![]() |
Pementasan Soliloquy: Cerita Cinta Hari Ini (mdinuimansyah/lensateater) |
“Aku ingin pesawat jatuh di
rumahku dan meledak. Lalu orang-orang yang kucintai semuanya mati” – (Soliloquy:
Cerita Cinta Hari Ini – Ruang Karakter)
Lensa Teater - Riuh renyahnya camilan berjibaku dengan diskusi
antar penonton tentang aktivitas keseharian mereka yang menguar di udara
mendadak sunyi ketika dihantam suara pintu masuk yang ditutup paksa kemudian
disambut dengan hadirnya seorang wanita bergaun merah darah yang duduk di atas
kursi roda yang dituntun oleh seorang lelaki berkaus singlet putih membelah
kerumunan penonton menuju ke tengah panggung belakang. Sehitungan kemudian
datang satu-persatu karakter lain berbaju serba putih yang membawa kursi lipat
lalu duduk di beberapa titik sembari melakukan aktivitas keseharian dengan
aksen topeng bermotif kertas koran: menonton televisi, membaca koran, makan,
dan berdandan.
Sejenak penonton sempat berpikir bahwa
pertunjukan dimulai tanpa sambutan pembawa acara seperti pada umumnya
pertunjukan lainnya. Tapi ternyata penonton salah menerka, pasca beberapa
perubahan posisi dan gerak beberapa karakter di awal, muncul seorang wanita
yang kemudian memecah ketegangan atmosfer panggung yang sedari awal diisi
dengan kesunyian itu. Sembari membacakan beberapa peraturan standar dalam
pertunjukan semacam dilarang merokok, membunyikan gawai, dan lain sebagainya,
seorang laki-laki membagikan dan memasangkan mahkota kelopak bunga pada semua
aktor di atas panggung sekaligus mencairkan suasana dengan dialog-dialog yang
cair. Laki-laki itu kemudian berinteraksi dengan penonton. Pertunjukan
berlangsung kembali.
“Soliloquy: Cerita Cinta Hari Ini” adalah
pertunjukan ke-12 yang ditampilkan oleh Ruang Karakter. Pertunjukan ini
berlangsung di Laboratorium Drama Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
pada tanggal 10 Desember 2016. Komunitas Teater yang digawangi oleh Doni Kus
Indarto ini menampilkan fragmen-fragmen hidup yang selalu bersilangan antara
tawa, sedih, amarah, jijik, dan kecewa. Penonton disuguhi permainan peran yang
apik dari Aristia Sri Wahyuni, Bahauddin Tamid, Felice Keraf, Neni Eka, Wahyu
Arianto dan Yuniar Resti.
Dalam ilmu Drama, “Soliloquy” adalah percakapan
antara seorang aktor dengan dirinya sendiri untuk meraba rasa maupun pikiran
yang dia miliki atas sebuah atau beberapa peristiwa yang dia alami. Berbeda
dengan monolog yang memang ditujukan untuk “berbincang” dengan penonton walau
berperan seorang diri, Soliloquy lebih
mendekati kontemplasi, perenungan. Tentu dalam ranah seni pertunjukan, tetap
saja Soliloquy harus diucapkan dengan
lantang agar penonton bisa menangkap apa yang sedang aktor pikirkan atau
rasakan.
Dalam pertunjukan arahan Doni Kus Indarto ini, Soliloquy tidak hanya dilakukan oleh
seorang aktor tapi enam orang aktor. Menariknya, meski dilakukan oleh enam
orang aktor yang sesekali memang bercakap sendiri secara bergantian maupun
dilaukan secara interaktif baik antar pemain atau dengan penonton, rasa
“membincangi diri sendiri” itu tetap kuat. Seolah enam aktor itu adalah
representasi dari organ-organ tubuh yang saling “curhat” atas masalah yang
dialami tubuh tuannya. Mungkin itulah mengapa di awal pertunjukan, salah satu
aktor sempat mempertanyakan kepada penonton apakah kita pernah merenungkan
eksistensi dari tiap-tiap organ tubuh kita. Kenapa bentuknya seperti itu,
kenapa berjumlah tertentu, kenapa letaknya di situ dan lain sebagainya.
Tidak adanya jarak pembatas antara penonton dan
pemain (penonton didudukkan di lantai dalam bentuk ruang pertunjukan “U-Form/Tapal
Kuda”) membuat konsekuensi-konsekuensi tertentu dalam pemanggungannya. Sadar
akan jarak yang begitu dekat dengan penonton sehingga penonton bisa melihat
lebih detail berlangsungnya pertunjukan, agaknya menjadi pertimbangan keputusan
mengapa hampir semua aktor (kecuali perempuan bergaun merah) tidak mengenakan
tata rias—atau mengenakan tapi tipis-tipis. Selain itu, untuk adegan kekerasan
semacam menampar pipi atau menendang beberapa bagian tubuh, benar-benar
dilakukan tanpa menggunakan trik visual yang mengecoh. Sebab dengan jarak
sedekat itu, penonton pasti bisa mengetahui mana yang merupakan ilusi visual
mana yang benar-benar dilakukan. Akibatnya, efek emosional yang dirasakan oleh
penonton benar-benar nyata, penonton sempat terdiam sesaat pasca adegan seorang
aktor menampar aktor yang lain hingga terjatuh di lantai. Jarak estetika
mempengaruhi pertimbangan adegan.
Isu-isu yang diangkat dalam pertunjukan ini,
sepenangkapan saya, masih cukup tajam seperti masalah kekerasan dalam rumah
tangga, efek media informasi yang mempengaruhi perilaku pemirsanya, bahkan
aktualitas masalah salah satu perusahaan roti yang tengah hangat menjadi
kontroversi di pemberitaan media gara-gara terkait peristiwa pembagian roti
gratis saat aksi damai 212 juga tak luput dari eksplorasi Ruang Karakter.
Nama adalah do’a. Agaknya paham ini diamini
benari oleh Ruang Karakter. Sesuai namanya, komunitas ini benar-benar berusaha
untuk menghadirkan “ruang” dan “karakter” bagi penonton. Mereka
mempertanggungjawabkan nama komunitas mereka dengan memberikan “ruang” bagi
penonton yang berasal dari berbagai lapisan kalangan ini untuk mengisi
“karakter” di dalam pertunjukan sejauh yang mereka inginkan. Bagi penonton yang
terbiasa untuk menyaksikan pertunjukan dengan anyaman fragmen-fragmen yang
berbeda-beda layaknya kolase semacam ini, akan mendapatkan keasyikan tersendiri
dalam menganyam imajinasi di ruang-ruang “kosong” yang ditawarkan. Sedangkan
bagi penonton yang terbiasa menyaksikan pertunjukan hiburan yang memiliki alur
linear dengan satu tokoh utama dengan spektakel yang memikat, tetap mampu
menikmatinya melalui berserakannya adegan-adegan yang mengundang tawa—baik yang
disengaja untuk mengundang tawa atau yang tampak jenaka walau sebenarnya itu
adalah adegan yang serius. Tokoh-tokoh yang sengaja tidak diberi nama
memberikan kesempatan penonton untuk mengisi “kekosongan” itu dengan sejarah
mereka masing-masing.
Sayangnya beberapa aktor tampak kurang maksimal
dalam menubuhkan beberapa adegan, khususnya adegan yang dibahasakan dengan
koreografi baik kelompok maupun perseorangan. Ada pesan yang kurang mampu
tersampaikan dengan baik dari pembahasaan tubuh tersebut. Terlihat sekali
pemahaman aktor akan tubuh mereka sendiri yang masih kurang, sehingga tampak
beberapa gerakan koreo yang tidak bernyawa, alih-alih bermakna. Ataukah
jangan-jangan ini adalah strategi lain dari Ruang Karakter untuk lagi-lagi
memberikan “ruang” pada penonton?
Apapun itu, selamat untuk Ruang Karakter!
Tabik!
M. Dinu Imansyah
Malang, 10 Desember 2016
Menjelang tengah malam, pasca hujan.
0 comments