MITOS MALAM MINGGU



Lensa Teater - Ketika adegan memuncak dengan kematian sang penyair, nada dan suara musik turut memuncak. Setelah beberapa saat Komachi menangis di atas tubuh sang penyair, lampu perlahan redup tetapi tangis dan teriakan Komachi makin menyayat. Lampu padam, tepuk tangan dan teriakan bergemuruh dari penonton menyabut berakhirnya pertunjukan “Malam Terakhir” yang disajikan oleh Teater Kertas di Loby Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Sabtu (10/11/2018) malam tadi.

Ada sebuah isak tangis yang samar-samar terdengar diantara teriak dan tepuk tangan dari penonton. Anis Dwi Setiawati terlihat menghapus air matanya. Ia larut dalam kisah yang menceritakan kisah seorang penyair dengan perempuan tua bernama Komachi. Anis butuh beberapa saat untuk menenangkan diri.

“Bagus banget pentasnya, walaupun pasti masih ada kurangnya. Cuma untuk penyampaian pesannya baru ngena yang terakhir. Untuk pementasan yang pertama tadi jujur belum ngerti ceritanya seperti apa. Setelah dijelaskan sutradara baru tahu ceritanya, o tentang Komaci tadi,” tutur Anis, mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura, usai pentas.

Pertunjukan malam itu dibuka dengan opening performance yang menyajikan pertunjukan tari dan gerak tubuh. Pertunjukan sekitar 10 menit itu mengisahkan awal mula perjalanan Komaci. Kecantikan Komaci menjadi sebuah kutukan baginya. Kecantikannya menyeret dua orang laki-laki untuk merenggut kesuciannya. Pertunjukan pembuka itu berakhir dengan sebuah pernyataan kutukan.



Vionita Desyha, sutradara pertunjukan malam itu, dalam kesempatan sarasehan menjelaskan kepada penonton bahwa naskah Malam Terakhir yang ditulis oleh Yukio Mishima mengangkat mitos tradisional dalam kebudayaan Jepang. Dengan mengangkat naskah ini ia mencoba membangkitkan lagi semangat lokalitas, “Menginspirasi supaya mitos-mitos lokal, tradisi lokal kita agar dikenal oleh generasi muda dan dunia.” Tuturnya.

Sempat terjadi kesalahan teknis pada bagian musik sebelum pertunjukan utama malam itu digelar, juga ketika pertunjukan tengah berlangsung, tiba-tiba ada puntung rokok dengan bara yang masih menyala jatuh dari lantai dua yang digunakan untuk menaburkan bunga sakura ke atas panggung. Seorang penonton menanggapi peristiwa itu dalam diskusi sarasehan. Ia menghimbau agar semua tim yang terlibat dalam pertunjukan itu mampu menjaga diri sehingga bisa mendukung kesuksesan pertunjukan.

Meski begitu, keberhasilan mereka dalam mengakhiri pertunjukan dengan baik mampu menutup segala kekurangan yang ada. Pertunjukan yang digarap selama satu bulan itu menuai apresiasi positif dari penonton.

“Pas ketika pentas berakhir kan tepuk tangan, itu kenapa aku nggak langsung bisa ikut tepuk tangan malah aku tambah ngerasa dalem banget suasananya dan aku merasakan aku sebagai aktor, sebagai Komaci tadi.” Tandas Anis yang datang bersama ketiga kawannya. Mereka mewakili Ukm Kesenian Daun Fakutas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.

Lain Anis, lain pula bagi Slodor. Anggota Teater Q dari UIN Surabaya ini mengapresiasi baik pertunjukan yang disajikan malam itu. Ia membandingkan dengan pertunjukan yang biasa digelar dilingkungannya. “Kalau di Surabaya, sih, setahu saya jarang ada pementasan yang menghadirkan dari unsur budaya luar. Biasanya cuma keresahan-keresahan di kota surabaya aja, lokal-lokal. Cuma di indonesia aja. Kalau ini sih bagus dengan mengangkat cerita dar Jepang.”

Selain keberhasilan tokoh perempuan tua dalam membawakan perannya dan penyajian ending yang membawa penonton larut dalam suasana cerita, musik pertunjukan malam itu juga menjadi salah satu sorotan penonton. Terbukt dengan banyaknya pertanyaan dan apresiasi usai pertunjukan itu.

Slodor, yang punya nama lengkap M. Amin Ardiansyah, juga mengapresiai penyajian musik pertunjukan itu. “Saya suka musiknya, suka banget. Biasanya, setahu saya persepsi saya sendiri, jeleknya anak teater itu kadang musik itu jarang diperhatikan. Kadang suasananya di mana, background pementasannya di mana itu nggak dicari, yang peting musik tegang ya Cuma deng-deng-deng-deng gitu aja. Nggak cari musik tegang dari jawa kan beda, dari sunda juga beda, dari jepang ini juga beda. Jadi mungkin yang keren banget menurut saya ini musiknya. Membantu banget.” Terang Slodor yang duduk berkelompok dengan ketiga kawannya.






Liputan oleh : Hasan Bendrat
Foto oleh : Nasrul Wafi

You Might Also Like

0 comments