Lensa Teater - Ni’am Kurniawan, alumnus Universitas Negeri Malang jurusan
olahraga tahun 2018 itu, terlihat berdiri bersama ketiga temannya usai menukarkan
tiket. Salah satu temannya yang lain sedang mengantre diantara lima loket yang
disediakan penyelenggara. Bersama keempat temannya, Ni’am berangkat menyaksikan
pertunjukan Kentrung dan Operet yang digelar oleh UKM Blero pada Selasa (06/11/2018)
malam tadi di Graha Cakrawala UM.
Malam itu Graha Cakrawala dipadati ribuan penonton. Tercatat ada sekitar 2.399
orang penonton yang hadir. Selain itu, ada sekitar 100 orang yang duduk di
bangku undangan. Angka ini mengalami penurunan dibanding tahun lalu. Pasalnya ada
3000 penonton yang tahun lalu hadir menyaksikan gelaran tahunan ini. Tiket yang
dijual presale seharga Rp. 15.000,- dan Rp. 30.000,- itu tak menghalangi
antusiasme penonton.
Apa yang membuat Ni’am menyaksikan kembali pertunjukan yang digelar oleh UKM
Operet dan Kentrung ini? “Lucu. Kental nuansa budaya juga,” Tutur Ni’am yang
sejak menjadi mahasiswa baru sering menyaksikan pertunjukan yang digelar oleh
UKM Blero.
Berbeda dengan Ni’am, bagi Arga Nur Isnaini, mahasiswi
jurusan sastra inggris angkatan 2016, pengalaman menyaksikan pertunjukan yang
digelar Blero adalah kali pertama baginya. “Untuk refreshing,” kata Arga. Hanya
saja, ia sempat kebingunan harus lewat mana karena kurangnya papan informasi
petunjuk jalan. Sedang di parkiran sebelah selatan juga ramai dibuka
stand-stand kuliner dalam memeriahkan gelaran tahunan ini.
Tak berlebihan memang. Pertunjukan yang sarat dengan humor dan kelucuan
akan selalu ditunggu oleh penonton sebagai sarana hiburan. Hampir sepanjang pertunjukan
lakon “Bambang Mikukuhan” yang disutradarai oleh David Cheng—juga berperan
sebagai dalang dalam pertunjukan ini— tersebut berhasil mengocak perut
penonton.
Lakon itu menceritakan perjalanan Bambang Mikukuhan, putra ragil Aji Soko,
dalam mencari Tumbaling Negoro untuk menyelamatkan Nagari Sumedang dari pagebluk
yang melanda. Perjalanan yang ditempuh untuk mendapatkan Tumbaling Negoro pun
penuh rintangan. Apalagi sejak awal niatan Bambang Mikukuhan sudah ditentang
oleh keempat sudaranya hingga berujung pada peristiwa pembunuhan Bambang Mikukuhan.
Seorang Resi yang melihat Tejo, sebuah cahaya yang menembus kahyangan,
terpancar dari tengah hutan menemukan sosok Bambang Mikukuhan tergeletak. Dari sosok
tak berdaya itulah terpancar Tejo. Akhirnya sang Resi menolong dan menyembuhkan
luka yang diderita Bambang Mikukuhan. Karena secara takdir Bambang Mikukuhan belum
saatnya menghadap Sang Hyang Widhi.
Setelah ditolong oleh sang Resi, Bambang Mikukuhan kemudian dibawa pulang
oleh sang Resi. Ia dipertemukan dengan putrinya yang telah lama memimpikan
sosok bambang dalam mimpi-mimpinya. Mereka menikah. Namun Bambang teringat
dengan misinya untuk mencari Tumbaling Negoro. Ia kemudian berpamitan untuk
melanjutkan perjalanannya hingga menemukan petunjuk bahwa Tumbaling Negoro yang
dimaksud adalah sang Dewi Sri.
Pertunjukan yang digelar sejak pukul 19.00 WIB itu diawali dengan
menampilkan musik kreasi, dilanjutkan dengan kentrung kreasi dan operet. Durasi
pertunjukan yang begitu panjang hingga pukul 23.00 WIB malam itu membuat
membuat beberapa penonton tak bisa mengikuti alur dengan baik. Kemasan yang longgar,
santai, dan penuh lawakan tersebut memberikan kesempatan tertawa, berinteraksi,
bahkan ngobrol antar penonton membuat beberapa ketinggalan cerita. Apalagi porsi
lawakan yang disajikan dalam adegan Ulanga dan Ulangi, dua sosok murid seorang
Resi dan adegan Panjak Sosial juga cukup panjang.
Selain tawa penonton yang terus meluncur, ada juga sorak penonton
menanggapi adegan mesra antara Bambang Mikukuhan dengan sang kekasih. Hampir semua
penonton dibuat gemas dengan adengan mesra mereka menjelang perpisahan. Apalagi
ketika Bambang Mikukuhan mengecup kening sang kekasih. Serentak penonton
bersorak gemas.
Namun, ada sebuah tanggapan berbeda dari Cahyaning. Alumnus UM yang kini
mengajar itu mempertanyakan etika sebuah pertunjukan. “Kalau misalkan itu
ranahnya umum dan memang targetnya dewasa itu nggak papa, tapi kalau ini di
lingkup universitas dan di depan pimpinan itu saya kurang paham, apakah itu etis
atau tidak?” tanya gadis yang biasa disapa Nining ini.
Pertunjukan malam itu memang dihadiri oleh Wakil Rektor III Universitas Negeri
Malang. Bahkan, di adegan-adegan awal, sang wakil rektor yang hadir sebagai
bagian dari pejabat kampus tak luput dari kritikan para pemain kentrung. Seperti
parikan yang dilontarkan panjak yang menyinggung mahalnya biaya UKT mahasiswa.
Menanggapi pertanyaan yang muncul dari penonton, David, sutradara
pertunjukan ini, menyampaikan pada Lensa teater bahwa sebenarnya terjadi mis
dalam adegan tersebut. Dalam perencanaan adegan tidak ada adegan perpisahan
sampai mengecup kening sang kekasih yang dilakukan oleh bambang mikukuhan. “Mungkin
pemain yang terlalu mendalami. Temen-temen yang lain juga pada kaget, lho kok
ada ini?” katanya.
Lakon Bambang Mikukuhan sendiri diambil dari kisah Dewi Sri yang dalam
tradisi kentrung dan pedalangan dianggap sakral. Saking sakralnya, kisah Dewi
Sri hanya dimainkan saat musim Tandur atau tanam padi dan Panen tiba.
Bagi David, ia melihat sebuah kondisi bangsa yang tengah ditimpa pagebluk. Bahkan
pagebluk itu tak hanya menyerang alam secara fisik. Lebih jauh, batin bangsa
ini juga tengah diterpa pagebluk. Moral manusia, David mencontohkan. “Sekaligus
ibarate sebagai tolak balak-lah,” tegas David.
“Ceritanya bagus, mulai dari persiapan penataan panggung, kan, mewah mewah
banget. Secara keseluruhan aku menikmati. Kameranya dan soundnya lebih bagus,
meskipun beberapa bagian kurang terdengar suara pemainnya. Mungkin karena
mixing-nya, ya. Tapi serius tadi itu keren banget.” Tutur Medina yang sudah 2-3
tahun menyaksikan gelaran tahunan ini.
Liputan oleh : Hasan Bendrat
Foto oleh : Nasrul Wafi
Foto oleh : Nasrul Wafi
0 comments