Oleh
Jose Rizal Manua**
Lensa Teater—Pada dasarnya, semua bangsa yang maju dan berkembang di
dunia mengolah keterbatasan mereka sendiri. Keterbatasan yang berkaitan dengan
manusia, alam dan lingkungan. Keterbatasan adalah apa yang mereka pahami,
hayati, cintai dan kuasai. Mereka mengolah alam dan lingkungan (dan bukan
merusaknya) untuk kemaslahatan bersama. Bukan untuk kepentingan orang
per-orang, tetapi untuk kepentingan masyarakat dan rakyat. Dengan berpikir jauh
ke depan, mereka menata negeri. Biasanya alam dan lingkungan yang mereka olah
bukanlah alam yang ramah, tapi bukit gersang yang terjal. Itu sebabnya mereka
sangat peduli pada pelestarian hutan.
Berbeda dengan negeri miskin yang di anugrahi hutan
tropis dan sumber alam yang melimpah. Mereka tidak berdaya mengolahnya.
Kesadaran akan keterbatasan inilah yang membuat Bangsa
Indonesia pernah berjaya sebagai bangsa Maritim yang handal. Sejak masa
Sriwijaya hingga Arung Palaka bangsa Indonesia telah melakukan muhibah sampai
ke negeri Cina hingga Afrika Selatan. Dengan perahu dan tongkang-tongkang
sederhana mereka berniaga dan membuka hubungan kekerabatan. Bangsa Indonesia
juga pernah berjaya sebagai lumbung padi Asia. Swarna Dwipa dan Jawa Dwipa
adalah nama dua propinsi yang memberikan bibit padi unggul kepada Kamboja,
Vietnam dan Thailand. Dan ragam seni budayanya yang unik, otentik dan indah
telah memberi inspirasi bagi banyak Negara di dunia. Tari kecak telah
menginspirasi Antonin Artaud untuk mencipta teater “Cruel” (kekecaman). Bahkan
Robert Wilson terkagum-kagum pada karya sastra I Lagaligo dan kemudian
menggarapnya menjadi pertunjukan yang spektakuler untuk dipentaskan di manca
negara.
Kini
semua kejayaan itu seakan memudar oleh kemajuan jaman dan perkembangan
peradaban.
Menipisnya minat dan kecintaan terhadap segala kearifan
tradisi dan derasnya akulturasi budaya yang datang dari Barat, membuat ragam
seni budaya Indonesia semakin tersisih di tengah masyarakatnya. Masyarakat
beranggapan bahwa ragam seni budaya Indonesia yang tradisional dan klasik
adalah kuno. Sementara apa yang datang dari Barat adalah modern. Kenyataan yang
pahit ini diperparah oleh budaya instant yang mewabah hingga ke pelosok negeri.
Bangsa-bangsa di dunia semakin maju dan
berkembang karena menjaga warisan leluhurnya yang menjadi keterbatasan mereka
kemudian mengolah keterbatasannya itu secara maksimal sehingga keterbatasan
dari warisan leluhur itu menjadi kekuatan yang membanggakan. Sementara bangsa
Indonesia semakin terpuruk dan merana. Karena bangsa Indonesia tidak segera
menyadari keterbatasannya. Tidak segera menyadari apa yang mereka miliki,
cintai dan kuasai. Mereka lebih tergiur oleh segala sesuatu yang berasal dari
barat. Maka dibangunlah pabrik pesawat terbang dan mobil yang semua onderdilnya
diimport. Maka diruntuhkanlah segala bangunan yang berbau sejarah. Untuk
diganti dengan bangunan baru yang semata-mata untuk tujuan praktis dan
ekonomis.
Untuk tujuan praktis dan ekonomis pula, yang membuat
sebuah Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki sulit dilacak nilai-nilai
kesejarahannya. Pusat Kesenian yang pada tahun 70-an menjadi barometer
kebudayaan dunia, kini gedung-gedungnya telah diruntuhkan dan diganti dengan
gedung-gedung baru yang belum tentu lebih representatif sebagai gedung
pertunjukan.
Lalu
bagaimana dengan sejarah yang hilang, apakah dapat tergantikan? Berapa banyak
sudah nilai-nilai kesejarahan yang terputus, atau bahkan hilang oleh
ambisi-ambisi praktis yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Kesalah-kaprahan serupa ini tidak bisa dibiarkan
berlarut-larut. Bangsa Indonesia harus segera menyadari keterbatasannya, lalu
kemudian mengolah keterbatasannya itu secara maksimal. Dengan membangun kembali
kekuatan Maritim, agar setidaknya kapal perompak dan pencuri ikan (yang konon
kabarnya super canggih) dapat diburu oleh kapal Angkatan Laut Republik
Indonesia. Membangun kembali lahan-lahan pertanian, agar Vietnam dan Thailand
tidak mengimport beras yang bibitnya berasal dari Swarna Dwipa dan Jawa Dwipa.
Dan memberi perhatian yang lebih pada ragam seni budaya, agar tidak lagi dicuri
dan diakui oleh bangsa lain. Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil,
mungkin dalam sepuluh, dua puluh tahun mendatang, mungkin tidak ada lagi yang
bisa dibanggakan oleh bangsa Indonesia.
Ragam seni budaya Indonesia adalah yang paling unik di
dunia. Seandainya ragam seni budaya ini diberi perhatian khusus dan
dieksplorasi secara maksimal, InsyaAllah Indonesia akan menjadi negeri yang
damai, penuh toleransi, sejahtera dan menjadi tujuan bagi wisatawan dunia.

*) Disampaikan pada Festival Mbois: Workshop Seni
Pertunjukan yang diselenggarakan Oleh Divisi Seni Pertunjukan, Malang Creatif
Fusion di Dilo, Malang 21-22 November 2016
**) Seniman Pertunjukan, Pembina Teater Tanah Air
0 comments