hal non-keaktoran akhirnya
harus saya tulskan juga, secara naskah sebab-akibatnya tidak terlihat, secara
penyutradaraan juga masih belum ada konsep yang matang, secara setting juga
masih belum kuat untuk menggambarkan ruang tunggu dokter, secara musik juga
tidak mendukung sama sekali, terkesan memaksa agar unsur ini mendukung adegan,
dan jelas sekali kualitas keaktoran yang kacau walau ini merupakan ujian kelas
pemeranan.
Dari hampir
sekitar sepuluh orang aktor yang memainkan naskah ini, saya tidak menemukan
aktor yang benar-benar pas dalam memainkan karakternya, semuanya seperti masih
sangat berjarak dengan karakternya. Tidak ada keluwesan tokoh ataupun keasyikan
‘ping-pong’ dalam permainannya, semua masih terkesan teknis. Sangat kurang
mengalir dalam permainannya, menjadikan kesan yang kurang realis padahal secara
cerita dan setting sudah cukup realis. Membicarakan soal gesture juga masih
tanggung sekali, padahal drama ini saya rasa cukup mementingkan gesture agar
mengetahui dalam perbedaan sebelum dan setelah berobat ke dokter. Dialog-dialog
mentah yang membuat pertunjukan ini sangat amplang, seperti kalimat-kalimat
kosong tanpa isi yang dilontarkan begitu saja. Saya rasa kalau memang teknik
dasar keaktoran saja masih belum tercapai, lalu untuk apa saya mau menuliskan
teknik lainnya.
Sungguh saya
sangat bertanya-tanya dalam hati saya, lalu materi pemeranan apa yang mereka
terima satu semester kemarin? Apa hanya diberi materi pemanasan saja? Apa hanya
diajarkan olah vokal dan olah tubuh tanpa diberi tahu alasan mereka
melakukannya? Atau kelas pemeranan ini hanya ingin mencetak aktor-aktor “robot”
saja? Entahlah saya juga tidak tahu, apa yang saya tonton, itu yang saya
tangkap dan itu yang saya utarakan.
Setelah
pertunjukan usai sekita pukul empat sore, saya dan beberapa kawan saya
memutuskan untuk berdiskusi di sebuah warung kopi. Dipilihlah Warung Sari yang
melegenda itu menjadi tempat kami berdiskusi. Apa yang menjadi ganjal dalam
pertunjukan tadi kami utarakan dan saling beradu argumen. Tak terasa waktu
menunjukkan pukul enam sore dan kami hendak beranjak dari warung sari ke sebuah
gedung kesenian yang pernah eksis di kota ini, gedung kesenian gayana. Saat
akan beranjak mengambil sepeda, kami menemui teman kami yang sedang berlatih
teater di seputar Fakultas Sastra UM, katanya kelompok itu akan petas di bulan
Februari atau Maret tahun depan dengan naskah mereka sendiri. Kamipun mengobrol
sebentar saja, dan kemudian bergegas mengambil sepeda kami. Kamipun segera
beranjak ke gedung kesenian gajayana dengan santai tanpa tergesa. Setibanya di
sana, kami menemui beberapa kawan kami dari kelompok teater lain. Kami saling
bertegur sapa satu sama lain, di tengah asyik mengobrol tanpa kami ketahui
ternyata pertunjukan sudah mau dimulai, untung saya beranikan diri untuk
bertanya pada salah satu panitia. Oh iya saya lupa, ini adalah pentas dari
sanggar Blitz ITN Malang yang berkolaborasi dengan SKSD Berau dan menampilkan
tiga naskah lakon Tuha (SKSD Berau), Sang Orator (Sanggar Blitz), dan Fatimah
(Sanggar Blitz). Kamipun masuk dan duduk tepat di tengah-tengah gedung. Kami
nyamankan duduk kami, sebelum seluruh indra kami asyik merasakan pertunjukan.
Entah, beberapa
minggu ini, saya mulai berhipotesa dan beranggapan bahwa kualitas sebuah
pertunjukan teater dapat dinilai dari etos kerja timnya. Dimulai dari
kedatangan salah satu sanggar dari Surabaya yang pentas di Lab. Drama yang
kebetulan saya juga salah satu panitianya, saya mau tidak mau mengamati etos
kerja mereka, dan alhasil, buat yang sudah menonton pasti sudah tahu bagaimana
hasilnya, me-nge-ce-wa-kan. Sudah saya tebak ketika mulai kedatangan mereka
sampai satu menit sebelum pintu gedung dibuka, etos kerja mereka terlihat
buruk. Dari situlah saya mulai berhipotesa. Masalah yang terjadi adalah ketika
saya hadir di gedung kesenian gajayana, saya sudah diberi etos kerja panitia
yang kurang memuaskan, mulai dari panitia yang tidak mengabari bahwa
pertunjukan akan dimulai, lalu panggung yang diset kosong dengan tatanan cahaya
yang sangat tidak memadahi untuk mata dan kapasitas sound yang kurang. Baiklah,
untuk sementara ini saya coba untuk meredakan kengganjalan saya, karena pentas
ini gratis. Pada prinsip saya saat menonton pementasan gratis adalah penonton
duduk dan menerima apa saja yang disuguhkan tanpa komentar ba-bi-bu, jadilah
penonton yang manut. Baiklah,
seketika MC mengucapkan “Selamat Menyaksikan” itu tandanya pementasan pertama
dengan judul “Sang Orator” akan segera dimulai, saya enakkan duduk saya dan
menunggu. Menunggu, menunggu, dan menunggu lagi. Saya lihati jam tangan saya,
sudah hampir sepuluh menit penonton digelap-gelapkan menunggu kapan
pertunjukan ini dimulai? Tanpa aba-aba
atau kode apa-apa tiba-tiba suara jimbe bertalu dan lagi-lagi suara perempuan
mengantarkan ke sebuah pertunjukan monolog ini. Lampu panggung menyala warna
merah, seorang aktor berkerudung berlari-lari sambil membunyikan sirene
kemudian berteriak-teriak di tengah sambil meneriakkan aspirasinya tentang
buruh. Dalam pertunjukan ini, sekitar dua sampai tiga menit awal saya sudah
menggenggam HP saya dan bersiap untuk memainkan kompetisi walikota di aplikasi
saya, saya pikir ini lebih menarik daripada melihat pementasan ini. Sesekali
saya lihat dan saya dengarkan si buruh yang sedang berorasi ini, kemudian saya
lihati lagi kota saya. Saya berikan pujian pada kota saya karena berhasil
mendapatkan penghargaan baru, dan saya juga memberikan salut pada mbak yang
bermain monolog ini, dengan berteriak-teriak seperti itu suaranya tidak habis,
saya salut, walau saya tahu dia sangat memaksakan pita suaranya dan tidak menggunakan
teknik olah vokal dengan benar. Kadang kala banyak kelompok teater yang tidak
tahu bahwa latihan olah vokal dilakukan hanya untuk mengendorkan dan
melenturkan alat suara kita saja agar siap dipergunakan dalam kondisi apa saja.
Vokal yang kuat bukan berarti bervolume keras, tapi ber-power kuat, seringkali banyak kelompok yang salah mengartikannya.
Saya kok jadi menjelaskan teknik olah vokal? Saya kembali lagi pada monolog
ini, saya menangkap hal yang tidak aktual dalam kenaskahannya, masalah buruh
sudah tidak lagi menjadi masalah yang terus diungkit, memang masih ada, tapi
masyarakat lebih banyak yang antipati terhadap masalah ini, untuk apa diangkat
dan dimainkan kalau toh masyarakat juga tidak mempedulikannya. Lalu, apakah
masyarakat akan terpukul, lalu dengan seksama bergerak dan mendukung buruh
setelah melihat pertunjukan yang diistilahkan “tong kosong nyaring bunyinya”
ini? Saya rasa tidak. Untuk sebuah drama, saya rasa monolog “Sang Orator” ini
sudah gagal dalam penyampaian pesannya. Aktor yang isinya berteriak-teriak saja
membuat pertunjukan monoton! Aspek penytradaraan yang nol, tidak ada penawaran
sama sekali. Artistik yang tidak jelas juga menjadi bagian dari keperihatinan
pentas ini. Lalu, kalau sudah seperti ini saya sah kan bermain game lagi?
Orator tadi
sudah usai, mungkin pita suaranya putus yang saya tahu sudah ada MC lagi di
atas panggung. Nah yang lucu adalah sutradara dan aktor tadi dipanggil oleh MC
untuk diperkenalkan pada penonton, saat aktor tadi berbicara suaranya sudah
habis dan dengan semangatnya dia sebagai seorang mahasiswa baru berbicara
seperti pentasnya berhasil dan penonton merasa katarsis melihat
pertunjukkannya. Saya hanya tertawa kecil, sambil bicara dalam hati, “untung
gratis”. Perlu diketahui, bahwa penonton tidak akan pernah mau memaklumi
pertunjukan dikarenakan proses yang pendek, atau aktor yang masih pertama kali
pentas! Penonton adalah raja, yang ia mau adalah pertunjukan yang bagus, bukan
pemakluman-pemakluman. Yang berat pada sebuah pertunjukan adalah tanggung jawab
moral terhadap penonton, saya masih ingat ketika salah satu guru saya yaitu,
Mohammad Sinwan, memberitahukan saya akan hal itu, dan dari situlah saya sadar
bahwa banyak kelompok yang sudah mulai menyepelekan prinsip tersebut, alhasil
ya seperti hari ini.
Pentas kedua
dimulai dengan lakon Fatimah entah karyanya siapa, dibuka dengan lagu dangdut
dan kemudian aktor menari tanpa lihainya. Aktorpun bermonolog sambil sesekali
melontarkan pantun dan berinteraksi dengan penonton. Sepintas dalam benak saya,
pertunjukan ini sudah teracuni dengan acara TV yang super-duper gak jelas itu.
Sejak saat itu saya mulai antipati lagi dengan pertunjukan ini, sesekali saya
berteriak-teriak seperti penonton lain untuk menghibur diri. Pengadeganan dalam
drama ini selalu saja dimulai dengan teknik muncul menari dengan tidak luwes
yang diiringi oleh lagu dangdut yang terus diulang-ulang. Heran saya, ini
sutradaranya kehabisan ide atau tidak pernah menonton teater sama sekali?
Pengulangan seperti itu sudah teramat sangat menjemukkan buat penonton.
Pertanyaan kedua yang timbul adalah apakah seluruh aktor didikte dengan
intonasi yang sama seperti itu? Hal ini pula yang membuat penonton jenuh,
dibuktikan dengan keempat penonton di depan saya tertidur! Sudah pasti mereka
muak melihat pentas tersebut. Kostum dan rias yang hanya tempelan tidak
mendukung aktor sama sekali. Yang saya masih ingat adalah ada seorang aktor
dengan karakter bapak, kostumnya memakain sarung dan kopyah, tapi hemnya tidak
bapak sama sekali, dan naasnya intonasi dan warna suara aktor yang tidak
mendukung sama sekali. Musik? Apa harus saya juga menguak musik tempelannya?
Saya kira tidak usah. Apesnya penonton adalah pertunjukan ini berlangsung lebih
kurang satu jam, dan kami merasakannya sudah seperti 4 atau 5 jam pementasan.
Saya selalu prihatin saat melihat sang sutradara dan aktor yang tampak begitu
senang akan pentasnya yang hancur di mata penonton.
Saya tiba-tiba
bersendawa dan mendadak badan saya agak kurang enak badan, tapi saya tetap
berusaha menantikan pertunjukan yang terakhir, saya berharap cukup banyak pada
pementasan kali ini, karena ini adalah pementasan dari SKSD Berau, Kalimantan.
Pada benak saya Kalimantan selalu kuat pada keaktoran dan konsep-konsep
liarnya. Saya berusaha larut pada alunan musiknya yang kemudian lampu panggung
nyala dan di sana terdapat beberapa aktor dengan kostum yang cukup glamour
menari, masalahnya tarian mereka sudah tidak kompak. Kemudian masuk adegan sang
Seniman yang dimimpii oleh boneka-boneka. Sejauh ini masih lumayan, tapi lama
kelamaan saya dan teman-teman saya tidak kuat dan menyerah pada rangkaian acara
pementasan ini. Kami memutuskan untuk keluar gedung! Kami tidak kuat. Kelompok
yang berasal dari kalimantan yang saya taruh penuh harap itu ternyata juga
tidak dapat memuaskan hasrat kami. Beberapa saat kemudian ternyata adik kelas
saya yang masih duduk di bangku SMA datang menyusul saya dan merekapun berkata
“Pentas opo iki, Mas? Gak jelas blas!” saya terhenyak! Dalam benak saya, “wih,
arek SMA iso ngomong koyok ngene? Kebacut berarti wesan.” Lagsung saja saya
ajak bocah SMA yang sedang liburan itu berdiskusi dan memberi arahan padanya
agar tidak tercemari pikirannya. Malam itu pun kami akhiri lagi dengan diskusi
panjang di sebuah warung daerah sukun, kota Malang.
Kesimpulan pada
hari itu juga adalah tidak mudah mementaskan teater. Teater punya tanggung
jawab moral pada penonton yang besar. Teater bukan hanya sekedar alat ekspresi
dan kebebasan diri, tapi alat penyadaran manusia-manusianya lewat amanat yang
diselipkannya. Kabar perteateran kota Malang masih belum banyak berubah setelah
saya tulis pikiran-pikiran saya pada media lensa teater ini. Saya harap dengan
adanya media publik Lensa Teater ini dapat memperluas wawasan kita terhadap
dunia teater kita.
Oh iya, kata
diskusi pada tulisan ini sebenarnya banyak mengandung rasan-rasan atau ghibah
degan adanya emosi, jadi kalau efeknya nonton teater seperti itu, maka hipotesa
saya soal menonton teater itu akan diharamkan mungkin akan segera terbukti,
hehe.
Malang, 23
Desember 2016
M. H. Fadli
(Penikmat dan Pelaku Teater Kota Malang)
0 comments