YANG LOKAL, YANG MENYENTUH (Spirit, Bentuk, Dan Fungsi)*


Lensa Teater - Munculnya kesadaran akan kemenarikan pada objek kultur lokal dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, menjadikan pemantik daya kreatif para seniman dan pelaku seni untuk mengeksplorasi lebih mendalam lagi terhadap nilai-nilai tersebut bagi proses kekaryaannya. Daya itulah yang akan mempertemukan dengan kekayaan dan jati diri kelokalannya. Dengan demikian, diharapkan mampu mewarnai cara pandang serta  sikap dalam hidup dan kehidupan pada setiap aspek yang mesti dijalaninya. Di Jawa Timur khususnya, kesadaran tersebut, disambut positif oleh lembaga terkait dan terformulasikan dalam bentuk Pendidikan dan Pengembangan Seni Tradisi (PPST) yang beberapa tahun terakhir ini bergulir di beberapa sekolah sebagai anggotanya  di beberapa Kota dan Kabupaten. Hal tersebut adalah sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan (bagi yang telah pergi) dan bahkan melahirkan karakter manusianya yang berdasar pada kearifannya.
Berdasar pada kenyataan ini, maka seni, khususnya seni pertunjukan secara automatis akan merespon terhadap bergulir dan berkembangnya atas dorongan kepekaan subjektif para kreatornya. Respon seni dalam hal ini, yang memang bergeraknya dalam wilayah kreatif untuk hal yang estetik, mesti tanggap terhadap fonomena sosial dan kultural masyarakat di mana bentuk kesenian tersebut hidup. Seni dan hasil seni tidak dilihat sebagai dirinya ansih, tetapi kebermaknaannya selalu dikaitkan dengan realitas lain yang merupakan bagian dari kehidupan dan dinamika sosial-kultural (Nur Iswantara: 2007). Oleh karena itu, untuk mengkongkritkannya dibutuhkan sikap dan daya kreatif dari para pelaku seni itu sendiri atau seniman-senimannya. Artinya, jika berbicara sikap (attitude) dalam proses kekaryaannya, tidak bisa lepas dan tidak terelakkan dari responsif filosofis terhadap seni itu sendiri (why and why).
Berikutnya, untuk mengkerucutkan pada spirit, bentuk, dan fungsi dari kesengajaan berkarya dan berekspresi, maka penting disadari pula tentang seni sebagai realitas dan seni dalam prespektif keilmuan. Sebagai realitas adalah kebebasan berekspresi dari letupan realita manusia dalam hidupnya. Letupan itu, sesuai kewajarannya tanpa kaedah-kaedah khusus secara teoretik bahkan teknik dalam mengekspresikannya. Bila itu prespektif keilmuan, seni diteorikan sebagai acuan dan pegangan dasar dalam arti teknik dan metode dalam mengekspresikannya, dan juga sebagai kerangka untuk mengapresiasi bagi penikmatnya dan apresiatornya (khususnya seni pertunjukan).
Spirit
Spirit yang dalam arti bahasa adalah “semangat” bergeraknya secara emosional dan merupakan salah satu wujud kongkrit dari emosi tersebut. Ia adalah ruh dari setiap bentuk dan eksistensi, termasuk bergeraknya waktu dalam ruang selalu bersamaan dengan spiritnya. Oleh karena itu, spirit selalu sebagai pendorong utama setiap pergerakan dalam bentuk apapun, dan atau sebagai landasan dasar pada setiap pergerakan yang menyengaja untuk membentuk apapun. Jadi pada hakekatnya, segala bentuk dan eksistensi adalah spiritualitasnya.
Berbagai upaya pencarian dalam karya seni, khususnya seni pertunjukan agar mampu menarik perhatian dan tidak ditinggalkan oleh konsumennya, tapi jika upaya atau pun eksplorasi tersebut mengabaikan sisi spiritnya maka hanya akan menghasilkan kesan fariatif yang tanpa tawaran apaun dan bahkan menjanuhkan bentuk-bentuk tersebut dari fungsinya. Realita ini pula yang menguatkan gagasan dan kongklusi bahwa segala upaya pencarian bentuk tidaklah semestinya mengabaikan sisi spiritnya.
Spirit, dalam uraian di atas adalah spirit kemanusiaan dalam hidup hingga matinya, baik spirit antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alamnya. Lebih jelasnya, pada konteks kesadaran manusia dalam hidupnya selalu termotivasi oleh spirit kebermaknaannya, dalam prespektif sebagai makhluk yang diciptakan. Kesadaran akan kebermaknaan ini pula yang mesti mendorong manusia dalam peradabannya melalui perhatian mendalam terhadap ruang-ruang filosofis, edukatif, kultural, sosial, ekonomi, serta sistem perpoltikan yang ada.
Bentuk
Bentuk menurut kamus adalah bertemunya sebuah “bangun” dan “waktu”, tapi dalam hal ini lebih tepatnya adalah titik temu antara ruang dan waktu karena setiap bentuk adalah ruang yang bermakna dalam prespektif semiotik. Brntuk sekecil apapun dan yang paling sederhana sekalipun dalam seni pertunjukan tidak ada yang tanpa sengaja. Dan kesengajaan itu merupakan kesengajaan penciptaan ruang dalam orientasi waktu yang ditentukan.
Proses penciptaan bentuk dalam seni pertunjukan adalah sebagai wadah dari materi yang hendak disampaikan dengan kemasan artistik, dramatik, puitis, dan filosofis. Oleh karena itu, dalam upaya mencapai kemenarikannya dibutuhkan teknik-teknik mengemas oleh sutradara pertunjukan tersebut. Dengan kata lain, keutuhan dari pertunjukan tidak akan pernah tercapai tanpa kreativitas seorang sutradara sebab munculnya kemenarikan dalam karyanya berangkat dari kesengajaan si kreator itu sendiri.
Pilihan terhadap jenis bentuk yang berfungsi sebagai wadah berangkat dari kesadaran dan kesengajaan akan detail-detail materi yang saling berkaitan agar terkomunikasikan secara utuh baik dilihat dari spirit pemaknaan maupun spirit setting of time, place, and manner-nya. Maka tahapan penguraian terhadap detail-detail dimaksud, melalui konsep serta pendekatannya karena wadah itu adalah dihadirkannya konsep dalam karya. Wilayah penyutradaraan, salah satu yang dijadikan ukuran untuk mengetahui sebagai seorang sutradara yang baik , jika dia memilki konsep, karena salah satu tugasnya adalah menentukan konsep terlebih dahulu untuk dijadikan acuan dalam penyelesaian proses penggarapannya.
Berbicara wadah atau konsep (seni pertunjukan) dalam hal ini, maka runtutan pembahasan berikutnya yang mesti diketahui adalah jenis pertunjukan tersebut, misalnya dalam seni pertunjukan tradisi Jawa; wayang kulit, ketoprak, ludruk, jaranan, dll. Sentuhan kreatif dalam ide-ide penggarapan tidak serta-merta dibebaskan liar hingga lepas sama sekali dari konsep pertunjukan yang sudah dipilih atau disepakati. Artinya, pelaku seni pertunjukan dengan ketajaman subjektivitasnya dalam berkarya tetap tidak mengabaikan kaedah-kaedah pertunjukan yang diusung baik jenis pertunjukan yang sudah ada maupun tawaran konsep pertunjukan yang belum pernah ada sebelumnya. Mengapa demikian? Karena salah satu indikasi keutuhan dan totalitas karya dalam seni pertunjukan adalah kejelian menempatkan ide-ide kretaif dan pendekatan yang diambil sesuai dengan konsep pertunjukannya.
Fungsi
Hasil pemikiran, yang bahkan sudah terwujud dalam suatu tindakan tidak akan pernah sia-sia dan tidak pula mengarah pada hal-hal yang artifisial jika dibarengi dengan kesadaran akan fungsi, namun mampu menjadikan tindakan tersebut lebih berkualitas.  Demikian pula, fungsi dalam seni pertunjukan. Seni pertunjukan dalam prespektif komunikasi sebagai media untuk menyampaikan pesan komunikator pada komunikannya (pelaku pertunjukan pada penontonnya). Oleh karena itu, secara normatif dalam mengemasnya, hal penting yang harus diperhatikan adalah; kepada siapa karya tersebut dipertunjukkan. Perhatian ini merupakan upaya untuk mengetahui karakter para penontonnya baik dalam prespektif sosial, budaya, pendidikan, ekonomi-bisnis, dan bahkan politik.
Terjalinnya komunkasi dalam ruang stimulus-respon baik yang analitis maupun ekspresif jika upaya para pelakunya mampu menyentuh persepsi antara komunkator dan komunikan lewat karya yang disuguhkan. Pertunjukan sebagai fungsi komunikasi, yang juga tak kalah penting untuk dipahami pula oleh para pelaku seni pertunjukan, bahwa komunkasi pada hakekatnya adalah persepsi. Jadi situasi komunkatif antara komunkator dan komunikan bisa terjadi apabila ada kesamaan persepsi.
Performance art, dalam upaya pencapaian konteks art-nya yang dijadikan dasar penataannya adalah indah-fungsional. Maka situasi art yang tercipta dan dapat dirasa oleh penonton lewat visual penataan artistik adalah persepsi artistik. Fisual dalam bentuk adegan yang dijadikan media untuk mengekspresikan dan menyampaikan materi agar dinamis dan menarik harus menguatkan sisi dramatisnya. Maka situasi yang tercipta dan pula dapat dirasa oleh penonton adalah persep tematik dan dramatik. Terciptanya situasi-situasi yang lain baik yang puitis hingga estetik dan dapat menyentuh penontonnya, maka kesamaan persepsi itu terjadi. Dengan demikian, capaian ini dalam karya seni pertunjukan bisa dikatakan selesai sebagai pertunjukan.


Oleh: Sindu**
*) Disampaikan pada Festival Mbois: Workshop Seni Pertunjukan yang diselenggarakan Oleh Divisi Seni Pertunjukan, Malang Creatif Fusion di Dilo, Malang 21-22 November 2016.
**) Dosen UNITRI Malang, Seniman Pertunjukan, Pembina Teater Kopi UNITRI Malang, Pembina Teater Nisbi UNIGA Malang.

You Might Also Like

0 comments