Memperkenalkan PASAR MONOLOG



Mau apa dengan ‘Pasar Monolog’?

Apakah Pasar monolog ini akan membangun kompetensi di era revolusi industri 4.0? ataukah istilah pasar ini lugas akan ditafsir menjadi  transaksi, atau justru lebih kepada menciptakan? Sederhana saja, menyikapi fenomena terkini diperlukan kewarasan dan ketenangan dalam bertindak. Mungkin juga konsep tersebut terlalu vulgar dan ndakik. Tetapi respon atas tuntutan mapan di era milenial atau disebut digital native, telah menuntun manusia untuk menguasai segalanya menjadi kepastian. Era milenial menuntut generasinya untuk tampil secara unik. Lalu, apakah teater tidak bisa mapan, dengan caranya sendiri?

Jangan melihat sebagai ancaman tetapi lihat peluangnya. Keyakinan positif ini barangkali yang mendorong munculnya perbincangan ‘eplekenyes’ teman Kelompok Bermain Kangkung Berseri (baca; KBKB) pasca menunaikan latihan rutin. Bukan berarti juga sedang merespon ide secara serius, ngotot, metenteng tentang fenomena disruptive innovation secara langsung.  Lalu, tindakan seperti apa yang mungkin perlu disegerakan, hal inilah yang mendorong teman KBKB untuk berbuat sesuatu. ‘Pasar Monolog’ akan hadir melalui respon hari penting dalam sejarah bangsa Indonesia, oleh karenanya event ini memiliki potensi muncul ber-sesi-sesi.

‘Pasar Monolog’ Menciptakan ruang kreatif bersama

Istilah Pasar menjadi konsep titik tolak kesadaran melakukan transaksi bertemunya karya secara bersama-sama. Dorongan untuk bertindak secara sadar bersama-sama, melakukannya bersama, dan dengan bersama seolah lebih ringan dalam mencipta sesuatu. Pasar monolog hadir menciptakan ruang gerak teman-teman teater untuk lebih luwes melakukan dan merespon segala hal. Kesadaran melakukan bersama-sama sekaligus membangun atmosfir berkesenian secara bersama pula, menjadi sebuah tujuan yang sengaja diusung oleh teman-teman teater di Malang. Ruang gerak atau disebut ruang kreatif menjadi titik tolak lahirnya karya yang banyak bermunculan. Membangun iklim berkarya yang leluasa menampung ide menjadi lebih liar dan terwadahi dengan bentuk atau pilihan bermonolog. Mari kita memulai Pasar Monolog sesi #1 dengan menyambut hari Kartini secara sederhana. Jangan Lewatkan! (Leo Zainy)


Konsep Sederhana Pasar Monolog “The End of The Expert”

Konsep ini sengaja digodok bersama dan menjadi sebuah catatan-catatan, dan selanjutnya atas kesadaran individu, teman KBKB Menangkap, mengolah dan menulisknya kembali.

“Berkarya adalah upaya untuk menarasikan fakta dan peristiwa yang terjadi di alam. Konsep mimetic ala Abrams ini adalah landasan perkaryaan yang “pernah” merajai jagat penciptaan kreatif. Abrams mencoba melihat relasi triangulatif (alam-karya-pengarang) sebagai dialektika pengarang membaca alam. Masihkah konsep mime atau tiruan ini berlaku, ketika karya tidak lagi mampu menangkap dan mengungkap realita; ketika imaji tidak lagi memiliki kemampuan menangkup keliaaran faktual; ketika kebenaran tidak berwajah tunggal melainkan memiliki aneka rupa; ketika eksistensi kenyataan dibangun dari kemayaan; dan banyak ketika-ketika yang lain?

Pertanyaan di atas telah menjadi bidan kelahiran Pasar Monolog “The End of The Expert”. Laku karya yang mencoba memandang peristiwa kekinian dengan segala ekses yang melatarbelakangi atau melatardepaninya. Tema ini diambil sebagai respon munculnya dampak revolusi gelombang ketiga yang diramalkan mbah Tovler. Jika revolusi pertama memunculkan peradaban-peradaban maju yang meninggalkan era berburu menuju era bertanam dan berdagang, revolusi kedua menghadirkan friksi diametral antara Kapitalis vs Marxis; borjuis vs Proletar; pemilik modal vs buruh; dan yang terbaru liberalis vs komunis, maka revolusi ketiga menghadirkan migrasi nyata menuju maya, dari nitizen menjadi netizen. Revolusi ini menghasilkan peradaban yang tidak lagi bertapak tanah, sehingga segala rupa kenyataan hidup pada dunia yang nisbi udara. Dalam pandangan rekan-rekan KBKB, Revolusi ini juga membunuh para ahli, karena setiap netizen bisa menjadi ahli. Bahkan lebih jauh, revolusi ini nanti akan membunuh formalisme dan formalitas dalam segala hal. Respon terhadap fenomena inilah yang menjadi dasar pengkaryaan KBKB pada edisi Pasar Monolog “The End of The Expert”. (Muh. Fatonirohman)
                                               
                                                                                                Bergerak menuju puncak. Newton pernah berkata sesuatu bergerak karena adanya gaya. Batu besar yang diam maunya diam terus (lembam), batu tersebut akan bergerak kalau diberi gaya (dipukul, didorong,ditarik)  ketika diberi gaya batu bereaksi membuat tangan sakit, jika dilemparkan ke tangan terlalu keras. Tapi untungnya pendapat Newton dibantah oleh Einstein. Jika Newton mengatakan gerak itu absolut maka Einsten mengatakan bahwa gerak itu relatif. ‘Wah untung onok Einsten’. Einstein pernah mengatakan bahwa gerak itu bersifat relatif. Bumi mengklaim Matahari  bergerak dari timur ke barat, tapi Matahari mengklaim bumilah yang bergerak mengelilingi matahari. Inilah gerak relatif, masing-masing mengklaim dirinya adalah pusat (yang utama), yang lain bergerak disekitar dirinya. Einstein juga mengatakan bahwa waktu, ruang, gerakan, benda semuanya relatif dan tak absolut. Waktu hanya eksis dengan gerakan. Benda  dengan gerakan. Gerakan dengan benda.

Jika ada gerakan, di sana perlu benda. Jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan. Itu merupakan suatu keniscayaan. Jika orang itu naik ke atas langit, dia  melihat pohon-pohon lebih kecil. Jika dia  bergerak ke bumi, dia melihat pohon-pohon itu jadi lebih besar. Kita tak dapat mengatakan bahwa sesuatu itu kecil atau besar secara absolut. Tetapi kita dapat mengatakan itu lebih kecil atau lebih besar dalam hubungan kepada obyek yang lain. Maka tidak perlu  melihat orang lain, supaya sesorang tidak merasa lebih besar atau lebih kecil. Jadi E=mc2. Gerak dengan keyakinan menghasilkan sebuah energi.” (Fammy Asrofy)
                                                                                                           
“The end of the expert Adalah satir tentang eksistensi, atau bisikan pada setiap antar muka, inilah  konstruksi citra oleh besaran kuota dalam gawai gawai masyarakat mutakhir.

The End of the Expert sebagai satir eksistensi dalam masyarakat di era revolusi gelombang ke 4 (empat), sebagai konsekuesi logis dari keberadaan dunia maya atau kecanggihan mesin pencari internet, google misalnya. Dengan mesin pencari ini, informasi apapun dapat dengan mudah diperoleh. Bahkan tidak jarang individu – individu dalam masyarakat ini walau tanpa menempuh pendalaman ilmu atau melalui uji keahlian, dengan mudah dapat dikenal sebagai orang yang sangat “ahli” cerdas, berwawasan, dan ironisnya bagi mereka yang secara faktual keilmuan ataupun tataran praktis sedemikian ahli bisa saja tenggelam dan tertuduh sebagai pelaku plagiarisme, karena para penghuni dunia maya telah mengenalkan keahlian itu dengan menggunakan dirinya sebagai model eksistensi bidang keilmuan/keahlian tersebut.

Untuk mempertegas pembacaan ini, tidak salah jika meminjam pembacaan Baudrillard tentang perkembangan ilmu dan teknologi di era mutakhir ini, yang secara praktis menjadi perpanjangan organ tubuh atau sistem syaraf manusia, bahkan dapat lebih fantastis lagi, yakni mereproduksi realitas, masa lalu dan/atau nostalgia; dengan citra-citra buatan; menjadikan fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan yang seolah tak terbantahkan; hingga pada akhirnya melipat ruang dan realitas ke dalam gawai gawai yang ada dalam saku celana kita.

Realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan daripada fakta. Dan mimpi lebih dipercaya daripada kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang berlebih, melampaui,  meledak, dan semu.

Inilah masa ketika realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu sendiri. Yakni, era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi.

Sebagaimana yang disebutkan Piliang dengan cara mereduksi dan mengembangkan konsep-konsep yang dibangun Baudrillard, bahwa wacana simulasi adalah sebuah kondisi yang dibangun oleh model-model produksi dan reproduksi dari berbagi macam tanda, citra, dan kode seni. Semantara kondisi hiperrealitas adalah wacana yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah pengalaman kebendaan yang merupakan konsekuesi logis dari prinsip simulasi. Yang ditandai dengan bangkrutnya makna pertandaan dan realitas, yang telah diambil alih oleh apa yang disebut permainan bebas penanda. Dengan dirayakannya  reproduksi obyek-obyek (simulacra) yang tidak lagi mendasarkan pada referensi yang ada di dalam sistem relasi sosial, akan tetapi obyek-obyek yang diciptakan berdasarkan meleburnya realitas dengan yang tidak pernah ‘ada’.

Perkembangan jaman yang ditopang oleh teknologi informasi yang mutakhir ini, secara pasti telah menggeser pemahaman/pandangan atas definisi citra. Citra, dalam abad informasi dan citra dewasa ini, seakan-akan telah menyatu dengan teknologi pembentuk citra sendiri. (Sawir Wirasto)



You Might Also Like

0 comments