Lensa Teater - Takjub.
Barangkali kata itu yang mewakili kesan penonton yang hadir dalam pertunjukan
Teater Hampa Indonesia kamis malam (08/12/2016) di Gedung Sasana Budaya
Universitas Negeri Malang. Ketakjuban itu mampu menghentikan langkah penonton
sejenak dan membuatnya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pemandangan yang
tersaji adalah kursi yang ditata membentuk setengah lingkaran dan disusun
bertingkat. Pemandangan menyerupai gedung-gedung pertunjukan ideal yang selama
ini masih menjadi harapan publik teater di Malang.
Di hadapan penonton,
tersaji sebuah panggung dengan setting dalam rumah bergaya modern minimalis.
Televisi layar datar di sebelah kiri panggung menghadap sebuah sofa berwarna
krem dengan hambal tebal bermotif dekoratif di bawahnya. Di belakangnya terdapat
sofa merah dengan bantal merah dan sebuah meja berwarna coklat dari kayu.
Sebuah lukisan menempel di dinding ruangan yang berwarna putih di dekat pintu.
Di panggung bagian tengah belakang, sebuah lukisan menjadi pemanis di dinding
tangga yang menghubungkan ke beberapa ruang lain. Dan kitchen set di letakkan
di panggung bagian kanan belakang. Sekumpulan lemari es, rice cooker, lemari
penyimpanan, kompor, westafel, rak bumbu dan rak pot bunga. Di bagian depan,
satu set meja makan berwarna coklat terbuat dari kayu dengan motif kotak-kotak.
Sebuah pot tanaman hias diletakkan di atas meja menyertai piring buah dan
beberapa kotak makanan kecil.
Pertunjukan malam itu
menyajikan lakon Lena Tak Pulang karya Muram Batubara. Naskah tersebut
memenangi sayembara penulisan naskah drama remaja taman budaya jawa timur tahun
2006. Lena Tak Pulang mengisahkan kedua orang tua Lena yang selama beberapa
hari menunggu kepulangan putri semata wayangnya yang minggat. Selama penantian
mereka, dua orang teman Lena datang silih berganti dengan persoalan
masing-masing.
“Lena tidak pulang selama
ini karena Lena merasa tidak punya rumah.” Tukas Lena. Ia minggat lantaran
tempat tinggalnya tak berasa rumah. Tak ada perhatian. Tak ada kasih sayang.
Semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Orang tua yang sibuk dengan
pekerjaan. Sedang Lena harus mengisi hari-harinya dengan jadwal les yang
berjejal. Keluarga mereka adalah potret keluarga kecil di era modern dengan
segala persoalannya.
Pertunjukan dibuka oleh dua
orang pembawa acara. Laki-laki dan perempuan muda. Mereka menyambut penonton
dan memperkenalkan beberapa orang di balik layar dan pihak-pihak yang terlibat
dalam usaha pertunjukan malam itu. Tak hanya itu, mereka berdua juga
memperkenalkan penonton pada property yang digunakan pada pertunjukan malam
itu. Mendemonstrasikan bahwa property yang digunakan sengaja ditata sedemikian
rupa dari bahan pilihan. Asli, nyata. Begitu kira-kira persepsi yang hendak
dibangun.
Si perempuan membuka
kulkas, mengambil botol dari dalam kemudian membawanya ke dapur. Si laki-laki
duduk di sofa, menyalakan televisi. Si perempuan merasa gerah lalu melepas
blezzer yang ia pakai. Menaruhnya di atas kursi meja makan kemudian kembali ke
dapur.
Dialog-dialog meluncur dari
mulut laki-laki dan perempan itu. Ya, mereka berdua adalah Ayah dan ibu Lena.
Pertunjukan telah dimulai ketika dua orang itu masuk. Berperan sebagai pembawa
acara sekaligus kedua orang tua Lena. Sekali lagi, kejutan untuk penonton malam
itu. Sebagai gimmick, adegan itu berhasil menyambut penonton dengan kejutan
yang mengsankan. Namun sayang, kejutan itu berhenti di awal pertunjukan.
Pada adegan-adegan
selanjutnya, tak banyak kesan yang mampu disajikan. Lena Tak Pulang adalah satu
dari sekian naskah yang kuat pada dialog-dialog tokohnya. Dialektika-dialektika
kecil hadir bahkan menjadi ciri khas yang kuat dalam naskah tersebut. Persoalan
definisi, persepsi dan sikap terhadap suatu hal menjadi bumbu sekaligus jalan
bagi berkembangnya konflik yang terjadi. Tak berlebihan jika kita menandai
bagian tersebut sebagai keunggulan naskah ini.
Dalam naskah tersebut,
dapat ditemukan ironi dari dialog-diaog agumentatif yang meski logis namun
terasa konyol dan lucu. Beberapa adegan, peristiwa, yang terjadi hampir sama.
Dan dengan begitu memunculkan tanggapan baik dialog maupun lakuan yang hampir
sama pula. Pengulangan-pengulangan (adegan atau peristiwa) semacam itu menjadi
satu warna tersendiri dalam naskah ini yang, sayangnya, belum bisa dibangun dan
ditampikan dengan optimal.
Lebih jauh, pemeranan yang
ditampilkan terasa tak begitu kuat. Penekanan-penekanan atau penguatan yang
diberikan para pemain justru lebih banyak terlihat sangat teknis, tak
menyampaikan ketulusan rasa atau emosi pada penonton. Selain itu, tempo
permainan terasa begitu lambat. Hingga beberapa adegan terasa agak membosankan.
Dua hal tersebut mampu menjadikan tensi dramatik pertunjukan malam ini terasa
begitu datar. Penonton tak merasakan naik-turunnya tensi dramatik yang dinamis.
Sialnya, justru terjadi lonjakan tensi dramatik dalam adegan-adegan akhir.
Sayang lonjakan tersebut terasa begitu kasar dan menyentak karena adegan-adegan
sebelumnya tak dibangun dengan optimal sehingga tak mampu mengantarnya pada
puncak ketegangan yang alami.
Dan satu kejanggalan telak
dalam satu adegan ketika salah seorang teman Lena bertamu yang (kali kedua) di
hari keempat atau babak kedua setelah lamu mati, tamu tersebut mendapati rokok
yang batal ia sulut masih tergeletak di atas meja. Dan dua kali tamu tersebut
merespon keberadaan rokoknya. Bahkan mengangkat dan menunjukkan rokoknya ke
Ayah Lena.
Peristiwa tersebut menjadi
begitu mengganjal. Sebab tak ada penjelasan baik dialog maupun lakuan bahwa
keluarga itu tak sempat bebersih. Secara sederhana, tiap pagi rumah akan
dibersihkan dari kotoran dan sampah. Apalagi bagi tipe keluarga Lena yang
seolah tertib.
Sayang sekali pertunjukan
(teater) dengan manajemen yang bisa dikatakan berhasil mengorganisir dan
mengelola begitu banyak pihak yang terlibat justru tak menyajikan kualitas pada
sisi paling vital yaitu keaktoran.
Lena pergi atau minggat
karena merasa tempatnya tinggal tak memberikan perhatian dan kasih sayang
selayaknya rumah. Lalu bagaimana jika tempat tinggal itu adalah teater, dan
teater tak menyajikan kualitas keaktoran? (hb/lensateater.)
Malang, 08 Desember 2016
0 comments