Lensa Teater - Dalam bulan Maret 1971, teater Campus IKIP Malang telah mempergelarkan dua drama: “Gelandangan”karya Saki terjemahan Ima Suwandi dan “Taman” karya Iwan Simatupang almarhum, bertempat di gedung KSB Malang.
Dua drama ini sempat mengetengahkan pemain-pemain muda: “Sulistyo Hadi, Endang Susilowati, Jusuf Safii, Lorentia, Haji Firmansjah, Henri Supriyanto, Sutradara: Jasso Winarto.
Beberapa hal yang agak menarik dari pertunjukan ini dan cukup memberikan suatu gambaran kemungkinan yang baik di masa yang akan datang, di mana Teater CampusMalang mempunyai dua fungsi pokok. Ke dalam memberikan landasan kepada para mahasiswa IKIP dan Ke luar mencoba membina publik teater yang masih sangat kurang di Kota Malang.
TEATER CAMPUS Malang, lahir setelah beberapa waktu Jasso Winarto menghadapi kesulitan-kesulitan teknis mengenai pergelaran drama, hingga kemudian ia bertemu dengan pihak team kesenian IKIP Pusat Malang yang mempunyai persediaan tenaga yang cukup banyak dan kesediaan untuk memberikan bantuan dalam segala halnya. Di sinilah Jasso berusaha agar persediaan tenaga teater yang cukup jumlah dan kemungkinannya, menjadi tenaga yang luwes untuk dapat dan mampu mempergelarkan sesuatu yang bagaimanapun coraknya.
Setahun kemudian, barulah dilaksanakan produksi pertama dari Team Kesenian IKIP Malang Pusat dengan dua drama: sebuah komedi dan sebuah tragedi. Dan pilihan atas dua drama ini, dimaksudkan untuk menampung tenaga yang tersedia dan bermacam watak, di lain pihak untuk memberikan kemungkinanndapat diterima oleh publik Malang yang masih harus dirintis dalam kesukaan dan kesediaannya menonton drama.
Pintu terkunci Sesudah Pertunjukan Dimulai
PAGI-PAGI sehari sebelum pertunjukan, anggota-anggota teater ini mulai cemas, terutama pemain-pemain. Karena Jasso dengan melotot mengatakan: Pokoknya, kali ini penonton harus bayar. Musti. Dan pertunjukan akan dimulai pada waktunya. Kemudian pintu dikunci. Yang terlambat boleh pulang kembali atau menunggu sampai pertunjukan bagian pertama selesai. Kita akan coba segalanya dengan tertib. Dan mengusahakan bagaimana orang-orang teater mempunyai penonton yang bersedia membayar. Sebab hanya dengan begini, teater dapat hidup dan berkembang. Tidak hanya menjadi pertunjukan tambahan bagi acara perayaan atau ulang tahun.
Jelas dengan percobaan ini, bisa dibayangkan oleh pemain-pemain drama ini, bahwa kemungkinan penonton hanya akan berjumlah belasan orang. Dan bagi pemain yang masih baru ini, jelas merupakan hal yang terasa sengsara.
Jelas kalau sengsara: setahun mereka berlatih dengan pengharapan bahwa satu ketika mereka akan mendapatkan simpati dan kenangan dari penonton yang penuh sesak berturut-turut. Kini dihadapkan pada satu kemungkinan, penonton hanya sebelasan orang. Tetapi Jasso tetap menekankan: Penonton harus bayar. Tidak dengan cara ini, apakah saudara ingin hanya akan menjadi aktor-aktor perayaan? Aktor-aktor di hari ulang tahun. Aktor-aktor yang hanya akan bisa main di atas panggung karena adanya orang yang sukarela mengeluarkan uang, memberi subsidi. Hingga teater kita selamanya akan menjadi teater ulang tahun, teater hari besar, atau teater subsidi.
Pintu benar-benar terkunci, pada waktunya. Para pemain agak lega karena penonton tidak hanya sebelas orang. Dan tinggal menunggu satu hal lagi. Apakah penonton akan suka menunggu di luar pintu terkunci itu karena terlambat. Ataukah mereka akan beramai-ramai menjebol pintu karena mereka merasa sudah membayar.
Malam pertama pertunjukan. Ternyata tidak terjadi orang-orang menjebol pintu. Mereka rela menunggu. Hanya malam kedua. Penjaga-penjaga pintu terpaksa bingung karena pintu terus-terusan diketok dan kunci pintu terus-terusan diputar-putar. Tetapi sedemikian jauh, tidak terjadi suatu hal yang lebih ribut.
Beberapa hal telah tercapai dengan model Jasso ini. Bahwa penonton telah bersedia membayar, jumlahnya belum mencukupi. Pertunjukan berlangsung dengan tertib. Hingga orang-orang teater tidak perlu cemas bahwa drama yang sekarang ini berkembang dan menurut istilah yang agak mentereng adalah paduan antara seni gerak, seni sastra, seni rupa dan seni suara. Tidak perlu mencopoti paduan ini, jadi seni ulang atau seni belas kasihan.
Sampai waktu pemain-pemain sudah naik ke panggung, penonton masih terpaksa agak bingung, karena panggung yang sudah tidak memakai layar. Tidak memakai alat pengeras suara sebagaimana biasanya Sampai cerita dimulai tidak ada juga kursi atau alat lain di atas panggung. Semuanya imajiner. Tetapi sedemikian jauh reaksi ini, tidak menjalar menjadi hal yang mengganggu. Dan kedua drama ini, berhasil diangkat oleh pemain-pemain Teater Campus Malang dengan baik. Hanya mengenai make-up kurang sesuai dengan kekuatan cahaya lampu yang ada. Hingga garis-garis warna itu menjadi mentah.
Kedua tema yang berlawanan dapat diangkat, sesuai dengan nafas yang tersirat dalam naskah Saki dan Iwan Simatupang Almarhum. Dan publik teater di Malang yang maish biasa dalam keadaan gaduh dalam setiap pertunjukan drama, dapat dikuasai.
Dan publik teater di Malang bolehlah mengharapkan produksi Teater Campus yang akan datang dengan dengan pertunjukan yang lebih baik dan tertib. Sebagaimana tertera dalam programa mereka, produksi kedua dari Teater Campus dalam bulan Agustus yang akand atang merupakan pergelaran drama klasik: Ken Arok-Ken Dedes. Dalam pengolahan baru, baik naskah maupun pemanggungannya.
Suka sama suka
Dalam usahanya membina publik teater yang baik, ternyata Teater Campus Malang melaksanakannya dengan cara yang bersahaja. Tetapi dapat memberi kesan yang penuh simpati.
Yaitu, nampak dalam cara membuka pertunjukan ini. Dan juga dengan cara-cara yang akan datang, di mana Teater Campus malang sudah merencanakan akan bermain di desa-desa, tanpa mengubah atau mengganti pergelaran kedua drama ini, untuk mencoba publik mengadakan suatu pengertian mengenai publik teater di tanah airnya.
“Taman” dan “Gelandangan”, kedua drama pendek ini berhasil diantar dengan sederhana/kata-kata diucapkan oleh seorang gadis mungil yang cukup menyebabkan biji mata penulis bisa jadi batu akik. Itu misalkan, dia berbicara lebih dari satu jam. Karena penulis lupa mengerdipkan mata Antara lain, pembukaan itu mengatakan:
“Oleh karena itu, maka hadirin kami undang ke sini. Bersama-sama melhat permainan kami. Terus terang kami membutuhkan kehadiran para hadirin. Sebab teater bukan lagi teater apabila tidak mempunyai penonton. Kehidupan teater baru tercipta apabila sudah ada kelompok para penonton yang mampu menyenanginya, Kami suka jika diantara kami dan para hadirin terdapat suka sama suka.
Suka sama suka. Dengan kata yang lain agak cengeng cinta sama cinta, memang inilah nafas dari kehidupan teater. Tetapi kisah percintaan dalam dunia teater inilah yang selalu terdapat aksi sepihak atau bertepuk sebelah tangan. Ada kalanya memang disebabkan karena orang-orang teater sendiri belum dapat menyuguhkan suatu pertunjukan yang baik. Tetapi ada kalanya juga orang –orang teater yang sungguh-sungguh dan dengan cara yang sangat sulit, terutama dalam soal permodalan. Masih harus dihadapkan pada kenyataan bahwa orang-orang masih suka merogoh kantong-kantongnya untuk antre di depan gedung bioskop, untuk sebuah pertunjukan film seks yang kini ternyata melanda dengan dahsyat di tanah airnya.
Hingga selalu terjadi lingkaran setan, tanpa diketahui di mana ujung pangkal dan titik pertemuannya. Hingga menjadi kisah percintaan yang subur diantara orang-orang teater dan publiknya.
Merintis ke arah percintaan ini memang membutuhkan waktu. Terutama melihat kondisi daerah-daerah. Di mana kalanagan teater sulit untuk menghadapkan kenyataan dan kebutuhan ini kepada pemerintah daerah. Hal ini memang bisa kita pahami karena pemerintah daerah sendiri sudah tertimbun masalah pembangunan yang kini diutamakan dan kabarnya selalu mendapatkan kesukaran dalam soal keuangan.
Dan kehidupan teater sendiri belumlah mendapatkan tempat, bahwa teater juga merupakan salah satu segi dari pembangunan.
Dalam hal ini, maka perhatian Team Kesenian IKIP Pusat Malang dan langkah-langkahnya yang positif dapat diharapkan merintis kehidupan teater ke arah yang lebih baik. Dan kalau misalkan, andaikata seluruh perguruan tinggi di tanah air mempunyai langkah demikian.
Kisah percintaan antara teater dan publiknya tidak lama lagi akan terjalin dengan mesra.
Teater akan dapat menentukan salah satu jalan untuk hidup sebagaimana harus hidup dan berhak hidup, sebagai salah satu pernyataan budaya.
* Penulis Kirdjomuldjo
Sumber: Harian Kompas, 1 Juli 1971
Artikel di atas pernah diunggah di laman seputarteater.wwordpress.com dan diterbitkan ulang oleh Lensa Teater atas izin seputarteater.wordpress.com
3 comments
Semoga banyak arsip teater di kota Malang dapat terhimpun dan terbagi...
ReplyDeleteAmin. Terimakasih mas Odi atas kerja kerasnya mendokumentasikan Teater Indonesia. Semoga bermanfaat untuk kita semua.
DeleteThis comment has been removed by the author.
Delete