MERAYAKAN HARI TEATER DENGAN (BELAJAR) DARI ARIFIN C. NOER


Lensa Teater - Arifin C. Noer pernah mengatakan “Setelah saya sekian tahun menekuni kesenian, saya bertanya apakah tetangga saya pernah nonton sandiwara-sandiwara saya?” Pertanyaan itu sepertinya sangat bersahaja sekali, tetapi sebaliknya mengandung persoalan kegelisahan seorang seniman yang mempertanyakan apakah karyanya memiliki arti bagi masyarakat atau tidak.
Pada perayaan hari teater kali ini, mungkin para seniman teater lebih penting memikirkan pertanyaan di atas, daripada soal kotak kue yang tidak penting dipersoalkan. Kenyataanya,masalah kemanusiaan bukan hanya menjadi bagian dari kepedulian para ahli ilmu sosial, akan tetapi para sastrawan juga seniman pun melalui karyanya mempunyai tempat menyuarakan pandangannya mengenai persoalan hidup. Mereka dengan kemampuan dan daya kreasi yang tinggi dapat memberikan alternatif pemikiran mengenai masalah-masalah di masyarakat. Karya drama sebagai pertunjukan dapat berupa perjalanan hidup. Pelaku dapat diilhami pengalaman oranglain, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Karya drama merupakan tempat seseorang masuk ke dalam penyatuan secara spiritual dan humanistik dengan pikiran dan kepercayaan.
Jika kita pernah membaca naskah Yunani yang berjudul ‘Raja Oudiphus’ Sopokhles  (49-405 M) penulis tragedi terbesar dari Yunani, bahkan mungkin terbesar sepanjang zaman. “Raja Oudiphus” menjadi sebuah drama yang begitu melengenda dengan kisahnya yang tragis. Sebuah kisah tentang kehidupan anak manusia yang menjalani hidup sangat mengenaskan. Tokoh sang anak yang rela membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Dalam naskah tersebut dikisahkan seorang pangeran yang bernama Oudiphus dirundung pilu karena menurut peramal sang ahli nujum, bahwa kelak Oudiphus akan membunuh ayahnya sendiri dan mengawini ibunya. Ia akan pergi meninggalkan ibunya dan bermukim di sebuah desa yang sangat jauh, Oudipus juga mengalami cacat akibat tertabrak sebuah kereta. Ayah Oudiphus menjadi seorang raja yang kejam yang berkuasa serta menguasai banyak negara. Secara tidak sengaja Oudiphus pun menjadi seorang yang pemberani dan mengalahkan sang raja yang kejam tersebut. Seorang pangeran yang besar dan tinggal di sebuah desa kecil yang meninggalkan kerajaan ayahnya sehingga membuat lupa bahwa yang dibunuh adalah ayahnya sendiri. Oudiphus pun mengawini permaisuri yang tidak lain adalah ibunya sendiri.
Cukup banyak drama kanon yang dihasilkan dari para penulis Yunani masa itu. Tradisi teater yang cukup lama berlangsung, hingga tahun 291 sesudah masehi. Memang masa itu cukup banyak kekuatan naskah-naskah yang mampu memberikan sumbangsih pada dunia kenyataan. Lalu bagaimana dengan naskah dan pertunjukan teater (kita) hari ini? Bagaimana kita merayakan hari teater, sedangkan kita masih bingung tentang karya-karya yang memukau tak pernah pudar dimakan usia. Mungkin kita perlu memperbaiki cara belajar teater, kita.
Belajar dari Arifin C. Noer, seniman yang unggul dan kreatif. Bagi para seniman teater Indonesia, karya Arifin C. Noer sangatlah kanon. Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun, Mega-Mega, Kocak-Kacik, Sumur Tanpa Dasar, dan Kapai-Kapai, dll. Arifin sangat jeli dalam mengangkat isu tentang kemiskinan, kejahatan, dan peristiwa sosial lainnya. Arifin C. Noer mendirikan Teater Kecil yang selanjutnya teater ini dikenal akrab dengan masyarakat. Keakraban masyarakat ini ditengarai dengan debutan awal pementasan sebuah cerita dongeng yang memasukkan unsur-unsur kesenian tradisional, baik lenong, stambul, boneka (marionette), melodi pesisir, wayang kulit, ataupun wayang golek. Unsur kesenian rakyat itu dimasukkan kedalam Teater Kecil sebab menurut Arifin sedari awal kehidupannya juga tak jauh dari lingkungan kejelataan. Taufiq Ismail menyatakan bahwa Arifin C. Noer adalah pembela kaum miskin.
Bertolak dari pemikiran tersebut, kita dapat melihat karya  Arifin C. Noer, betapa besar rasa kepeduliannya terhadap problematik manusia, khususnya mereka yang masuk dalam statistik masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan yang tidak bisa berbicara lagi karena sibuk memikirkan apa yang hendak dimakannya. Pilihan ini nampaknya merupakan suatu bentuk tanggung jawab seniman, dan Arifin C. Noer mencoba mempertegas pemahamannya kepada manusia, khususnya orang-orang yang miskin baik materi maupun rohaninya. Setiap karya Arifin mencerminkan bagaimana Arifin memandang lingkungannya, bagaimana ia menyoroti bangsanya, sosok rakyat kecil yang berjuang mempertahankan hidup, melukiskan hasrat-hasrat, impian, dendam kesumat dan sebagainya.
Keprihatinan Arifin melihat kaum jelata ini bisa kita katakan sebagai protes dia terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang hampir dikalahkan oleh nilai materi, padahal ia selalu memandang manusia sebagai makhluk yang mulia, yang penuh daya sehingga tak seorangpun tak punya hak untuk menghinaka orang lain. Karena itulah, kepekaan dan menyuarakan persoalan yang hidup di masa kini, serta berpijak pada ruang dan waktu yang kongkrit, merupakan landasan keberangkatan kreativitas Arifin C. Noer. Arahnya adalah publik yang lekat dengan dunia yang dikenalnya, sekarang dan kini.

Leo Zainy, M.Pd
Penulis adalah seorang penyuka drama. Tulisan ini menenun dari beberapa catatan para tokoh sastrawan yang juga interes membahas Arifin C. Noer.

You Might Also Like

0 comments