Lensa Teater - Eliminasi adalah pentas produksi ketiga Teater Komunitas atau yang biasa disingkat TeKo. Pentas ini diselenggarakan pada Sabtu 11 Maret yang lalu di aula Dewan Kesenian Malang dan disutradarai oleh Bedjo Supangat. Sebelumnya Teater Komunitas telah mementaskan Panji Anggraini di Batu (2016), dan Kekenceng di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Gedung Kesenian Gajayana Malang, dan Gedung Cak Durasim Surabaya (2015).
Secara personal saya telah mengenal dan berteman cukup lama dengan Bedjo. Dan dari pertemanan itu saya tahu bahwa ketika remaja ia pernah keluar dari pondok pesantren dan pindah sekolah ketika SMA. Dari sini bisa dengan jelas terbaca bahwa ia adalah seorang pemberontak. Jiwa pemberontak ini terus tumbuh dan menjadi kultur personal seorang Bedjo Supangat dan menjadikan pertunjukan yang ia sutradarai kali ini bertolak jauh dari bentuk-bentuk konvensional.
Pemberontakan terhadap bentuk-bentuk konvensional tersebut bisa kita lihat bahkan dari detik pertama pertunjukan dimulai, yaitu ketika aktor masuk ke tengah panggung melewati kerumunan penonton, sambil mengendarai sepeda motor. Dari adegan pembuka, penonton telah digugah kesadaran kreatifnya, dan ditekankan dengan kuat bahwa pertunjukan ini sangat sak karepe dewe. Selain itu, dengan munculnya kedua aktor dari atau melewati penonton ini, sutradara seperti ingin menyampaikan bahwa mereka (aktor) juga berasal dari kita (penonton, atau masyarakat). Dan ini memperkuat nuansa pertunjukan ini yang banyak berbicara tentang diri dan sebuah perjalanan mencapai titik spiritual tertentu.
Dari situ kemudian penonton disodori dengan rentetan-rentetan peristiwa yang terjalin secara non-linear. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah gambaran-gambaran perjalanan aktor sebagai seorang individu. Dan peristiwa-peristiwa tersebut kececeran begitu saja di dalam pertunjukan. Kedua aktor, yakni Siti Nurvianti dan Bedjo Supangat, berlari ke sana-ke mari, saling menjegal, saling mengikuti dan meniru gerakan satu sama lain. Gambaran-gambaran peristiwa personal tersaji sangat kuat di sini. Seperti adegan bercermin, adegan menaiki dan menuruni tangga, juga adegan mencoreti papan dengan kapur dan cat semprot. Adegan-adegan tersebut menciptakan bahasa-bahasa laku dan visual yang misterius sekaligus puitik.
Dalam pertunjukan ini, sutradara banyak mengeksplorasi interaksi antara aktor dan benda, dan menciptakan simbol-simbol yang mempermainkan segitiga semiotik penanda-petanda-referens. Di mana sebuah frame kayu persegi panjang yang berdiri di depan panggung misalnya, seketika bisa menjadi cermin, kemudian menjadi pintu, kemudian menjadi tiang gantungan, tergantung pada bagaimana aktor memperlakukannya.
Pertunjukan Eliminasi ini adalah sebuah pertunjukan yang sangat personal dan emosional bagi sang sutradara, yang saat ini masih berusia 24 tahun. Kesan personal dan emosional tersebut dapat kita tangkap dengan kuat dalam adegan seorang anak lelaki yang dimandikan oleh ibunya. Juga ketika sang lelaki berdiri di depan tali gantung, lalu melepas baju dan menggantungnya di sana. Di sini kita melihat seorang individu yang bukannya ingin membunuh eksistensi dirinya, melainkan melepaskan diri dari sampul luar yang selama ini membungkus dirinya. Adegan ini dilanjutkan dengan kedua aktor merobohkan papan tulis hitam yang sebelumnya telah mereka penuhi dengan coretan-coretan. Lalu tampaklah sebuah kain putih lebar yang membentang di balik papan yang telah roboh. Sebuah tampilan video abstrak warna-warni tersorot ke kain putih. Di sinilah kita kemudian melihat ada dua dunia di atas panggung, yang dipisahkan oleh sebuah papan. Robohnya papan yang sebelumnya membelah panggung depan dan panggung belakang ini mengantarkan kita kepada sebuah dunia yang baru, yaitu dunia yang serba putih.
Dalam konteks panggung teater sebagai representasi dari diri para pelakunya, mungkin kita bisa menyebut panggung depan dan panggung belakang di sini sebagai panggung-luar dan panggung-dalam. Di mana panggung-luar adalah apa yang tampak atau kita tampakkan kepada publik dan panggung-dalam adalah apa yang tak tampak/tersembunyi.
Di panggung-dalam ini, kedua aktor berjalan dan bergerak dalam damai sambil mengenakan sebuah kukusan dan batang bambu di kepala masing-masing. Kukusan dan batang bambu ini bisa jadi merupakan representasi dari Lingga-Yoni, lambang maskulinitas-femininitas yang merupakan simbol dari alat kelamin laki-laki dan perempuan. Dua simbol tersebut kemudian menyatu dan lewat penyatuan ini, masing-masing individu berhasil memasuki dunia yang putih sekaligus warna-warni, yang barangkali adalah simbol dari pencapaian spiritualitas tertinggi.
Walkholiqu a'lam...
Oleh: Bahauddin*
*Penulis adalah pelatih teater di MAN 3 Malang
0 comments