MENJEMPUT BAPAK, MENJEMPUT KEMATIAN



Lensa Teater – Pertunjukan dibuka dengan suara teriakan warga kampung yang mengejar perampok yang menyatroni kampung mereka. Suara genderang ditabuh dengan ritme yang begitu cepat. Beberapa saat kemudian lantai panggung yang beralaskan tumpukan jerami sepanjang 15x5 M dan membelah penonton dalam dua sisi tersebut ditimpa cahaya merah. Melompatlah seorang perampok bertopeng yang melarikan diri. Disusul seorang pemuda yang melompat dan berlari mengejarnya. Terjadi perkelahian sengit diantara mereka. Sampai akhirnya sang pemuda berhasil melepas topeng perampok itu.

Adegan itu terjadi dalam sebuah pertunjukan teater yang bertajuk “Menjemput Bapak”. Pentas yang digelar oleh Teater Pelangi dalam gelaran pentas produksi yang ke-24 tersebut berlangsung selama dua malam, Selasa-Rabu (30-31/10/2018) malam kemarin di gedung Sasana Budaya UM.

Naskah ini mengisahkan perjalanan seorang pemuda bernama Bara yang mencari bapakknya. Sang bapak yang telah puluhan tahun meninggalkannya bersama sang ibu ternyata menjadi pimpinan sebuah kelompok perampok. Dalam aksinya, para perampok itu menjarah harta orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.


“Kalau bukan karena bapakmu, mungkin aku masih menjadi gelandangan sampai hari ini. Yang tidak tahu besok akan makan apa.” Ungkap salah seorang rampok.

“Dan aku, kalau bukan karena bapakmu yang sudah kami anggap bapak sendiri, mungkin aku sudah mati lantaran dibunuh oleh bapakku sendiri.” Timpal seorang rampok perempuan.

Menjemput Bapak merupakan naskah yang diadaptasi dari naskah Titik Didih Manusia yang dipentaskan dalam ajang FESTAMASIO ke-8 di Universitas Negeri Makassar pada 2017 silam. Kedua naskah tersebut ditulis dan disutradarai oleh M. Hafidz Fadli yang akrab disapa Tepeng.

Dalam pertunjukan kali ini, Tepeng memutuskan untuk mengadaptasi Naskah tersebut karena beberapa pertimbangan. “Awalnya kami ingin mementaskan kembali naskah itu (Titik Didih Manusia), tapi karena personil yang dulu terlibat dalam proses sudah banyak yang hilang, kemudian kami coba dengan personil baru. Tapi ternyata dalam proses itu kami rasa tidak cocok, tidak sesuai ekspektasi kami, kami kemudian memutuskan untuk mengadaptasi naskah tersebut.” Jelas Tepeng dalam diskusi sarasehan di malam kedua.

Menanggapi pertunjukan itu, Dr. Ririe Rengganis, S.S., M.Hum., Dosen Sastra Indonesia UNESA yang hadir di malam kedua itu berpendapat bahwa isu yang disajikan dalam pertunjukan tersebut terasa begitu aktual. “Pesan yang disampaikan cukup bagus. Isu tentang banyaknya orang yang bicara kebaikan tapi lupa bagaimana cara melakukan kebaikan terhadap orang-orang terdekat mereka.” Tuturnya.

Hanya saja, lanjut dosen yang hadir bersama 62 mahasiswanya tersebut, secara struktur, masih belum bisa kita lihat jelas drama ini berjenis dan bergenre apa. Baik dari segi settingnya belum bisa kita identifikasi dengan jelas ini arahnya kemana. Ini mau dibawa ke tragedi atau komedi, juga belum kuat karena baik peran aktor maupun permainan yang disuguhkan tidak saling mendukung. Jadi kurang maksimal.

Pernyataan di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Moehammad Sinwan, yang akrab disapa lekboss, dalam diskusi sarasehan pertama. Ia menyatakan bahwa logika yang membagnun pertunjukan tersebut kurang jelas. Premis-premis yang dibangun saling bertentangan. Dan ini juga berakibat pada segala yang dihadirkan di atas panggung. Secara teknis mungkin tidak ada kendala, Tepeng mencoba bermain dengan setting dan permainan aktor, tepapi justru pada kedalaman isi dari pertunjukan ini yang harus diperhatikan. Apa kita akan selamanya terjebak pada wilayah-wilayah teknis, permukaan. Sedang kita mengabaikan persoalan-persoalan yang lebih esensial.

Dalam diskusi sarasehan kedua, Tepeng mengungkapkan bahwa dalam penggarapan naskah ini ia bertumpu pada gaya roman pujangga baru yang banyak ia temukan pembunuhan tokohnya. “Tapi mungkin karena kurangnya keratifitas saya, jadi dalam pertunjukan ini cara saya membunuh tokoh-tokoh itu terasa monoton.”

Di awal pertunjukan penonton disuguhi dengan adengan perkelahian yang mendebarkan. Koreografi yang menarik didukung musik yang begitu memacu adrenalin para penonton. Pertunjukan ini diwarnai dengan begitu banyak adegan perkelahian, pembunuhan, sampai adengan penghakiman warga pada seorang perempuan yang ditinggal suaminya menjadi perampok, ibu yang merindukan putranya berbuntut pada tragis bunuh diri seorang ibu. Kegamangan dan kerinduan seorang anak pada orang tuanya dan kerumitan konflik antar tokoh mengisi tiap adegan dengan padat.

Jika dalam proses selanjutnya dilakukan kajian yang lebih luas dan mendalam terhadap latar cerita, penguatan motif masing-masing karakter dan penguatan pada titik-titik penting dalam sebuah adegan, mungkin pertunjukan yang berdurasi kurang lebih satu jam ini akan terasa lebih logis, kuat dan menggigit.






Liputan oleh : Hasan Bendrat
Foto oleh      : Zulfan Bahtiar

You Might Also Like

0 comments