SUTRADARA HARUS MENANGGUNG SEGALA KONSEKUENSI DAN RESIKO DALAM SEBUAH PRODUKSI TEATER (?)
- 7:22:00 PM
- By Lensa Teater
- 0 Comments
LENSA TEATER - Di Malang, seorang sutradara harus
(berani) menanggung segala beban kerja, bahkan beban resiko dalam sebuah proses
produksi karya pementasan. Sungguh, itu mengenaskan! Tapi itulah yang
‘sesungguhnya’ terjadi, atau setidaknya realitas yang dominan sering kita
temui.
Hal itu lantaran kondisi iklim perteateran di kota dingin ini masih belum juga menunjukkan keadaan yang kondusif dan strategis. Kenapa bisa saya (penulis) mengatakan seperti itu? Ya karena begitulah realita yang ada.
Coba kita cermati, adakah di Malang orang-orang yang dengan sadar dan berkomitmen menyediakan dirinya menjadi produser sebuah produksi teater? Apakah sudah tersedia seorang produser yang memiliki etos kerja yang bagus, semangat kerja yang memadai dan mekanisme kerja yang progresif?
Adakah di tengah-tengah gegap-gempitanya perteateran yang sedang hirup-pikuk ini telah lahir person-person yang kapabel dan memadahi sebagai aktor? Tidak saja sebatas bisa main di atas panggung, atau tidak sebatas sebagai aktor dari sebuah kelompok teater tertentu saja, namun sebagai person yang memiliki kompetensi keaktoran yang handal, dan bisa menjadi ‘bidikan’ untuk semua pementasan kelompok mana pun yang membutuhkannya? Sudah adakah seseorang yang terakui maupun diakui sebagai seorang aktor, sehingga dirinya mempunyai ‘harga’ tersendiri bagi kancah perteateran di kota ini? Baik derajat ‘harga diri’ maupun kapasitas ‘harga finansialnya’.
Sudah jugakah bisa kita temukan orang-orang yang mengambil bagian pada kerja artistik yang secara profesionalisme kerja akan mampu memback-up sebuah proses kerja produksi pementasan dengan memadahi dan memuaskan? Apakah sudah tersedia pula person-person yang bisa kita rekrut dalam posisi tim produksi dan tim manajerial yang benar-benar bisa membuat segala urusan kerja produksi dan persiapan sebuah pementasan teater menjadi termudahkan dan tertata dengan baik sehingga hasil dari seluruh proses produksi dan pementasan menjadi lebih maksimal dan sukses sebagai peristiwa pertunjukan?
Berbagai pertanyaan-pertanyaan itu masih sulit bagi kita untuk menjawabnya. Sebab iklim perteateran kita masih belum menuju pada proses berkesenian yang sesuai dengan esensinya. Hiruk-pikuk perteateran kita masih lebih pada kecenderungan bereuforia. Masing-masing kelompok teater rame-rame bikin pementasan hanya agar dianggap mereka masih ada. Bikin pertunjukan teater bukan sebagai hasil dari sebuah proses pembelajaran yang panjang dan memadahi, tapi justru pementasan itulah yang mereka anggap sebagai ajang belajar. Pementasan-pementasan teater kurang hadir dalam koridor seni pertunjukan, yang mestinya harus memiliki kekuatan baik sebagai ‘tontonan’ maupun ‘tuntunan’, namun pertunjukan-pertunjukan yang ada sering lebih cenderung bernuansa sekedar sebagai ekspresi diri, dan upaya aktualisasi bagi para pelaku teater dengan bendera kelompok masing-masing.
Alhasil, hampir sulit ditemui pementasan teater yang berkesan, yang mampu memberikan kepuasan bagi penontonnya, dan yang pantas dibicarakan sebagai referensi khasanah perteateran kita. Pentas-pentas teater makin jauh dari prinsip kebermanfaatan. Teater pun makin terlepas dari persoalan-persoalan kehidupan.
Konsekuensi dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka di Malang (bahkan bisa jadi di Jawa Timur) akan cukup sulit bisa diharapkan munculnya sebuah kelompok teater yang bisa diandalkan. Sebuah kelompok yang bakal menjadi “kelompok teater” yang memiliki eksistensi dan ‘kebesaran’ dalam karya-karyanya. Sebuah kelompok teater yang tidak saja hanya sebagai wadah berkumpul, berlatih, dan membangun keberasamaan serta kekeluargaan. Namun sebuah kelompok yang bisa menjadikan para pelaku teater menjadi orang-orang yang memiliki kompetensi dan profesionalisme kerja, sehingga bisa menjadi salah satu alternatif bagi kehidupannya. Sebuah kelompok yang bisa menghantarkan para personilnya menjadi aktor, sutradara, produser, personal artistik, personal produksi, atau setidaknya menjadi pekerja teater yang setidaknya bisa mendatangkan berbagai kebermanfaatan, baik bagi kehidupan mereka sendiri, maupun bagi masyarakatnya.
Sampai saat ini, saya (penulis), masih saja mendapati banyak kenyataan bahwa untuk menggarap sebuah karya pementasan, masih terlalu besar problematika dan kendala-kendalanya. Dan beban dari kendala-kendala dan problematika tersebut sering seorang sutradara yang harus berani dan kuat untuk menanggungnya. Mengapa begitu? Sebab, dalam kenyatannya, hampir belum pernah ada sebuah gagasan dan kehendak untuk memproduksi sebuah karya pentas teater itu yang lahir dari seorang produser (sebab di Malang belum ada orang yang dengan sadar dan bersedia mendeklarasikan dirinya sebagai produser teater). Jika ada sebuah proses penggarapan sebuah karya pentas, kebanyakan hasrat dan gagasan untuk itu pasti dari seseorang yang berkehendak pula sebagai sutradaranya. Lalu sang calon sutradara itu yang akhirnya harus mencari para aktornya, mencari para tim artistiknya, mencari para pemusiknya, dan bahkan sang sutradara juga yang harus mencari orang-orang yang harus membantunya dalam hal manajemen, produksi, dan pendanaan.
Seorang yang berperan sebagai sutradara, di kota-kota (daerah) seperti kota kita ini pada akhirnya harus menjadi orang yang berani ‘serabutan’. Yang harus siap menghadapi segala keadaan, yang harus tabah menghadapi kendala-kendala, dan harus siap meng-handle segala pekerjaan, apa saja, jika kondisi makin tak berpihak pada berbagai apa yang dicita-citakannya.
Mencari atau pun mengajak person-person yang bisa diajak untuk membangun proses produksi teater yang proporsional, membangun tatanan organisasi produksi yang professional, serta menjalankan kerja produksi yang maksimal, sungguh masih jauh panggang dari api.
Memang, prinsip bahwa jangan berkesenian karena uang, atau jangan mencari penghidupan dari kesenian, adalah prinsip yang perlu tetap kita pegang. Akan tetapi, jika dalam berkesenian, kita tak pernah bisa mendatangkan ‘bonus-bonus’ kebahagiaan, tak pernah mampu menghasilkan rizki (termasuk yang berupa uang), lantas berkesenian bagi kehidupan kita tak henti-hentinya hanya sebagai proses petualangan, tak menghasilkan kebermanfaatan (baik material maupun non-material), untuk apa? Buat apa? Apa urgensinya?
Sebelum kondisi yang karut-marut ini terperbaiki, sebelum kekurang-profesionalan dan kekurang-proporsionalan ini terbenahi, dan senyampang wajah proses produksi teater masih kusut dan sang sutradara harus menjadi pihak yang kalang kabut, maka perteateran kita tetap tak bakal mampu menghasilkan apa-apa. Tidak menghasilkan iklim yang sehat dan subur. Tidak menghasilkan person-person yang berkemampuan dan berpenghasilan dari bidangnya. Tidak menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan memuaskan masyarakat penikmatnya. Serta tidak akan mampu melahirkan sebuah kelompok teater yang besar, memiliki eksistensi yang utuh dan penuh, serta mempunyai popularitas yang berkualitas.
Teater lahir bukan hanya sekedar untuk ajang belajar bagi para pelakunya, tetapi seyogyanya teater lahir untuk ikut mengisi kekosongan pada relung-relung kehidupan manusia, baik dalam aspek hiburan (tontonan), atau dalam aspek kualitas isi (tuntunan), serta pada aspek sajian artistik-estetisnya (keterbutuhan manusia akan rasa seni dan keindahan ).
Moehammad Sinwan
(Tegalgondo,20 Juni 2016)
Malang Post Minggu, 14 Agustus 2016 Kolom Sastra dan Budaya
Penulis adalah Pendiri, Pemimpin Umum & Sutradara Teater IDEōT
Hal itu lantaran kondisi iklim perteateran di kota dingin ini masih belum juga menunjukkan keadaan yang kondusif dan strategis. Kenapa bisa saya (penulis) mengatakan seperti itu? Ya karena begitulah realita yang ada.
Coba kita cermati, adakah di Malang orang-orang yang dengan sadar dan berkomitmen menyediakan dirinya menjadi produser sebuah produksi teater? Apakah sudah tersedia seorang produser yang memiliki etos kerja yang bagus, semangat kerja yang memadai dan mekanisme kerja yang progresif?
Adakah di tengah-tengah gegap-gempitanya perteateran yang sedang hirup-pikuk ini telah lahir person-person yang kapabel dan memadahi sebagai aktor? Tidak saja sebatas bisa main di atas panggung, atau tidak sebatas sebagai aktor dari sebuah kelompok teater tertentu saja, namun sebagai person yang memiliki kompetensi keaktoran yang handal, dan bisa menjadi ‘bidikan’ untuk semua pementasan kelompok mana pun yang membutuhkannya? Sudah adakah seseorang yang terakui maupun diakui sebagai seorang aktor, sehingga dirinya mempunyai ‘harga’ tersendiri bagi kancah perteateran di kota ini? Baik derajat ‘harga diri’ maupun kapasitas ‘harga finansialnya’.
Sudah jugakah bisa kita temukan orang-orang yang mengambil bagian pada kerja artistik yang secara profesionalisme kerja akan mampu memback-up sebuah proses kerja produksi pementasan dengan memadahi dan memuaskan? Apakah sudah tersedia pula person-person yang bisa kita rekrut dalam posisi tim produksi dan tim manajerial yang benar-benar bisa membuat segala urusan kerja produksi dan persiapan sebuah pementasan teater menjadi termudahkan dan tertata dengan baik sehingga hasil dari seluruh proses produksi dan pementasan menjadi lebih maksimal dan sukses sebagai peristiwa pertunjukan?
Berbagai pertanyaan-pertanyaan itu masih sulit bagi kita untuk menjawabnya. Sebab iklim perteateran kita masih belum menuju pada proses berkesenian yang sesuai dengan esensinya. Hiruk-pikuk perteateran kita masih lebih pada kecenderungan bereuforia. Masing-masing kelompok teater rame-rame bikin pementasan hanya agar dianggap mereka masih ada. Bikin pertunjukan teater bukan sebagai hasil dari sebuah proses pembelajaran yang panjang dan memadahi, tapi justru pementasan itulah yang mereka anggap sebagai ajang belajar. Pementasan-pementasan teater kurang hadir dalam koridor seni pertunjukan, yang mestinya harus memiliki kekuatan baik sebagai ‘tontonan’ maupun ‘tuntunan’, namun pertunjukan-pertunjukan yang ada sering lebih cenderung bernuansa sekedar sebagai ekspresi diri, dan upaya aktualisasi bagi para pelaku teater dengan bendera kelompok masing-masing.
Alhasil, hampir sulit ditemui pementasan teater yang berkesan, yang mampu memberikan kepuasan bagi penontonnya, dan yang pantas dibicarakan sebagai referensi khasanah perteateran kita. Pentas-pentas teater makin jauh dari prinsip kebermanfaatan. Teater pun makin terlepas dari persoalan-persoalan kehidupan.
Konsekuensi dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka di Malang (bahkan bisa jadi di Jawa Timur) akan cukup sulit bisa diharapkan munculnya sebuah kelompok teater yang bisa diandalkan. Sebuah kelompok yang bakal menjadi “kelompok teater” yang memiliki eksistensi dan ‘kebesaran’ dalam karya-karyanya. Sebuah kelompok teater yang tidak saja hanya sebagai wadah berkumpul, berlatih, dan membangun keberasamaan serta kekeluargaan. Namun sebuah kelompok yang bisa menjadikan para pelaku teater menjadi orang-orang yang memiliki kompetensi dan profesionalisme kerja, sehingga bisa menjadi salah satu alternatif bagi kehidupannya. Sebuah kelompok yang bisa menghantarkan para personilnya menjadi aktor, sutradara, produser, personal artistik, personal produksi, atau setidaknya menjadi pekerja teater yang setidaknya bisa mendatangkan berbagai kebermanfaatan, baik bagi kehidupan mereka sendiri, maupun bagi masyarakatnya.
Sampai saat ini, saya (penulis), masih saja mendapati banyak kenyataan bahwa untuk menggarap sebuah karya pementasan, masih terlalu besar problematika dan kendala-kendalanya. Dan beban dari kendala-kendala dan problematika tersebut sering seorang sutradara yang harus berani dan kuat untuk menanggungnya. Mengapa begitu? Sebab, dalam kenyatannya, hampir belum pernah ada sebuah gagasan dan kehendak untuk memproduksi sebuah karya pentas teater itu yang lahir dari seorang produser (sebab di Malang belum ada orang yang dengan sadar dan bersedia mendeklarasikan dirinya sebagai produser teater). Jika ada sebuah proses penggarapan sebuah karya pentas, kebanyakan hasrat dan gagasan untuk itu pasti dari seseorang yang berkehendak pula sebagai sutradaranya. Lalu sang calon sutradara itu yang akhirnya harus mencari para aktornya, mencari para tim artistiknya, mencari para pemusiknya, dan bahkan sang sutradara juga yang harus mencari orang-orang yang harus membantunya dalam hal manajemen, produksi, dan pendanaan.
Seorang yang berperan sebagai sutradara, di kota-kota (daerah) seperti kota kita ini pada akhirnya harus menjadi orang yang berani ‘serabutan’. Yang harus siap menghadapi segala keadaan, yang harus tabah menghadapi kendala-kendala, dan harus siap meng-handle segala pekerjaan, apa saja, jika kondisi makin tak berpihak pada berbagai apa yang dicita-citakannya.
Mencari atau pun mengajak person-person yang bisa diajak untuk membangun proses produksi teater yang proporsional, membangun tatanan organisasi produksi yang professional, serta menjalankan kerja produksi yang maksimal, sungguh masih jauh panggang dari api.
Memang, prinsip bahwa jangan berkesenian karena uang, atau jangan mencari penghidupan dari kesenian, adalah prinsip yang perlu tetap kita pegang. Akan tetapi, jika dalam berkesenian, kita tak pernah bisa mendatangkan ‘bonus-bonus’ kebahagiaan, tak pernah mampu menghasilkan rizki (termasuk yang berupa uang), lantas berkesenian bagi kehidupan kita tak henti-hentinya hanya sebagai proses petualangan, tak menghasilkan kebermanfaatan (baik material maupun non-material), untuk apa? Buat apa? Apa urgensinya?
Sebelum kondisi yang karut-marut ini terperbaiki, sebelum kekurang-profesionalan dan kekurang-proporsionalan ini terbenahi, dan senyampang wajah proses produksi teater masih kusut dan sang sutradara harus menjadi pihak yang kalang kabut, maka perteateran kita tetap tak bakal mampu menghasilkan apa-apa. Tidak menghasilkan iklim yang sehat dan subur. Tidak menghasilkan person-person yang berkemampuan dan berpenghasilan dari bidangnya. Tidak menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan memuaskan masyarakat penikmatnya. Serta tidak akan mampu melahirkan sebuah kelompok teater yang besar, memiliki eksistensi yang utuh dan penuh, serta mempunyai popularitas yang berkualitas.
Teater lahir bukan hanya sekedar untuk ajang belajar bagi para pelakunya, tetapi seyogyanya teater lahir untuk ikut mengisi kekosongan pada relung-relung kehidupan manusia, baik dalam aspek hiburan (tontonan), atau dalam aspek kualitas isi (tuntunan), serta pada aspek sajian artistik-estetisnya (keterbutuhan manusia akan rasa seni dan keindahan ).
Moehammad Sinwan
(Tegalgondo,20 Juni 2016)
Malang Post Minggu, 14 Agustus 2016 Kolom Sastra dan Budaya
Penulis adalah Pendiri, Pemimpin Umum & Sutradara Teater IDEōT
0 comments