“MENAWARKAN” BRECHT LEWAT PELANGI SENJA; Sebuah Pertanggungjawaban Penggarapan Teater


Kreativitas adalah pemberontakan
Albert Camus

Dan Brecht telah melakukannya.
Sebagaimana kita ketahui, Bertolt Brecht adalah murid Meyerhold, sementara Meyerhold adalah murid Stanislavski. Dari kedua gurunya itu Brecht belajar bahwa kedua genre teater (realis dan biomekanik, dan mungkin juga genre lain) tidak lagi efektif dalam memenuhi kebutuhan seni pertunjukan. Seni pertunjukan hanya menjadi sarana hiburan picisan, murahan dan tidak memberikan efek terhadap penontonnya.
Perkenalan dengan Brecht saya alami sekitar 2 tahun lalu ketika menggarap sebuah pertunjukan kecil pada acara Tuban Art Festival 2016. Ketertarikan itu tentu bukan sebab kerumitan konsepnya, tapi soal keberaniannya dalam menolak konsep para sesepuh teater pendahulunya dan keberpegangannya yang demikian kuat terhadap sebuah ideologi.
Dalam pertunjukan itu saya mencoba menggali konsep Brecht dalam genre teater epik, sekaligus secara personal mengenalnya sebagai manusia. Dalam kurun 2 tahun hingga kini, proses itu terus berjalan. Dan, hasil pengenalan itu saya tuangkan dalam pertunjukan Pelangi Senja, produksi Teater KUTUB 18 Maret 2018.
Saya selalu percaya bahwa naskah teater diciptakan terpisah dari pertunjukan, dengan begitu konsep pertunjukan sama sekali tidak bergantung pada bentuk naskah. Naskah sejatinya hanya menyediakan cerita dalam strukturnya yang begitu sederhana. Pertunjukan adalah perwujudannya secara lebih rumit di tangan sutradara. Naskah Pelangi Senja sendiri saya tulis pada Januari 2017, dengan menggunakan pendekatan drama realis.
Dalam konsep Brecht, setidaknya ada dua hal tabu, yaitu drama dan komedi. Kedua hal inilah yang coba dicegah Brecht untuk sampai pada penontonnya. Lalu kenapa menggarap naskah drama? Di situlah titik tantangannya. Saya ingin sekaligus menantang diri sendiri soal pemahaman dan kemampuan mengaplikasikan konsep Brecht. Dan, pada akhirnya saya memahami bahwa dengan menggarap dua tema tabu tersebut, kita benar-benar akan tahu pemahaman dan kemampuan seorang yang “mengaku” memahami prinsip teater Brecht.
Dalam proses penggarapan Pelangi Senja, tentu proses paling sulit adalah menanggalkan sudut pandang drama realis. Kesulitan kedua adalah bagaimana membagi pemahaman kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penggarapan. Kedua kesulitan ini sejatinya adalah kesulitan utama dalam semua penggarapan menggunakan konsep Brecht.
Kesulitan pertama bagi saya cukup teratasi karena saya telah mempelajari Brecht jauh sebelum memutuskan menggunakannya. Kesulitan kedua menuntut sebuah solusi jangka panjang. Solusi tersebut adalah memberikan pemahaman dan membuka diskusi-diskusi sepanjang proses penggarapan. Karena itulah saya fokus pada penggarapan pemahaman, bukan semata bentuk. Sebagai contoh, 80% proses penggarapan adalah proses memahamkan aktor, sisanya baru ke arah bentuk (blocking dan grouping). Hal ini adalah salah satu metode latihan yang saya modifikasi sendiri berdasarkan kualitas pemahaman anggota tim. Brecht sendiri sama sekali tidak menyinggung itu dalam buku-bukunya.
Setelah membaca demikian banyak tulisan-tulisan Brecht (saya fokus hanya membaca tulisan Brecht karena banyak bias yang dilakukan oleh para pembaca/penyimpul konsep teater Brecht), saya memahami bahwa sejatinya Brecht hanya memberikan batasan berupa tujuan, bukan hal teknis. Hasil pembacaan itulah yang memperingan kerja kreatif saya. Saya “diberikan” keleluasaan oleh Brecht untuk menggunakan konten-konten dan cara pandang masyarakat kita. Bahkan saya merasa, Brecht berkata pada saya, “Yang saya tulis ini cara pandang saya sebagai orang Jerman, gunakan cara pandangmu sendiri.”
Maka Pelangi Senja kami gelar. Sejatinya pertunjukan ini adalah sebuah ambisi untuk mengembalikan literasi di atas panggung. Teater selama ini menjadi semacam mitos yang tabu untuk dipertanyakan keabsahannya. Teater menjadi hukum yang harus dilakukan tanpa boleh diragukan. Maka proses literasi dalam dunia teater sangat perlu digalakkan kembali untuk memungkinkan para pelakunya menggali kearifan. Tanpa proses literasi, sulit sekali menggali esensi dan komparasi dengan apa yang telah dilakukan jutaan orang di berbagai belahan dunia.
Proses literasi inilah yang membawa kami pada seluruh unsur pertunjukan. Konsep rias mengacu pada penerapan rias topeng sebagai dasar konsep alienasi Brecht. Konsep musik adalah konsep musik jebakan dimana di sana menggunakan musik sebagai elemen penarik perhatian sekaligus gangguan. Sementara konsep cahaya adalah fokus pada fungsinya sebagai penerangan, tidak lebih. Dan konsep panggung adalah penerapan dari konsep point of view yang sekarang ini paling banyak digunakan dalam fotografi, yaitu phi-grid. Panggung tidak lagi menggunakan konvensi realis yang dibagi atas 9 petak.
Tentu, proses penggarapan Pelangi Senja masih jauh dari apa yang kami harapkan. Tentu perlu demikian banyak proses penggarapan dan ekperimentasi sampai kemudian menemukan siapa dan bagaimana teater kita. Tapi setidaknya kita sudah memulainya. Mari bergabung bersama kami.


EKWAN WIRATNO
Penulis dan sutradara teater. Aktif dalam pendampingan Teater KUTUB Universitas Brawijaya. Menulis juga naskah teater, puisi, cerpen dan kritik teater. Dapat dihubungi melalui email ekwanwiratno@gmail.com atau nomor handphone 085854888969.

You Might Also Like

0 comments