YANG LOKAL, YANG MENYENTUH (Spirit, Bentuk, Dan Fungsi)*
- 10:50:00 PM
- By Lensa Teater
- 0 Comments
Lensa Teater - Munculnya kesadaran akan kemenarikan pada objek kultur
lokal dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, menjadikan pemantik daya
kreatif para seniman dan pelaku seni untuk mengeksplorasi lebih mendalam lagi
terhadap nilai-nilai tersebut bagi proses kekaryaannya. Daya itulah yang akan
mempertemukan dengan kekayaan dan jati diri kelokalannya. Dengan demikian,
diharapkan mampu mewarnai cara pandang serta
sikap dalam hidup dan kehidupan pada setiap aspek yang mesti
dijalaninya. Di Jawa Timur khususnya, kesadaran tersebut, disambut positif oleh
lembaga terkait dan terformulasikan dalam bentuk Pendidikan dan Pengembangan Seni
Tradisi (PPST) yang beberapa tahun terakhir ini bergulir di beberapa sekolah
sebagai anggotanya di beberapa Kota dan
Kabupaten. Hal tersebut adalah sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan
(bagi yang telah pergi) dan bahkan melahirkan karakter manusianya yang berdasar
pada kearifannya.
Berdasar pada kenyataan ini, maka seni, khususnya seni
pertunjukan secara automatis akan merespon terhadap bergulir dan berkembangnya
atas dorongan kepekaan subjektif para kreatornya. Respon seni dalam hal ini,
yang memang bergeraknya dalam wilayah kreatif untuk hal yang estetik, mesti
tanggap terhadap fonomena sosial dan kultural masyarakat di mana bentuk
kesenian tersebut hidup. Seni dan hasil seni tidak dilihat sebagai dirinya
ansih, tetapi kebermaknaannya selalu dikaitkan dengan realitas lain yang
merupakan bagian dari kehidupan dan dinamika sosial-kultural (Nur Iswantara:
2007). Oleh karena itu, untuk mengkongkritkannya dibutuhkan sikap dan daya
kreatif dari para pelaku seni itu sendiri atau seniman-senimannya. Artinya,
jika berbicara sikap (attitude) dalam proses kekaryaannya, tidak bisa lepas dan
tidak terelakkan dari responsif filosofis terhadap seni itu sendiri (why and
why).
Berikutnya, untuk mengkerucutkan pada spirit, bentuk,
dan fungsi dari kesengajaan berkarya dan berekspresi, maka penting disadari
pula tentang seni sebagai realitas dan seni dalam prespektif keilmuan. Sebagai
realitas adalah kebebasan berekspresi dari letupan realita manusia dalam
hidupnya. Letupan itu, sesuai kewajarannya tanpa kaedah-kaedah khusus secara
teoretik bahkan teknik dalam mengekspresikannya. Bila itu prespektif keilmuan,
seni diteorikan sebagai acuan dan pegangan dasar dalam arti teknik dan metode
dalam mengekspresikannya, dan juga sebagai kerangka untuk mengapresiasi bagi
penikmatnya dan apresiatornya (khususnya seni pertunjukan).
Spirit
Spirit yang dalam
arti bahasa adalah “semangat” bergeraknya secara emosional dan merupakan salah
satu wujud kongkrit dari emosi tersebut. Ia adalah ruh dari setiap bentuk dan
eksistensi, termasuk bergeraknya waktu dalam ruang selalu bersamaan dengan spiritnya.
Oleh karena itu, spirit selalu sebagai pendorong utama setiap pergerakan dalam
bentuk apapun, dan atau sebagai landasan dasar pada setiap pergerakan yang
menyengaja untuk membentuk apapun. Jadi pada hakekatnya, segala bentuk dan
eksistensi adalah spiritualitasnya.
Berbagai upaya pencarian dalam karya seni, khususnya
seni pertunjukan agar mampu menarik perhatian dan tidak ditinggalkan oleh
konsumennya, tapi jika upaya atau pun eksplorasi tersebut mengabaikan sisi
spiritnya maka hanya akan menghasilkan kesan fariatif yang tanpa tawaran apaun
dan bahkan menjanuhkan bentuk-bentuk tersebut dari fungsinya. Realita ini pula
yang menguatkan gagasan dan kongklusi bahwa segala upaya pencarian bentuk
tidaklah semestinya mengabaikan sisi spiritnya.
Spirit, dalam uraian di atas adalah spirit kemanusiaan
dalam hidup hingga matinya, baik spirit antara manusia dengan Tuhannya, manusia
dengan manusia, serta manusia dengan alamnya. Lebih jelasnya, pada konteks
kesadaran manusia dalam hidupnya selalu termotivasi oleh spirit
kebermaknaannya, dalam prespektif sebagai makhluk yang diciptakan. Kesadaran
akan kebermaknaan ini pula yang mesti mendorong manusia dalam peradabannya
melalui perhatian mendalam terhadap ruang-ruang filosofis, edukatif, kultural,
sosial, ekonomi, serta sistem perpoltikan yang ada.
Bentuk
Bentuk menurut kamus adalah bertemunya sebuah “bangun”
dan “waktu”, tapi dalam hal ini lebih tepatnya adalah titik temu antara ruang
dan waktu karena setiap bentuk adalah ruang yang bermakna dalam prespektif semiotik.
Brntuk sekecil apapun dan yang paling sederhana sekalipun dalam seni pertunjukan
tidak ada yang tanpa sengaja. Dan kesengajaan itu merupakan kesengajaan
penciptaan ruang dalam orientasi waktu yang ditentukan.
Proses penciptaan bentuk dalam seni pertunjukan adalah
sebagai wadah dari materi yang hendak disampaikan dengan kemasan artistik,
dramatik, puitis, dan filosofis. Oleh karena itu, dalam upaya mencapai
kemenarikannya dibutuhkan teknik-teknik mengemas oleh sutradara pertunjukan
tersebut. Dengan kata lain, keutuhan dari pertunjukan tidak akan pernah
tercapai tanpa kreativitas seorang sutradara sebab munculnya kemenarikan dalam
karyanya berangkat dari kesengajaan si kreator itu sendiri.
Pilihan terhadap jenis bentuk yang berfungsi sebagai
wadah berangkat dari kesadaran dan kesengajaan akan detail-detail materi yang
saling berkaitan agar terkomunikasikan secara utuh baik dilihat dari spirit
pemaknaan maupun spirit setting of time,
place, and manner-nya. Maka tahapan penguraian terhadap detail-detail
dimaksud, melalui konsep serta pendekatannya karena wadah itu adalah
dihadirkannya konsep dalam karya. Wilayah penyutradaraan, salah satu yang
dijadikan ukuran untuk mengetahui sebagai seorang sutradara yang baik , jika
dia memilki konsep, karena salah satu tugasnya adalah menentukan konsep
terlebih dahulu untuk dijadikan acuan dalam penyelesaian proses penggarapannya.
Berbicara wadah atau konsep (seni pertunjukan) dalam
hal ini, maka runtutan pembahasan berikutnya yang mesti diketahui adalah jenis
pertunjukan tersebut, misalnya dalam seni pertunjukan tradisi Jawa; wayang
kulit, ketoprak, ludruk, jaranan, dll. Sentuhan kreatif dalam ide-ide
penggarapan tidak serta-merta dibebaskan liar hingga lepas sama sekali dari
konsep pertunjukan yang sudah dipilih atau disepakati. Artinya, pelaku seni
pertunjukan dengan ketajaman subjektivitasnya dalam berkarya tetap tidak
mengabaikan kaedah-kaedah pertunjukan yang diusung baik jenis pertunjukan yang
sudah ada maupun tawaran konsep pertunjukan yang belum pernah ada sebelumnya.
Mengapa demikian? Karena salah satu indikasi keutuhan dan totalitas karya dalam
seni pertunjukan adalah kejelian menempatkan ide-ide kretaif dan pendekatan
yang diambil sesuai dengan konsep pertunjukannya.
Fungsi
Hasil pemikiran, yang bahkan sudah terwujud dalam
suatu tindakan tidak akan pernah sia-sia dan tidak pula mengarah pada hal-hal
yang artifisial jika dibarengi dengan kesadaran akan fungsi, namun mampu
menjadikan tindakan tersebut lebih berkualitas.
Demikian pula, fungsi dalam
seni pertunjukan. Seni pertunjukan dalam prespektif komunikasi sebagai media
untuk menyampaikan pesan komunikator pada komunikannya (pelaku pertunjukan pada
penontonnya). Oleh karena itu, secara normatif dalam mengemasnya, hal penting
yang harus diperhatikan adalah; kepada siapa karya tersebut dipertunjukkan.
Perhatian ini merupakan upaya untuk mengetahui karakter para penontonnya baik
dalam prespektif sosial, budaya, pendidikan, ekonomi-bisnis, dan bahkan
politik.
Terjalinnya komunkasi dalam ruang stimulus-respon baik
yang analitis maupun ekspresif jika upaya para pelakunya mampu menyentuh
persepsi antara komunkator dan komunikan lewat karya yang disuguhkan.
Pertunjukan sebagai fungsi komunikasi, yang juga tak kalah penting untuk dipahami
pula oleh para pelaku seni pertunjukan, bahwa komunkasi pada hakekatnya adalah
persepsi. Jadi situasi komunkatif antara komunkator dan komunikan bisa terjadi
apabila ada kesamaan persepsi.
Performance
art, dalam upaya pencapaian konteks art-nya yang dijadikan dasar penataannya adalah indah-fungsional. Maka
situasi art yang tercipta dan dapat
dirasa oleh penonton lewat visual penataan artistik adalah persepsi artistik. Fisual
dalam bentuk adegan yang dijadikan media untuk mengekspresikan dan menyampaikan
materi agar dinamis dan menarik harus menguatkan sisi dramatisnya. Maka situasi
yang tercipta dan pula dapat dirasa oleh penonton adalah persep tematik dan
dramatik. Terciptanya situasi-situasi yang lain baik yang puitis hingga estetik
dan dapat menyentuh penontonnya, maka kesamaan persepsi itu terjadi. Dengan
demikian, capaian ini dalam karya seni pertunjukan bisa dikatakan selesai sebagai pertunjukan.
Oleh: Sindu**
*) Disampaikan pada Festival
Mbois: Workshop Seni Pertunjukan yang diselenggarakan Oleh Divisi Seni
Pertunjukan, Malang Creatif Fusion di Dilo, Malang 21-22 November 2016.
**) Dosen UNITRI
Malang, Seniman Pertunjukan, Pembina Teater Kopi UNITRI Malang, Pembina Teater
Nisbi UNIGA Malang.
0 comments