MENGADA TANPA KARENA: Catatan dan Kritik atas Pementasan Drama Bahasa Arab "Nuurun Saati'un min Nurs"



Lensa Teater - Masrohiyah dalam bahasa Indonesianya berarti drama. Masrohiyah adalah salah satu mata kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sebagai tugas akhir dari mata kuliah, diberlakukan pementasan drama di akhir semester. Hari ini pada tanggal 6 Desember 2018 pukul 19.30 - 21.45 berlangsung pementasan drama berjudul Nuurun Saati'un min Nurs (Cahaya dari Nurs). Yang diadakan oleh mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab angkatan 2015, semester tujuh. Pementasan drama ini disutradarai oleh Achmad Abdul Aziz dan Umi Rahmiatun. Naskah ditulis oleh Fauziah Kurniawati, Hasan Basri, dan M. Choirul Umam. Mutarjim (penerjemah) M. Sahni Arja. Para pemainnya adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab angkatan 2015.
***
Malam telah merampas kesulitan dan ketergesaan kita dalam kerja-kerja kehidupan saat siang. Malam menjadi ruang lelah dan tetirah. Malam ini di Home Theater Fakultas Humaniora UIN Malang lautan manusia menyembul. Berdesak-desakan. Entah dari mana. Banyak sekali. Semoga bukan buih. Suasana gelegar acara terasa sekali, terwakili oleh desir angin yang berbeda, dan pendar cahaya yang berdenyaran. Kelop-kelop lighting seperti lampu disko. Ramainya seperti pasar malam. Ya, barangkali memang malam ini adalah anomali dari kehidupan itu sendiri. Dalam kehidupan tak ada katarsis kenikmatan yang berlangsung abadi, sesekali bahkan seringkali kita lebih banyak jatuh bangun dan "babak belur" dalam menghadapi kenyataan hidup.

Malam ini Home Theater merubah wajah temaramnya menjadi ganih putih. Dari jauh panggung seakan berdetak, seperti jantung yang tak henti-hentinya mengatakan "aku adalah tanda bahwa kehidupan sedang berlangsung".  Kita seperti sedang di gedung pertunjukan besar Coliseum di St. Martin Lane. Banyak lampu menghiasi, dan yang ketinggalan saya sebutkan adalah pintu masuk yang dihiasi ornamen seperti kaligrafi, saya mungkin bisa menyebutnya pintu tentakel berbahan lunak.

Memasuki area tribun penonton, saya melihat sekeliling, seperti ruak-ruak sedang berbisik di rawa, menunggu ikan-ikan yang mendongak ke langit perairan. Sebelum duduk saya bergumam pada diri sendiri. Dengan panggung dan properti semegah-mewah dan sebanyak ini, dari polesan sehebat ini, semoga ada pesan besar dan desing nilai yang tersampaikan, yang tak sia-sia. Berbanding lurus dengan tampilan yang dibawakan. Mari kita saksikan.

Pentas Dimulai..

Saya lihat dengan seksama, saya tertuju ke layar lebar di kanan kiri. Karena dua layar tersebut sangat penting perannya, bagi penonton yang duduk di tribun atas dan belakang pasti sangat membantu. Berhubung saya duduk di kursi nomor dua, belakang para pejabat, sebenarnya tak perlu risau dengan layar. Karena jarak panggung dengan saya hanya sekitar dua meter. Tapi tidak, saya bersikeras menunggu apa yang muncul di layar kanan dan kiri. Namun tak ada yang beda dengan di panggung. Yaitu datangnya seorang pemuda penggembala biri-biri yang berpakaian "ala arab". Saya tidak tahu tepat atau tidak penyebutan "ala arab" ini saya sematkan. Pemuda itu menggembala biri-biri di ladang jagung, kemudian kehilangan satu biri-biri. Saya tidak faham, cara kerja penggembalaan ini, baik ruang dan waktu penggembalaannya, kenapa di ladang jagung. Namun berpakaian ala arab.

Nahas bagi penonton yang tidak paham bahasa arab. Karena drama ini full disajikan dengan bahasa pengantar bahasa arab. Awalnya saya berpraduga bahwa salah satu layar di kanan atau kiri panggung ada yang dimanfaatkan menjadi media alih bahasa. Juga deskripsi cerita awal. Karena ini sangat membantu bagi berjalannya pementasan. Terlebih jika ada penonton yang tidak paham bahasa arab pasti plonga-plongo. Akhirnya pementasan yang seharusnya memiliki pesan malah terhambat oleh komunikasi dua arah yang tak selesai, cerita yang "ujug-ujug" dan penonton yang tergagap-gagap. Pementasan ini akhirnya berupaya mengeklusifkan diri dari khalayak. Membangun pagar sendiri untuk menutup kemungkinan-kemungkinan. Berkaitan dengan pementasan berbahasa arab di jurusan Bahasa dan Sastra Arab sendiri setahu saya belum lama diberlakukan, seingat saya baru dua atau tiga kali pentas ini. Sebelumnya memakai bahasa Indonesia. Dengan berubahnya pemakaian bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa arab sangatlah positif, namun perubahan itu tidak boleh mengurangi kadar ketersetangkupan komunikasi di panggung dan di pihak penonton. Ini berbahaya, jika terputus.

Turki. Cerita ini mengambil setting tempat di Turki. Saya kira para penonton pasti awalnya tidak tahu. Kemungkinan terpendek adalah para penonton mengira ini adalah sebuah parodi budaya. Saya merekam dengan jelas gelak tawa penonton ketika ada suara kambing yang mengembik dan si penggembala yang mengejarnya. Dengan pembukaan si penggembala dengan "dunia penggembalaan" yang aneh. Untungnya saya sudah dapat bocoran bahwa naskah yang ditulis ini merupakan saduran dari Novel Api Tauhid karya Habiburrahman El-Shirazy. Jadi sedikit banyak tahu kira-kira cerita mau jatuh kemana.

"Kuch Kuch Hota Hai". Iya, saya  tiba-tiba mendengar lagu ini muncul di tengah adegan pasangan suami istri berkebangsaan Turki, di ruang tamu. Lagu yang dinyanyikan oleh Udit Narayan dan Alka Yagnik itu menghiasi perbincangan seorang suami istri yang sebenarnya isinya adalah kata dho' (taruh), tentang kopi yang ditaruh di atas meja dan tentang cinta yang ditaruh di tempat sewajarnya, hati terdalam. Lagi-lagi saya gagal memahami peristiwa yang seharusnya "musikal" ini.

Saat ada adegan pemanggilan Said Nusry tiba-tiba muncul sosok Kemal Pasha. Merokok? Saya kira hanya tipuan, ternyata rokok asli, disulut. Saya tercenung. Apa maksudnya? Belum selesai saya menjalin alasan dan rangkaian jawab atas kehadiran rokok, tiba-tiba di samping saya ada pasangan dosen yang menonton, bersama anaknya. Anaknya bertanya: "Ma.. Itu merokok ya, Mas itu...?" mendengar pertanyaan itu saya mengalihkan fokus ke percakapan ibu dan anak tersebut. Saya tunggu betul nih jawaban dari si ibu dosen kepada anaknya. "Bukan Nak.. Itu bo'ongan...".

Perlu diketahui ada banyak anak kecil yang turut menonton di malam ini. Anak-anak dosen tentunya. Anak-anak orang berpendidikan (sekolah). Namun dalam kondisi "terdesak" semacam itu tadi ternyata seorang ibu harus terpaksa berbohong untuk memutuskan jawaban apa yang dipilih atas pertanyaan anaknya. Sebenarnya alasan kehadiran rokok itu untuk apa, saya belum dapat gambaran. Ini ruangan Home Theater ber AC, namun ada adegan merokok. Jika memang untuk membuat efek sinis sosok Kemal Pasha, sebenarnya tak perlu rokok,  ada adegan lain yang lebih kuat, misalkan cara memandang, mimik muka, atau cara duduk, dan banyak yang lain, tanpa perlu merokok, apalagi saya melihat aktor sudah kuat karakternya. Karena adanya rokok akan memicu pembahasan lain (masalah edukasi?), juga masalah keidentikan, apakah orang sinis, sombong, karakter negatif harus diatribusikan dengan rokok? Ini menjadi permasalahan tersendiri. Saya punya pengalaman, dulu sekali saat SMA saya dan teman-teman jurusan bahasa mengadakan pentas drama, kemudian kami menghadirkan botol Jack Daniels di panggung, setelah pentas kami "diumbah" dan dipersalahkan dengan alasan "edukasi" yang negatif. Padahal kami juga sudah menghitung perkara itu, namun meleset.

Ada juga yang ganjil di tengah-tengah pementasan. Yaitu di tempat muhadharah Said Nursy saat pembacaan wirid, pujian dan doa-doa, ada koor yang membuat ruang menjadi pecah. Keheningan dari pujian dan doa terenggut secara tiba-tiba. Apalagi paduan suara berdiri tepat di samping panggung, akhirnya visual penonton terbelah, konsentrasi hanyut, dan kekhusyukan pun pergi entah kemana.

Namun menjelang akhir pementasan terlihat sekali kekuatan para aktor, saya suka. Terbukti para penonton menjerit tak habis-habis saat adegan penyiksaan Said Nursy dan para pengikutnya. Dan adegan-adegan selanjutnya.

Setahu saya teater adalah puncak dari seni, jika boleh saya sebut teater adalah semacam kenduri kebudayaan. Karena di dalam ritual pementasan membawa beberapa seni yang disatukan dalam panggung; sastra, seni rupa, musik, tari dan iklim kebudayaan yang lahir dari kreatifitas. Begitu pula dengan pementasan drama seperti ini. Banyak seni yang harus ditaklukkan dan disatukan.

Selebihnya, toh "Semua dapat tempat, semua harus dicatat," kata Chairil Anwar.


Malang, 6 Desember 2018;  23.25 WIB



Oleh: Fathul H. Panatapraja*
*Menaruh minat pada sastra, seni dan filsafat. Tinggal di Malang. Bisa berkorespondensi di panatapraja@gmail.com, Fathul Panata Praja, fathul_panatapraja.

You Might Also Like

1 comments

  1. Sebuah tulisan yang menurut aku obyektif. Diksi yang dipilihnya pun sangat menarik. Kerenn

    ReplyDelete