­
­

CATATAN ATAS MONOLOG KUCING HITAM


Lensa Teater - Kucing Hitam meneror dan menjejalkan ketegangan serta pertanyaan-pertanyaan. Pertunjukan yang digelar oleh Teater Hampa Indonesia itu diangkat dari Karya Edgar Allan Poe. Diperankan oleh Khwarizmi dan disutradarai oleh Yosa Batu pada 6 Maret 2018 di gedung Sasana Budaya UM.

Kali pertama ngobrol dengan Sam Yosa di kedai kopi Omah Kayu tentang garapan terbarunya, yang terbersit dalam benak saya adalah tugas berat Sang aktor untuk “kawin” atau “dikawinkan” dengan kekuatan (dan saya berdoa semoga bukan arogansi) setting, visual dan musik yang pastinya diharapkan kualitas “mautnya” bagi siapa saja yang pernah bersentuhan dengan karya-karya pertunjukan teater sutradara berambut gimbal itu.

Kemudian saya membaca ulang naskah Kucing Hitam dan beberapa karya pendek Pakde Poe lainnya berkenaan dengan dorongan kuat untuk menikmati teater “panas” ala Sam Yosa ini di kota dingin yang belakangan ini pertunjukan teaternya ikutan menjadi dingin juga.

Ada beberapa pembacaan atas naskah ini yang bisa saya garis bawahi. Absennya penamaan para tokoh utama selain nama Pluto, Si Kucing Hitam, adalah hal yang sangat menarik sebagai titik awal pembacaan naskah Kucing Hitam ini. Dalam mitologi Yunani, Pluto atau juga disebut Hades adalah dewa penguasa alam bawah tanah atau alam kematian. Pakde Poe yang terkenal sebagai “Dewa” aliran Romantisme Amrik begitu mahirnya menyajikan simbolisme dan naturalisme dalam karya-karyanya. Imajinasi saya langsung meliar, berpusar pada tema-tema bernyawakan Kematian, Teror, Subconciousness, Subliminal minor/major depression stages, Mental breakdown, Psychoanalysis, Persephone, Kursi listrik, Kekuatan sihir, bahkan Kekayaaan dan Kemakmuran (karena Pluto juga bisa diartikan Plauton-Plautus-Plutus, dewa kemakmuran). Pilihan naskah yang sangat menjanjikan atas kemungkinan petualangan-petualangan penafsiran dan presentasi.

Sasana Budaya, sebuah gedung pertunjukan yang sangat saya kenal karena hampir semua pertunjukan teater warga Universitas Negeri Malang digeber disana, sangat tidak bagus untuk saya karena rasa familier ini bisa membuat mood saya bergeser ke pertunjukan-pertunjukan sebelumnya.

Malam itu terasa sedikit aneh karena tidak saya temukan jumlah penonton membludak seperti pertunjukan sejenisnya di gedung itu. Apa mungkin karena tiket OTS 25.000 itu penyebabnya? Mungkin iya karena ukuran “standar” tiket pertunjukan kampus dimulai dari gratis sampai mungkin kisaran Rp. 10.000. Saya jadi bisa sedikit bernafas lega karena harga tiket ini sekaligus bisa menjadi filter kualitas penonton. Minimal akan jauh tereduksi dari penonton kere hore apalagi sukur rame yang akan datang malam itu.

Kali ini tidak ada sambutan setting “luar biasa” di depan gedung. Hanya fasilitas foto booth yg entah sejak kapan sering muncul di pertunjukan-pertunjukan teater. Mungkin karena kebutuhan penonton akan kesenian sudah berafiliasi dengan kebutuhan eksistensi media sosial. Hanya ada seekor kucing tidur-tiduran di depan gedung, sayangnya juga tidak berwarna hitam dan tidak bermata satu.

Masuk kedalam gedung juga masih belum ada “kejutan”. Saya jadi sedikit bertanya-tanya, “Ada apakah dengan Sam Yosa?”

Tapi ada yang sedikit menarik, tempat duduk penonton dibedakan berdasarkan dua “kasta”. Kaum lesehaners dengan fasilitas karpet dan kaum undangers (mungkin) dengan fasilitas kursi. Kedua tempat duduk itu dipisahkan dengan rantai (sempat juga saya periksa jenis materialnya).  Saya sempat-sempatkan berusaha memahami apa maksud pembedaan yang sedikit “mencolok” ini. Apakah pihak penyelenggara dapat titipan sutradara agar menghidupkan efek “alienasi” pada penonton? Sehingga akan ada sebuah efek “keterwakilan” pada apa yang dialami Sang tokoh? Entahlah, mungkin ini hanya efek pencarian “kejutan” pra-pementasan atau pengodisian yang memang saya harapkan dari awal.

Nah, saatnya menikmati menu utamanya. Ada dua panggung dan dua orang aktor dengan dua jenis elevasi berbeda yang dibangun dalam gedung Sasana Budaya. Saya kira panggung utamanya pastilah yang ada di depan sedangkan panggung belakang adalah panggung tambahan.

Ada rangka kubus dari (semacam material) aluminium putih dengan potongan tisu di ujung atasnya dan gulungan tisu di bawah setiap tiangnya. Ditengah-tengah frame putih (yang terkesan ringkih) duduk seorang aktor di atas kursi lipat yang telah dibuang busanya. Ada semacam upaya untuk merubah kursi itu menjadi bersifat logam seperti frame-nya.

Aktor duduk bertelanjang dada dengan mememakai celana dan sepatu putih. Dominasi warna putih ini seperti memberikan petunjuk akan ada banyak porsi pada permainan tata cahaya di pertunjukan ini. Aktor sebagai kanvas tata cahaya.

Tubuh bagian atas Sang aktor dipenuhi tatto (temporer) dengan berbagai tribal dan simbol. Mungkin saya akan bisa menikmati secara lebih detail jika ada rekaman pertunjukan ini. Tapi yang sangat mencolok adalah tulisan besar SOCIAL SINS. Ingatan saya langsung merujuk pada Seven Deadly Sins-nya Evagrius Ponticus atau Seven Social Sins-nya Mahatma Gandhi.

Frame kubus alumunium yang dipakai terasa memberikan kesan Claustrophobia, ketakutan akan ruang sempit. Bayangan saya Si tokoh sedang dipenjara dan menunggu hukuman mati di kursi listrik, karena Wariz, Sang aktor, juga bercukur plontos.

Saya mengangguk-angguk kecil sambil mengamini penempatan penonton reguler lesehan dan penggunaan pembatas rantai (yang sayangnya plastik) memang disengaja menimbulkan kesan penyempitan space dan athmosphere pertunjukan.

Akan tetapi beberapa lakuan dan emosi yang dibawakan Sang aktor seperti terlepas dari kesan anti-kebebasan. Gestur-gestur aktor yang cenderung besar dan lambat, moving aktor yang bahkan keluar dari dinding imajiner yang dibangun dalam frame menjadi “skandal” bagi konsep yang hendak dibangun. Atau mungkin, sekalian saja dibangun semacam “kerangkeng”, bisa dalam bentuk jeruji atau kaca.

Serta-merta saya mengimajinasikan kemiripan gaya Sam Yosa dengan desainer panggung handal Esmeralda “Es” Devlin yang juga fasih menyihir penonton dengan keajaiban visual. Presentasi visualnya sangat naratif. Sam, aku bocahmu!

Penggunaan materi kaca mungkin akan memberikan akses lebih pada fleksibilitas presentasi visual yang dibangun pada panggung pertama. Tapi yang paling memberikan efek teror visual  adalah panggung kedua. Sangat menyita perhatian dan berbagai pertanyaan atas apa yang akan terjadi disana. Pikiran dan perhatian saya terus menerus tersedot kesana. Mulai semacam simbolisasi badan wadag (kasar) dan badan halus (psikologis) dari tokoh, sampai kemungkinan lintas dimensi.

Saya akui hanya sedikit sekali melihat aksi Wariz di atas panggung. Dan bisa saya katakan mungkin pertunjukan kemarinlah yang terbaik. Ada upaya untuk memberikan efek depresif dan Dissociative Identity Disorder (DID) pada penokohan. Namun entah mengapa terasa masih berjarak. Apakah Si aktor kurang memaksimalkan riset dan observasi pada lakuannya di panggung? Sehingga saya merasakan seharusnya masih bisa lagi mempertajam efek “presence” tokoh pada panggung kubus imajinatif itu. Entahlah, mungkin hanya sutradara dan aktor yang bisa menjawab.

Selanjutnya yang mungkin bisa digali kembali adalah masih belum matangnya ketubuhan sang aktor. Ada banyak gesture dan moving yang terasa berjarak dengan tokoh. Sehingga peristiwa ketubuhan-nya terasa lemah atau bahkan cenderung tidak terwujud. Meskipun hal ini bisa sangat subyektif sekali. Tapi bila ternyata tidak maka mungkin lakuan olah tubuh halus ini yang bisa dipertajam. Mungkin landasan pemahaman dan keakuratan pijakan emosional yang memicu bergeraknya tubuh seorang aktor masih belum dimaksimalkan. Apalagi tuntutan gerakan teknis diluar konflik yang dibangun oleh plot bisa mengendorkan “kejumbuhan” aktor dan tokoh.

Pada saat aktor melilitkan tisu ke sekeliling kursi dan mengikatkannya pada empat tiang kubus, terasa sekali keberjarakan aktor dan tokoh, meski sedikit terkamuflase dengan ritme dialog yang sengaja dipercepat. Pengejaran efek dinding tembok yang terbongkar, memunculkan wujud kucing hitam, sekaligus menahbiskan kesatuan tokoh-kucing hitam-kucing hitam-tokoh memang menjadi bagian vital dalam pertunjukan ini. Tapi saya bisa membayangkan lakuan ini menjadi peer yang sangat berat bagi Si aktor. Sam Yosa, samean kejam! Hehe.

Menilik tata artistik dan musik, saya masih menjagokan tata visualnya. Tata pencahayaan yang menurut saya hendak memberikan efek Psychedelic sukses membawa saya terjun dalam efek halusinasi dan “bencana alam” psikologis tokoh. Apalagi ketika Si aktor memakai baju yang juga berwarna putih, maka efek itu semakin terasa kuat.

Pada akhirnya, ketika panggung kedua (belakang) beraksi, terjawablah sudah kepiawaian sutradara dalam urusan beginian. Tapi saya tidak akan membahasnya disini karena saya merasakan pertunjukan di panggung kedua seperti terpisah dari panggung utama. Meskipun ada komunikasi verbal di antara keduaanya. Jujur saja, meskipun saya jauh lebih menikmati bagian kedua ini dan mungkin lebih banyak lagi yang bisa saya bagi disini. Tetapi keberadaan panggung kedua ini cenderung menjadi semacam pengejaran “kepantasan” durasi pertunjukan dan harga tiket.

Mengenai tata musik, saya tidak sepenuhnya merasakan sinergi dengan kejadian di panggung. Secara keseluruhan masih terasa “bright.” Apalagi bagian ending dengan koor vocal opening Bohemian Rhapsody yang terasa ceria meskipun sangat sesuai dengan kentalnya konsep Bohemian di panggung belakang. Tapi ada yang super keren pada tata musik pertunjukan ini. Suara monoton dan terasa sangat mekanis dari arah belakang penonton itu menjadi hal yang “mahal.” Karena menurut saya, dari sanalah tekanan teror itu dibangun menjerat penonton. Sebuah eksekusi musik yang brilian. Dibangun dari awal sampai akhir pertunjukan. Dengan volume dan lokasi sumber suara yang pas. Mengisi celah-celah kekosongan dramatik peristiwa panggung. Iki ampuh sam Yosa.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan menyoroti beberapa komentar miring beberapa teman tentang harga tiket yang menurut mereka “tidak umum.” Saya katakan bahwa pertunjukan malam itu sudah sangat layak tiketnya dibanderol dengan nominal segitu. Suwon!

Penulis : Sigit Priyo Utomo. Pegawe Band AnormA, Tukang gerak Maju Jaran, Panjak gong Jimoji, Pemain ludruk Kuwalisi Kendho Kenceng, Pengasuh Kandang Kancil, Bapak’e Gendhis.

You Might Also Like

0 comments